Mohon tunggu...
Ellyana Dwi Farisandy
Ellyana Dwi Farisandy Mohon Tunggu... Psikolog - Clinical Psychologist

Seorang manusia biasa yang berprofesi sebagai Psikolog Klinis—tidak memiliki kemampuan membaca pikiran maupun meramal masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Relationship, Apakah Pilihannya Selalu Meninggalkan?

11 Oktober 2020   11:13 Diperbarui: 18 November 2020   19:34 1338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi toxic relationship. (sumber: muda.kompas.id)

4. Constant judgement

Healthy relationship make us feel good about ourselves. Tapi, bagaimana rasanya jika terus menerus dikomentari, baik dari segi penampilan, cara berpakaian, intelektual, pendidikan, pekerjaan, bahkan berat badan? 

Misalnya: "aduh, gendut banget sih kamu. Untung aja aku mau sama kamu. Kayaknya nggak ada deh orang lain yang mau nerima kamu yang kayak gini" atau "bodoh banget masa ginian aja nggak ngerti, malu lah aku". Selain membuat kita tidak nyaman, hal itu tentu saja membuat harga diri kita hancur dan kita mulai mempertanyakan keberhargaan diri kita sendiri.

5. Continues disrespect

Saling menghargai tentu akan membuat satu sama lain merasa diterima dan dicintai, namun apa jadinya jika apa yang kita lakukan rasanya tidak pernah cukup di mata pasangan? 

Misalnya: ketika kita memberikan hadiah kepada pasangan, pasangan membuang hadiah itu di depan kita, atau ketika kita bela-belain ke rumah pasangan yang berada di luar kota, pasangan tidak menerima kita masuk ke rumahnya dan menyuruh kita pulang saat itu juga.

6. Abusive

Kekerasan dalam hal ini bentuknya akan sangat banyak, mulai dari: (a) kekerasan fisik seperti menjambak, menampar, mencakar, dan sebagainya; (b) kekerasan seksual seperti memaksa menyentuh atau bahkan melakukan hubungan seksual tanpa consent;(c) kekerasan finansial seperti tidak memperbolehkan pasangan bekerja, menggunakan uang pasangan untuk impulsive buying,dan sebagainya; serta (d) kekerasan emosional/verbal, seperti memaki, menggunakan silent treatment, gaslighting, ghosting, dan sebagainya.

Setelah kita tahu mengenai red flags-nya, lalu bagaimana? Apakah putus merupakan satu-satunya jalan keluar dari hubungan yang tidak sehat ini?

Jawaban mudahnya, tidakasalkan kita dan pasangan sama-sama berkomitmen untuk berproses dan bertumbuh menjadi yang lebih baik lagi. It takes two to tango. Ketika hanya satu orang yang berusaha, akhirnya hanya orang tersebut yang akan terluka.

 Namun, ketika kita sama-sama menyadari bahwa ada yang salah dalam hubungan ini dan berusaha untuk memperbaikinya, it will worth it. Bagaimana caranya, ya?

  • Memahami bahwa saat ini kita sedang tidak baik-baik saja. Berikan waktu bagi diri sendiri untuk melakukan self care pun melakukan hal yang kita senangi. Sadari bahwa kita berharga dan utuh, dengan atau tanpa dia.
  • Jika memang kita merasa bahwa pasangan layak untuk diperjuangnkan, kalian bisa mulai untuk membuat list mengenai perilaku masing-masing yang membuat kita dan pasangan merasa tidak nyaman bahkan terluka
  • Komunikasikan hal itu secara asertif dengan menggunakan I-statements. I statement merupakan gaya komunikasi yang berfokus pada perasaan dan pikiran orang yang berbicara. Gaya komunikasi ini dinilai sebagai strategi terbaik dalam membuka diskusi terkait suatu konflik (Rogers, Howieson, & Neame, 2018). Misalnya: "Aku merasa sedih dan terluka ketika kamu memberikan komentar yang buruk terkait penampilanku. Bisa tidak untuk kedepannya kamu tidak melakukannya lagi?" atau "Aku merasa khawatir ketika kamu pulang terlambat tanpa mengabari aku. Aku akan sangat menghargai ketika setidaknya kamu menelepon atau chat. Bisa tidak untuk kedepannya kamu mengabari aku?"
  • Dengarkan secara empati dan tidak menyela ketika salah satu sedang berbicara
  • Ketika terlalu overwhelmed, berikan jeda sebentar untuk melakukan kegiatan bersama yang kalian senangi, misalnya: menonton film bersama untuk meningkatkan bonding bersama pasangan
  • Setelah selesai, kalian bisa bersama-sama membuat action plan dan saling mengingatkan ketika red flags tersebut masih terulang
  • (Optional) kamu juga bisa melakukan konseling bersama pasangan ke Psikolog jika memang dibutuhkan, lho.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun