Semalam ia ada di meja kami. Kami buat begitu saja dan tak sengaja. Sebab  kue dan minuman tak sempat tersaji. Entah malas entah karena tak sempat dibeli.
Kami hanya makan nasi. Lauk nasi yang seadanya. Sambal udang pedas sisa sahur sebelumnya. Semangkuk sayur lodeh labu kuning dadakan yang saya campur-campur begitu saja dengan wortel, labu siam dan kacang panjang. Juga sedikit susu fullcream sebab santan segar tak ada.
Ketika malam merangkak sementara tak ada makanan lagi, sedang lauk tersisa untuk makan sahur, terasa ada yang meronta di kepala.
Maka saya bergerilya mencari apa yang ada dalam lemari pendingin kami. Saya masih beruntung sebab menemukan 2 buah alpukat matang hampir layu tergeletak  diantara potongan buah nanas dalam kantung plastik.Â
Insting saya berlari cepat. Alpukat ini harus jadi sesuatu yang bisa menenangkan pikiran suami saya hingga ia tak lagi bertanya apa makanan kita dan menyisakan rasa bersalah pada saya. Entah apa yang melesat dalam pikiran hingga jari jemari saya membelah alpukat itu.
Memasukkannya ke dalam mangkuk, saya aduk-aduk tak jelas dan tangan saya menambahkan susu kental manis hingga ia menjadi semangkuk alpukat kental. Saya sebut saja dia  es krim alpukat.
Kami santap pelan-pelan. Rasanya, nikmat. Dingin, lembut dan sedap. Saya melihat suami saya menikmati alpukat itu sambil dia memainkan keyboardnya yang sudah hampir 2 bulan tak ada pemesan karena wabah Corona ini. Es krim alpukat itu membuat dia beristirahat dengan lega. Â
Mengingatnya saya terpana. Ada rasa yang sulit ditepis saat kami berdua menyantap es krim alpukat asal jadi itu. Jika tidak karena masa Corona ini.
Jika tidak karena saya malas keluar. Jika tidak karena saya mengurangi frekwensi dan jumlah belanja saya, maka kami tidak akan merasakan nikmatnya semangkuk Es Krim Alpukat pekat asal jadi yang lezat ini.Â
Begitulah. Ketika suami saya bertanya, apa yang ada di benak saya hal tersulit terkait wabah Corona ini, saya terdiam lama.Â
Entah apa yang saya rasakan. Rasanya pekat, sepekat es krim alpukat yang baru saja kami santap lamat-lamat. Kepekatan yang terbentuk dari renungan di kepala sendiri  diam-diam ketika hening. Renungan ketika memandang langit dan ketika menyetir di jalanan yang kini agak lenggang dibanding dulu.
Tetap saja sesuatu di kepala saya berkata lamat-lamat, "semua hal ada hikmahnya". Meski pandemi Covid-19 ini menimbulkan banyak kengerian dan kematian tak hanya fisik manusia juga mematikan ekonomi kita hingga banyak yang merana akibatnya, tetap saja saya berkata Semua hal ada hikmahnya. Hikmah yang bisa kita petik kalau kita mau.
Saya tak merasa sulit karena ramadan ini tak bisa tarawih di Masjid, saya bisa tarawih di rumah. Saya tak merasa sulit ketika ramadan ini tak ada bukber dan ngabubutir di jalanan, sejujurnya malah lega tanpa itu semua. Saya tak merasa sulit ketika harus dipaksa berhemat oleh kehidupan yang pelik saat Corona ada di ramadan.
Tapi saya merasa sulit bahkan sedih ketika melihat orang-orang kehilangan nurani. Saya merasa sulit ketika tau di lingkungan saya masih banyak orang-orang toksik yang pikirannya katak dalam tempurung dan ramadan yang pekat ini tak bisa membuat dia memetik hikmah.
Bagi saya sesungguhnya Corona ini menyuruh kita jeda sejenak. Jeda dari aktivitas yang mungkin saja sebagian kita agak kemaruk dan ambisius.
Bumi yang harus jeda sejenak dari eksplotasi manusia. Lihatlah jeda sejenak itu telah membuat Puncak Himalaya yang sejak 30 tahun lalu tak terlihat kini terlihat jelas dari jarak 200 kil0meter. Â Jeda sejenak karena Corona ini telah membuat lingkungan yang membaik.
Kita juga harus jeda sejenak dan melihat lagi langkah yang telah kita lakukan. Hidup yang harus seimbang dan saling tolong-menolong. Lihatlah cara Corona menguji kita. Menguji kesabaran dan keteguhan kita. Menguji akal sehat kita.
Jika tak pandai-pandai menyikapi sebuah keluarga besarpun akan saling tak perduli karena ketakutan tak berdasar dan berlebihan akan Corona ini. Saya merasakannya saat adik bungsu saya terkulai tak berdaya sakit demam dan batuk berhari-hari sementara besok puasa tiba. Orang-orang bahkan keluarga takut mendekati karena menduga-duga sendiri ini sakit karena Corona.
Lihatlah kepanikan telah membuat nurani kita tumpul. Diantara tangisan saya yang saya simpan, saya jenguk adik saya. Saya bawa dia ke dokter.
Saya urus anak-anaknya dan bawa ke rumah saya hampir seminggu di awal ramadan ini hingga dia sembuh. Setidaknya saya beruntung suami saya tidak menolak bahkan membantu saya mengurus anak-anak adik saya.
Begitulah kesulitan yang telah kami lalui. Saya kira ini sangat mungkin terjadi juga di banyak tempat lain. Betapa kita panik  yang tak  perlu. Jadi sudahilah kepanikan ini.
Waspada itu harus, tapi tidak panik. Tolong menolong itu harus dan lakukan dengan cara yang benar dan sehat. Sesudah kesulitan itu ada kemudahan bagi yang mau berikhtiar dan berserah pada Allah.
Sedihkah saya melalui ramadan dan lebaran nanti tidak seperti biasa...? Tentu saya sedih. Tapi lebih sedih lagi jika saya melewati ramadan dan lebaran ini tanpa belajar apa-apa dari ujian dan pelajaran Corona ini. Semua hal ada hikmahnya. Lengkapnya bisa kalian baca DISINI.
Hanya gesah karena semangkuk es krim alpukat asal jadi semalam. Salam Kompasiana. Salam Kompal selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H