Kemenangan Kaum Silent Majority, Kaum Yang Berpuasa dan Kita Semua
Pagi yang terasa begitu bening juga hening. Kokok ayam tak terdengar, entah kenapa. Barangkali karena fajar telah lama lewat. Hanya terdengar suara nafas dan dengkur suami yang tidur lagi sebab ini hari Minggu. Dan suara jemari-jemari saya menuliskan cerita ini.
Saya mulai dengan kisah nyata. Seorang teman saya, kebetulan perempuan, sebut saja namanya Bunga. Bunga yang telah nelangsa.Â
Bunga tinggal di kawasan dengan budaya dan adat bicara apa adanya yang oleh sebagian masyakarakat disebut keras. Bunga yang menemukan sebuah masa dimana orang-orang menjadi begitu  pemarah dan emosi.Â
Sosmed adalah media paling cepat untuk melihat bagaimana "marah dan emosi " tersebut. Kita temukan hampir setiap detik dan menit  orang melampiaskan marah, emosi jiwa dengan suhu tinggi, salah satu contohnya adalah di grup WhatsApp yang saya ikuti, ujar Bunga.Â
Grup yang hingar bingar sejak masa kampanye, jelang Pilpres, seusai pilpres dan tentu saja masa demo yang sama-sama telah kita lihat bersama.Â
Bunga melihat betapa Pilpres telah membuatnya menahan hati melihat tingkah polah saudara sekampung asal yang dia ikuti grup WhartsApp tersebut. Kebetulan anggota grup itu mayoritas pendukung salah satu capres yang menolak hasil KPU.Â
"Semua orang marah-marah dan esmosi jiwa. Dari yang masih agak muda sampai yang sudah sepuh dan purna bakti..."
" Share link dan berita begitu gencar, entah benar entah sekadar hoaks tak diperdulikan lalu dikomentari dengan gegabah dan seenaknya..."
" Merasa paling kubunya benar. Menganggap semua anggota grup harus sepaham, jika tidak dikucilkan dan dibully..."
"Saya termasuk yang dikucilkan itu bu..." suara Bunga terdengar tertahan.
"Sekali waktu saya bantah jika obrolan sudah keterlaluan dan saya share sumber valid, tapi justru saya dibilang mengacau dan sebar hoaks"
"Kejadian terus berlangsung hingga  saya memilih menarik diri dan sekadar baca-baca saja.Â
"Saya tidak meninggalkan mereka, bagaimanapun mereka saudara, kerabat sekampung saya...."
" Saya terus mendoakan mereka juga mendoakan bangsa ini supaya damai dan tentram...
"Ya saya berdoa juga agar pilihan saya dimenangkan Allah. Tapi paling utama saya berdoa agar Allah memberi bangsa ini pemimpin terbaik siapapun diantara kedua calon, waktu itu..." suara Bunga terdengar lirih
"Memasuki bulan puasa, Pilpres sudah lama usai, kejadian hingar-bingar diliputi emosi dan kemarahan itu terus berlangsung, bu. Bahkan semakin parah..."
"Kadang antara kasihan dan sedih saya melihatnya, miris" kata Bunga lagi.Â
Tak lama telpon WhatsApp terputus setelah Bunga mengucap salam.
Begitulah. Bunga adalah salah satu dari silent Majority yang mengutamakan meredam marah dan menggantinya dengan dzikir dan doa. Saya kira orang-orang seperti Bungalah pemenang yang sesungguhnya. Â
Mungkin saja di pelosok daerah yang lain, mungkin di kaki gunung di Wonogiri, atau di tepi Kali Code atau dimanapun ada mbah Jum, Wak karso, mbai Zainab juga menarik diri tapi tulus berdzikir dan berdoa seperti Bunga.
Jika meredam marah dan mengutamakan dzikir dan doa itu harus kita lakukan pada kehidupan sehari-hari kita, apalagi saat Bulan Ramadan. Bulan Ramadan adalah bulan penuh keberkahan dan kemuliaan, seyogyanya kita isi dengan amalan-amalan baik. Bukan dengan turun ke jalan marah-marah dan emosi. Berkata sedang membela agama tapi prilaku kita jauh dari tuntunan agama.Â
Lihat saja prilaku sebagian pendemo Aksi 22 Mei lalu itu. Ada yang melempari petugas dengan batu bak sedang melempar batu saat jumrotul aqobah (dianggapnya petugas itu setan barangkali, astaghfirullahaladzim).Â
Saya juga tidak setuju ketika petugas jadi terpancing, apalagi sampai ada korban jiwa. Yah ketika kemarahan dan emosi sudah memicu, orang yang tidak marah bisa tersulut.
Semua ada jalan yang baik kalau kita berpikir tenang. Serahkan pada Allah lalu tempuh jalur hukum dan konstitusional. Bukan sebaliknya.Â
Sekali lagi, apalagi ini bulan Ramadan. Lupakan 01 dan 02, kita semua pemenang kalau kita berpikir jernih dan elegan maka serahkan semua kepada Allah yang Maha Pemilik Perkara.Â
Kita umat Islam yang menjalankan puasa dalam kehidupan sehari-hari diminta Allah agar menahan amarah dan berbuat kebajikan .
Allah Ta'ala berkata dalam firman-Nya,
"Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (QS Ali 'Imran:134).
Hadits shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, menceritakan bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta nasehat beliau. Orang itu berkata: Berilah wasiat (nasehat) kepadaku. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah engkau marah". Kemudian orang itu mengulang berkali-kali meminta nasehat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selalu menjawab: "Janganlah engkau marah"
Marah memang tidak termasuk pada 10 (sepuluh) hal yang membatalkan puasa, tapi marah yang berlebihan akan mengurungi pahala puasa kita bahkan bisa membuat puasa kita hanya sekadar mendapat lapar dan haus.Â
Bulan Ramadan kita diminta membentengi diri dari kemarahan dan emosi tinggi. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita, agar ketika berpuasa, kita menjadi orang yang berwibawa, menjaga kehormatan dengan menghindari maksiat dan berusaha bersabar dalam setiap keadaan.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Puasa adalah membentengi diri, maka bila salah seorang kamu di hari ia berpuasa janganlah berkata kotor dan jangan teriak-teriak, dan jika seseorang memakinya atau mengajaknya bertengkar hendaklah ia mengatakan "Sesungguhnya aku sedang berpuasa."Â (HR. Bukhari 1904 & Muslim 1151).
Secara umum orang yang marah tidak bisa menahan emosinya dan cenderung akan  membalas orang yang dia marahi melebihi kesalahan yang dilakukannya. Salah satu ulama, Ibnu at Tin telah mensyarah Shahih Bukhari yang mengatakan,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melalui sabdanya 'Jangan marah!' telah menggabungkan semua kebaikan dunia dan akhirat. Karena marah bisa menyebabkan permusuhan. Dan terkadang menyebabkan dirinya menyakiti orang yang dimarahi. Sehingga bisa mengurangi kadar agamanya. Oleh karena itu orang yang marah saat sedang berpuasa bisa menyebabkan pahala puasanya berkurang.
Jadi..? mau terus marah-marah dan emosi jiwa? Mari kita mencontoh Bunga salah satu bagian Silent Majority itu. Bunga yang menarik diri lalu menahan jarinya di sosmed. Bunga yang mengutamakan dizikir dan doa daripada larut dalam obrolan mubazir di sosmed.Â
Mari kita ganti marah dan emosi dengan mengutamakan dzikir dan doa pada bulan puasa ini. Dzikir dan doa yang tulus demi kemenangan agar kita kembali Fitri pada Idul Fitri 1440 H. Kemenangan hakiki, kemenangan untuk kita semua.
Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan, kepada Allah saya mohon ampun.
Salam Kompal. Salam kompak selalu. Salam Kompasiana. Salam mengutamakan dzikir dan doa serta redam kemarahan. Selamat menunaikan Ibadah Puasa hari ke-21 bagi yang menjalankan. Salam dari Bunga untuk semua.
SumberÂ
1. Atasi Marah dan Gapai Ridho Rabbmu
2. Apakah Marah membatalkan puasaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H