“Tak ada…”
“Tak Ada..” ia ulangi lagi
Hening. Hanya suara detak jam dinding lagi. Suara televisi dipenuhi iklan, acara tadi sudah usai.
“Pasangan nomor 3, sejatinya cukup bagus meski pengalaman meragukan. Retorikanya bagus, pengalaman memipin daerah sudah ada, dan cukup berprestasi. Pasangan wakilnya, katanya bagus.Katanya jujur, kata orang. Tapi saya entah kenapa menilai dia jujur yang bersayap dan sarat kepentingan”
“Tapi cukup secara umum cukup ok.”
“Sayang pasangan ini didukung Mak Banteng arogan yang menjengkelkan itu. Kenapakah harus ada Mak Banteng? ”
“Tiap kali dia ngomong nyinyir dan arogan, pengen rasanya saya jewer dia untuk mengingatkan agar sadar diri. Mak, kamu itu gak ada prestasi apa-apa kecuali memipin partai yang mengatasnamakan wong cilik. Itupun bukan karena prestasi tapi karena kamu jual nama besar Bapakmu”
“Kalau saya pilih pasangan nomor 3 ini, bisa-bisa Mak Banteng semakin Jumawa dan jelas akan mengganggu hari-hari saya sebagai penduduk negeri ini”
Hening sejenak
“Pasangan Nomor 2, paling koplak, paling meragukan. Tapi paling yes bagi saya diantara pasangan lain. Tapi saya tak begitu suka si gemoi. Bukan karena sejarah kelamnya di zaman reformasi, tapi karena ia dekat dengan keluarga cendana”
“Betapa sia-sianya Reformasi 1998 itu kalau negeri ini akan Kembali didekati kekuasaan Keluarga Cendana”