Mohon tunggu...
Elly Suryani
Elly Suryani Mohon Tunggu... Human Resources - Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Membaca, menulis hasil merenung sambil ngopi itu makjleb, apalagi sambil menikmati sunrise dan sunset

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kenyiyiran Netizen soal "Incest" adalah Bukti Rendahnya Budaya Baca atau Sebuah Sikap Kritis?

23 Februari 2020   13:55 Diperbarui: 23 Februari 2020   17:49 3651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahwa netizen cenderung nyolot tanpa tau pasti apa yang dimaksudkan oleh orang yang dia kritisi itu kita sudah mahfum. Saya pun kadang terjebak juga pada judul berita yang ya memang digoreng banget biar gurih dan menaikan ratting beberapa kanal online. 

Tetapi, tetap saja siapapun harusnya mencari substansi secara lengkap dan mencari landasan ilmu untuk menentang atau mendukung substansi yang sedang kita bahas. 

Saya, meski setuju atau tidak setuju, akan berusaha fair. Pertama saya baca dulu isi berita yang dibahas itu secara lengkap. Mencari sumber berita valid. Membaca teori sekitar pendapat tersebut. 

Setelahnya baru mencari landasan validasi ilmu (meski lemah sekalipun) dalam menolak atau mendukung pendapat tersebut. Saya kira ini dipakai banyak orang.

Tenang, saya juga tidak plek setuju pendapat anggota partai tertentu  yang mengatakan bahwa Kamar anak laki-laki dan perempuan harus dipisah untuk menghindari incest. Apalagi ketika KPAI mengatakan bahwa orang akan hamil gara-gara berenang di kolam yang campur antara perempuan dan laki-laki. 

Saya bolak-balik mencari sumber berita valid dan mencari tau alasan KPAI mengatakan hal tersebut, ya saya tetap tidak setuju bahwa orang bisa hamil gara-gara berenang (kecuali berenang di kolam cinta dalam arti ehm-ehm).

Tetapi, tidak semua pendapat anggota partai, KPAI, pendapat siapapun, harus saya nyinyiri, saya goreng dan saya bully hanya gara-gara bertolak belakang dengan pengalaman saya. 

Ini saya lihat di linimasa sosmed saya, Facebook dan twitter terutama betapa netizen telah berlebihan menyinyiri dan agak membully pendapat orang hanya gara-gara bertolak belakang dengan pengalaman hidupnya.

Ada yang berkata, "Ibuk itu baca buku apa sih sampe bilang kamar anak perempuan dan laki-laki dicampur akan mengakibatkan incest ? "Pendapat ini masih sopan sih kata saya.

Ada yang nyolot berkata "kok begini amat ya fantasy seks bejat & menjijikan..", dengan emoticon muarah. 

Bahkan ada yang lebih marah lagi dan berkata: "Kalo bikin UU konsiderannya kok selalu moralitas selangkangan orang-orang ini. Apa mungkin karena otaknya isinya sperma?" 

Lalu terdengar samar-samar, dasar kadrun...

Apakah kenyinyiran netizen adalah bukti rendahnya budaya baca atau sebuah sikap kritis? Bisa ya, bisa juga tidak keduanya. 

Tetapi saya percaya, dengan era digital dan internet di mana orang bisa menemukan apa saja yaang sedang terjadi di belahan bumi mana saja ini membuat orang bisa bersikap kritis dan bisa memberikan pengawalan terhadap kerja pemerintah. 

Termasuk rencana RUU Ketahanan Keluarga yang sedang ramai disorot saat ini. 

Tetapi, ketika asal nyolot dan apa-apa yang tidak sesuai dengan pengalaman hidup kita akan kita tentang, kita nyinyiri, nanti dulu Ferguso. 

Nasehat orang-orang tua zaman dulu di Kampung saya kira agak tepat pada situasi ini, "Jangan mengukur baju orang di badan kita". Kira-kira bisa diartikan kita tidak bisa memaksakan pendapat ala pengalaman kita untuk menentang pendapat orang lain. Kalau mau kritis, ya pakai landasan valid dan logis.

Keluarga kita yang harmonis, bersih, jelas tidak mungkin terjadi incest, tapi bagaimana dengan kasus orang lain? 

Saya setuju kamar anak perempuan dan laki-laki sebaiknya dipisah. Banyak alasannya. Pertama, ketika dipisah anak-anak bisa lebih mandiri. Ketika dipisah anak perempuan dan laki-laki bisa lebih kreatif, dan lebih fokus mengembangkan minat dan kemampuan di kamarnya masing-masing. 

Menghindari incest? entahlah. Pada beberapa kasus, agak setuju juga. Terutama pada keluarga sangat miskin yang bekal sex educationnya mungkin rendah juga.  

Pendapat beberapa pakar, kekerasan seksual pada anak lebih rentan terjadi pada keluarga miskin. Ketika kamar hanya satu, tumplek-plek, semua tidur di satu kamar, tekanan hidup bisa berakibat pada kekerasan seksual. Tetapi incest!? Biasanya incest tidak ada unsur paksaan. Beberapa pakar mengatakan incest bisa terjadi karena paksaan.

Tidak semua orang miskin yang anak perempuan dan laki-lakinya tidur sekamar karena kondisi ekonomi akan melakukan incest. Tidak semua keluarga miskin akan rendah pula pemahaman pendidikan seksnya. 

Biasanya kemiskinan malah akan mendekatkankan sesama anggota keluarga, saling menyanyangi dan saling melindungi. Tetapi, bisa saja pada titik tertentu kondisi ekonomi miskin tersebut berimbas pada perubahan prilaku, menjadi lebih keras, suka memaksa, abai pada nila-nilai moral dan agama. Entahlah.

Hasil penelitian DI SINI mengatakan bahwa salah satu penyebab Incest karena kamar anak perempuan dan laki-laki tidak dipisah. Kan, Ibu anggota partai itu mungkin membaca penelitian ini. Memang seharusnya tidak terpaku oleh 1 (satu) penelitian saja.

Sementara penelitian lain Firganefi DI SINI tentang kejahatan dalam keluarga mengutip A. Lacassagne yang mengatakan bahwa lingkungan yang memberikan kesempatan timbulnya kejahatan. 

Firganefi mengutip juga Bonger yang mengatakan sumber kejahatan adalah kemiskinan dan kesengsaraan yang membuat fikiran menjadi tumpul. Hal yang lebih lanjut bisa mengakibatkan seorang ayah atau seorang kakak laki-laki tidak tahan melihat rok anaknya tersingkap saat tidur, wew.  

Beberapa catatan Komnas Perempuan, 71 % kekerasan seksual terjadi di ruang domestik (privat), hanya kurang dari 30 % terjadi di ruang publik. Catatan Tahunan Komas Perempuan Tahun 2019 (CATAHU 2019), pada Tahun 2018 terjadi kejahatan terhadap perempuan sebanyak 1.071 kasus dalam kurun waktu setahun. 

Pelaku kekerasan seksual tepatnya perkosaan terhadap anggota keluarga yang menyebabkan incest  tertinggi adalah ayah kandung, kakek dan paman. 

KPAI sendiri memiliki data terkait kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga, termasuk incest. Incest pada anak, banyak terjadi dan sedikit yang terungkap karena enggan melapor karena dianggap tabu, malu dan keterbatasan informasi. 

RUU Ketahanan Keluarga seharusnya memang lebih menyorot upaya pendidikan sejak dini pada keluarga. Bagaimana anak-anak sejak dini diajarkan untuk tidak mau diajak pergi orang asing. 

Anak-anak sejak dini diajarkan untuk melindungi organ intimnya. Jangan mau diusel-usel secara berlebihan, dipeluk berlebihan meski oleh anggota keluarga. 

Anak-anak baik laki-laki maupun  perempuan sejak dini diajarkan untuk menghargai dirinya sendiri dan melindungi hak orang lain. Bahkan saya dengar dari adik saya yang guru PAUD, sekarang anak-anak PAUD diajarkan demikian.

Ketika RUU Ketahanan Keluarga melihat segala sesuatu tidak dengan jeli, hal yang terjadi ketidak tepatan kebijakan. Hal yang sama bisa kita katakan pada Tim penyusun RUU tersebut. 

Jangan membuat aturan hanya berdasarkan pengamatan sepihak atau pengalaman pribadi. Jangan mengukur baju orang di badan kita. Tetapi lihatlah esensi dan alasan secara jeli. 

Memang incest dalam keluarga miskin harus dituntaskan. Paling awal dengan meningkatkan kesejahteraan keluarga dan pendidikan bekal pemahaman sex education secara dini pada anak. 

Bukan sekadar mengeluarkan pernyataan kamar anak perempuan dan laki-laki harus dipisah, kecuali anda siap menyiapkan biaya tambahan kamar dan renovasi rumah, bedah rumah misalnya.

Lebih aneh lagi ketika ada yang mengatakan untuk memutus kemiskinan dengan cara orang kaya menikahi orang miskin, dan orang miskin menikahi orang kaya. 

Mudah amat ya strategi pengentasan kemiskinannya (lalu setelahnya tinggal leyeh-leyeh tidur, kemiskinan tuntas). Mbo ya dengan mengajarkan sikap pejuang dan struggle pada semua anggota keluarga. Mau kaya, ya bekerja keras, siapa yang tidak berkerja keras akan miskin. 

Jangan mengatakan memutus kemiskinan dengan menganjurkan orang kaya menikahi orang miskin atau orang miskin menikahi orang kaya. Bahasa anak saya, apaan sih, gak banget he. Saya percaya, mungkin kalimat menteri itu digoreng juga. Butuh pendalaman lagi.

Mau Kaya, ya kerja keras dong, bukan menikahi orang kaya. Bisa-bisa anak muda malas berjuang ini. Ini saya tulis di twitter saya.

Begitulah, untuk kritis, saatnya netizen harus banyak membaca. Apalagi pembuat kebijakan, harus lebih banyak membaca juga. Termasuk membaca teori, ya jangan terpaku pada 1 (satu) hasil penelitian saja.

Salam Kompasiana. Salam Kompal selalu.

Sumber:
Kekerasan Seksual Dalam keluarga, Apa Pemicunya
Analisis Faktor Penyebab dan penanggulangan Perkosaan Dalam Keluarga
KPAI: Incest Pada Anak, Banyak Terjadi Tapi sedikit yang Terungkap
Data Kasus Incest Dalam CATAHU Komnas Perempuan Tahun 2019

Sumber Foto: Dok. Kompal
Sumber Foto: Dok. Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun