Hal yang membuat saya agak terperangah, ternyata perempuan tidak bekerja lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/ atau seksual dibandingkan perempuan bekerja.Â
Siapakah laki-laki  yang melakukan kekerasan fisik dan/atau seksual kepada perempuan tersebut?  Bisa pasangan hidup atau laki-laki lain. Jangan dikira pelaku kekerasan terhadap perempuan tidak paham teori gender.Â
Bahkan, katanya ada aktivis yang matang dan kaya soal teori HAM dan gender pada dunia nyata justru dia termasuk pelaku kekerasan terhadap perempuan baik kepada pasangannya maupun perempuan lain. Kaya teori tetapi miskin pada praktek.  Sebuah tulisan Dea Safira Basori di  sini mengatakan hal tersebut. Menggenaskan.
Begitulah. Jika setiap tanggal 22 Desember saya menerima banyak ucapan Selamat Hari Ibu yang tentu saja saya berterimakasih atas ucapan itu, hal yang lebih penting adalah bagaimana kita memaknai esensi perempuan yang notabene adalah ibu dan calon ibu yang sesungguhnya. Â Memaknai lalu menerapkan prilaku yang baik kepada perempuan di kehidupan nyata.Â
Untuk Kita renungkan bersama. Sudahkan cinta kepada Perempuan yang adalah seorang ibu atau calon ibu itu telah menggenapkan hidup kita sebagai manusia yang seutuhnya, yang mengisi hidup dengan visi Rahmatan lil 'alamin? Â
Selamat Hari Ibu kepada semua perempuan Indonesia, semua Ibu dan Calon Ibu. Â Hari yang awalnya adalah Hari kongres perempuan dimana pergerakan perempuan dan keadilan gender diperjuangkan. Bukan sekadar Hari memanjakan dan menyayangi ibu.Â
Salam kompak selalu. Salam Kompal. Salam Kompasiana. Salam Nusantara. Salam untuk semua ibu dan calon ibu se-tanah air.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H