Dulu kue-kue lebaran zaman saya masih kecil, paling kue selai (sekarang orang menyebutnya nastar), kue semprit yang lumayan keras. Sisanya kue satu, kacang bawang, keripik garfu bombay yang dibentuk dengan garfu, sagon, ketan lapik. Kalau ke rumah saudara, suka beruntung dapat rengginang yang enak dan gurih.
Kalaupun ada kue basah paling wajik, dodol, engkak ketan buatan umak kami yang seingat saya lumayan keras dan jauh bingits dari engkak di zaman sekarang, dan bolu santan (kojo). Maksuba, kue delapan jam jarang ada. Biasanya ada di rumah-rumah Wong Plembang Gerot bederot (Orang kaya, kelas menengah atas).
Meski begitu, rasanya masa kecil saya baik-baik saja. Masa kecil saya indah (saya selalu naik kelas dan raport saya baik meskipun nyaris tidak punya buku catatan karena saya malas mencatat, hiks) dan saya mengingat kenangan lebaran dengan indah dan apik di kepala saya hingga saat ini.
Sekarang, barangkali sejak sekitar tahun delapan puluhan akhir mulai ada pergeseran kue lebaran. Masyarakat Kota Palembang kebanyakan (awam) mulai mengenal delapan jam, maksuba, dan lapis legit. Kue kering semacam nastar yang menggunakan susu bubuk dan mentega Weissman juga mulai mewabah. Begitu pula dengan Kastangels dan kue-kue berbau Belanda lainnya. Apalagi pempek dan kue-kue dan makanan khas Palembang lainnya.
Khusus terkait kue-kue peninggalan Belanda seperti nastar, kastangels, lapis legit dengan bumbu spekkoek yang sekarang banyak sekali variannya (lapis plum, lapis keju, lapis muskovis dll) itu, kenapa sekarang setelah Belanda jauh (alias gak ada lagi) malah menyebar luas ya? Benarkah kue-kue peninggalan Belanda itu sekarang menyebar dengan dahsyat? Kalau kita perhatikan sekilas agak kelihatannya memang iya. Apa Belanda masih menjajah kita? wew.
Tentu saja tidak. Ada banyak alasan kenapa Kue-kue peninggalan Belanda itu tetap eksis bahkan semakin eksis sekarang. Beberapa alasan itu menurut saya, antara lain:
Taraf Hidup dan Pendapatan Masyarakat Semakin Meningkat
Kelas masyarakat menengah di Indonesia meningkat. Barangkali ini yang dimaksud Prof.Mahfud MD bahwa kemiskinan Indonesia sekarang sudah jauh berkurang. Dulu sekali, masyakarakat Indonesia hampir miskin semua, kata beliau lagi.
Kelihatannya analisa itu hampir benar adanya. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, terjadi peningkatan kelas menengah yang cukup signifikan. Pada tahun 2010 kelas menengah Indonesia berjumlah 45 juta, lalu pada tahun 2018 jumlah masyarakat kelas Menengah hampir mendekati 60 juta rakyat Indonesia dimana masih ada 120 juta orang merupakan aspiring middle class (kelas menengah harapan) yaitu kelompok yang tidak lagi miskin dan menuju kelas menengah yang lebih mapan. Pada tahun 2020 diprediksi jumlah kelas menengah Indonesia sebesar 80 juta orang.
Jadi, bisa menyajikan kue mewah zaman Belanda itu...ya semacam kebanggan tersendiri. Sebuah prestise barangkali.
Seperti bilang,
Woy Belande boleh jadi lu udah jauh tapi kue lu sekarang kita kekepin nih...!?
Semoga bukan. Katanya kue-kue itu memang enak sih.
Kemajuan teknologi
Termasuk teknologi pertanian dalam arti luas. Saya masih ingat, zaman saya kecil telor ayam itu termasuk makanan mewah. Jarang bisa mendapat 1 (satu) telor ayam utuh, biasanya separuh. Bawang putih harganya naudzubileh (sehingga zaman itu ibu-ibu kalo masak sangat hemat bawang putih). Sekarang, telor ayam sudah dibudidayakan dengan kemajuan teknologi budidaya peternakan yang pesat. Orang mau bikin kue apa saja yang menggunakan telor ayam ya mudah dicari dan tinggal beli. Dulu, telor ayam budidaya masih jarang. Lebih populer telor itik dan telor ayam kampung yang dipelihara secara tradisional.
Teknologi IT juga memudahkan penyebaran informasi. Termasuk penyebaran kue-kue lama "wah" peninggalan zaman Belanda dulu. Orang mau belajar masak apa, tinggal lihat tutorialnya di youtube. Ada cookpad yang menu apa saja ada, mau menu zaman baheula sampai menu kekinian semua ada. Hiks, saya lihat ada menu Anam, memang beda dengan resep anam ibu saya. Resep pempek kulit ada juga di cookpad, kan. Bahkan di Cookpad ada label khusus kue kering zaman Belanda. Cari saja. Isinya Lapis spekkoek, Kastangel, Spekulas, Jan hagel, dan lain sebagainya yang berisi lebih dari 200 resep, bukan main.
Merebaknya Sosial Media
Sekarang zamannya orang dengan mudah cekrek dan Upload. Orang semangat menunjukkan hasil masakan. Orang juga semangat menunjukkan menu buka puasa. Orang-orang semangat menunjukkan kue lebaran (anak saya bilangnya ini "pamer") yang membuat orang lain tergerak juga membuat kue-kue zaman Belanda yang enak itu sehingga jadi semakin meluas.
Akulturasi dan Asimilasi Budaya.
Ya ambil positifnya saja. Toh ini memperkaya khasanah kuliner Indonesia. Akulturasi dan asimilasi budaya terjadi, termasuk kuliner. Di Belanda sendiri makanan tradisional Indonesia seperti nasi goreng, sate dan gado-gado sampai sekarang begitu populer dan mudah dicari. Ada lagunya kan 😏
Begitulah alasan kue-kue peninggalan Belanda sekarang semakin eksis dan mewabah saat lebaran, natalan, imlek dan hari raya lainnya menurut saya.
Hanya, he, saya tetap setia dengan kue tradisional kesukaan saya, ketan lapik dan keripik yang dibentuk dengan garfu. Ada sih nastar, kue putri salju tapi sekadarnya saja. Biasanya kue-kue ini wah peninggalan Zaman Belanda ini malah tidak ditoleh tamu kami (saya sih suka nastar). Yang disukai wong Plembang saat Sanjo lebaran, Natalan, Imlek, teteup pempek dan aneka turunannya.
Tentu ini pendapat pribadi. Menurut Kompasianer gimana ...?
Salam Kompal. Salam Kompak selalu. Salam Kompasiana. Salam mesra kue lebaran zaman Belanda yang kurang laku di rumah saya dan masih penuh toplesnya. Mumpung semangat, ayo kembali produktif menulis.
Sumber:
1. Kuliner Indonesia yang berasal dari Belanda
2. Pertumbuhan Kelas Menengah Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H