Mohon tunggu...
Ellyana Dwi Farisandy
Ellyana Dwi Farisandy Mohon Tunggu... Psikolog - Clinical Psychologist

Seorang manusia biasa yang berprofesi sebagai Psikolog Klinis—tidak memiliki kemampuan membaca pikiran maupun meramal masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Time Heal All Wounds, Mitos atau Fakta, Ya?

19 Oktober 2020   16:01 Diperbarui: 19 Oktober 2020   16:13 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Wound atau luka bisa dijelaskan dengan banyak cara, mulai dari etiologi, lokasi, durasi, tingkat keparahan, serta gejala yang muncul. Secara umum, luka didefinisikan sebagai kerusakan fungsi pelindung kulit yang disebabkan oleh pembedahan, pukulan, luka, bahan kimia, dan sebagainya (Shankar, Ramesh, Kumar, & Nirajanbabu, 2014; Walburn et al, 2019). 

Ketika fisik kita terluka, kita dengan mudah dapat melihat dan mengobservasinya. Lalu bagaimana ketika hati dan pikiran kita yang terluka? Bagaimana kita mengidentifikasinya bahkan ketika itu tidak terlihat secara kasat mata? Ketika itu intangible? 

Hal ini menjelaskan mengapa ketika kita sakit secara fisik, kita dengan mudah dapat mengidentifikasinya, pun dapat pergi ke Dokter tanpa merasa malu dan ragu. 

Namun terkadang, kita tidak aware terhadap luka di psikologis kita. Ditambah lagi, banyaknya stigma di masyarakat bahwa pergi ke Psikolog atau Psikiater hanya untuk orang gila. Akhirnya, luka di psikologis kita tidak mendapatkan perhatian sebanyak luka yang ada di dalam fisik kita. It left untreated for a really long time. 

Faktanya, lukabaik secara fisik maupun psikologis merupakan sesuatu yang menyakitkan. Ketika itu tidak disembuhkan dan/atau diobati, luka itu akan terus menetap dan bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari kita. 

Misalnya: ketika kaki kita terkilir dan kita tidak mengobati bengkak di kaki kita, bahkan sedikit saja sentuhan akan membuat kita merasakan nyeri. 

Hal ini juga terjadi pada luka psikologis, baik dikarenakan pengalaman traumatis seperti kekerasan, perundungan, penolakan, dan sebagainya. Kita terkadang tidak terlalu mementingkan luka psikologis karena itu tidak kasat mata. Namun tetap saja, itu nyata dan rasanya menyakitkan.

Luka fisik biasanya diperparah dengan adanya bakteri dan kuman, sedangkan luka psikologis diperparah dengan banyaknya emosi dan pikiran negatif yang tidak terekspresikan dan terus terakumulasi dalam diri. 

Ketika tidak diobati, trigger tertentu akan membuat kita mengingat kembali trauma dan pengalaman menyakitkan itu. American Psychiatric Association (2017) menjelaskan bahwa "...trigger to mean an event that causes something to happen". 

Sederhananya, trigger merupakan sebuah respon terkait suatu kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Dampak dari luka psikologis atau trauma bisa dilihat secara psikologis, fisiologis, bahkan perilaku, yakni: 

(1) dampak psikologis, misalnya: cemas, depresi, mood swing, merasa bersalah, merasa tidak ada harapan, merasa tidak terhubung, hingga memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup; 

(2) dampak fisiologis, misalnya: insomnia, merasa lelah, sulit berkonsentrasi, mudah terdistraksi, dan sebagainya; serta (3) dampak perilaku, misalnya: merokok, mengonsumsi alkohol dan/atau obat-obatan terlarang, melakukan self harm, dan sebagainya (SAMHSA, 2014; Robinson, Smith, & Segal, 2020).

TIME WILL HEAL ALL WOUNDS, BENARKAH?

I will say that's a totally a myth! Proses penyembuhan luka memang membutuhkan waktu, namun waktu saja tidak cukup untuk menyembuhkan luka. Mungkin, seiring berjalannya waktu, rasa sakitnya memudar, namun luka akan tetap adamenunggu kita untuk menyembuhkannya. 

Chantal Kayumba dalam TedxTalk (2019) pernah mengatakan "time doesn't heal you, it's what you do with the time that does!". Waktu adalah passive process, namun healing adalah active process. Kita tidak bisa terus menerus berharap pada waktu untuk menyembuhkan kita. Kita lah yang perlu untuk melakukan sesuatumerawat dan mengobati sehingga luka itu benar-benar mengering dan menjadi bekas luka sehingga ketika kita menyentuhnya, kita tidak akan lagi merasa sakit.

Isaac Newton pernah menjelaskan tentang objek yang bergerak, yang seringkali disebut sebagai Hukum Newton. Terdapat 3 Hukum Newton dan hukum newton pertama dikenal sebagai The Law of Inertia F=0

"Setiap benda akan mempertahankan keadaan diam atau bergerak lurus beraturan, kecuali ada gaya yang bekerja untuk mengubahnya" 

That's the point. Trauma akan selalu ada dan bertahan didalam diri kita, kecuali ada equal or even a greater force yang mengubahnya (TedxTalk, 2019). And, the force is us. 

JADI, APA YANG HARUS KITA LAKUKAN UNTUK MENYEMBUHKAN LUKA?

Healing is a personal journey. Setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda untuk bisa merasa pulih. Ada yang melakukan therapy atau counseling, medication, mindfulness, ataupun yang lain. You do you. Do what makes you feel better and calm. 

Berikut ini terdapat beberapa cara yang mungkin dapat diaplikasikan untuk menyembuhkan luka dan/atau trauma:

  • Acknowledge and accept it. Mungkin rasanya akan sangat berat ya untuk menerima pengalaman yang menyakitkan, pun mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik sajabahwa kita sedang terluka. Namun, kita perlu untuk melakukan itu. Menolaknya mungkin akan membuat kita merasa sedikit lebih nyaman, namun mau sampai kapan berpaling dari realita? Hal itu akan semakin menjauhkan kita dari kepulihan.
  • Feel it. Kita perlu untuk menerima segala perasaan yang hadir, entah itu perasaan kecewa, sedih, marah, benci, muak dan apapun itu. Feeling all of negative emotion doesn't make us weak, it makes us a human.
  • Express it. Kita juga dapat mengekspresikan segala perasaan yang muncul dengan cara yang konstruktif. Perasaan perlu untuk diekspresikan sehingga tidak menumpuk di dalam diri. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah dengan menulis, menggambar, menangis, berteriak, pun hal lain yang membuat kita merasa lebih tenang.
  • Identify the cause and pattern. Mulailah mengidentifikasi penyebab luka yang ada dalam psikologis kita, hal-hal yang memicu kilas balik memori itu muncul, serta dampak pada diri sendiri, baik secara emosi, pikiran, maupun perilaku.
  • Reaching out for help. Terkadang, kita tidak perlu menghadapinya sendirian. Kita adalah makhluk sosial, yang juga membutuhkan orang lain. Berceritalah kepada orang yang kita percaya, baik kepada sahabat, teman, keluarga, dan/atau kepada mental health professional.
  • Love yourself. Mulailah untuk memeluk diri sendiri lebih erat. Kurangi self loathing atau kritik berlebihan pada diri sendiri dan mulai lebih mencintai serta berwelas asih terhadap diri.

Prosesnya tentu nggak akan mudah, bahkan mungkin akan menyakitkan. Misalnya: ketika kita patah tulang, kita akan dioperasi. Setelah dioperasi, kita mungkin akan menjalani rehabilitasi, belajar berjalan kembali sampai akhirnya bisa berjalan tanpa bantuan penyangga. Contoh lainnya adalah ketika kita memiliki luka yang sudah sangat bernanah. 

Dokter akan membersihkan luka itu, memberikan alkohol serta betadine, selalu mengganti perbannya setiap beberapa jam sekali dan menjaganya sehingga tetap steril dan bersih hingga lukanya mengering. 

See? There's no easy process and that apply to psychological pain and wound too. It's hard, but necessary and worth it. Ketika kita tidak mengobatinya, itu tidak hanya menempatkan kita pada situasi yang buruk, bahkan itu bisa menjadi lebih buruk.

APAKAH MENYEMBUKAN LUKA = MELUPAKAN?

Faktanya, kita tidak memiliki kemampuan untuk melupakan atau menghapus masa lalu secara sengaja, terutama pada ingatan yang menggugah emosi. Namun, kita bisa untuk mengurangi kebermaknaan atau perasaan negatif dari pengalaman menyakitkan itu. 

Sehingga, ketika kita telah pulih dan ingatan menyakitkan itu muncul kembali, kita tidak akan terluka. Kita akan melihat itu sebagai suatu hal yang netral. Ingatan itu tidak memiliki kekuatan untuk menyakiti kita lagi. You've already healed, completely. Ingat, ketika kita masih merasa sakit, artinya kita masih terluka dan belum pulih sepenuhnya. Selamat berproses!

And for the last time, I just want to say thank you for surviving this far. I'm proud of you.

REFERENSI

American Psychiaric Association. (2017). Taming triggers for better mental health.

Robinson, L., Smith, M., & Segal, J. (2020, February). Emotional and psychological trauma. HelpGuide.

SAMHSA (2014). A treatment improvement protocol: Trauma-informed care in behavioral health services. USA: Department of Health & Human Services.

Shankar, M., Ramesh, B., Kumar, D. R., & Nirajanbabu, M. (2014). Wound healing and it's importance- A review. Der Pharmacologia Sinica, 1(1), 24-30

TedxTalks. (2019, April 5). Time Does Not Heal All Wounds| Chantal Kayumba| TEDxUniversityofWindsor. Youtube.

Walburn, J., Vedhara, K., Hankins, M., Rixon, L., & Weinman, J. (2009). Psychological stress and wound healing in humans: a systematic review and meta-analysis. Journal of psychosomatic research, 67(3), 253-271.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun