Skema keseluruhan proses dan juga empat dasar yang digunakan untuk penilaian risiko kredit tidak luput dibahas melalui infografis yang sangat mempermudah pemahaman. Sebagai studi kasus dari praktik terbaik, diangkat kisah Kopi Flores Bang Flo. Saya senang karena contoh nyata yang diangkat menjadi tidak Jawa-sentris serta menyentuh salah satu lini bisnis yang kini geliatnya sedang sangat diminati: bisnis kopi.
Artikel ketiga dan artikel keempat adalah contoh transformasi pembiayaan inovatif lain yaitu Mekanisme FPO (Farmers Producers Organizations) yang diadaptasi dari India dan Asean Micro and Small Enterprises; Inisiatif Pembiayaan UMK di ASEAN. Terkait FPO (artikel ketiga bagian dua) di halaman 75 memuat kutipan yang menurut saya cukup menggambarkan keseluruhan isi dan juga menjadi sebuah ringkasan tajam:
Adapun dikemukakan beberapa jenis dukungan yang diharapkan dari pemerintah untuk menciptakan ekosistem FPO yang lebih baik, antara lain melalui fasilitasi 1) skema pembiayaan; 2) kemitraan rantai pasok; 3) pendampingan dan pelatihan; dan 4) akses pasar. Satu catatan saya terkait artikel ketiga adalah pemilihan foto/gambar di halaman 69. Banyaknya kemasan plastic sekali pakai yang tertangkap kamera seakan berlawanan dengan nilai berkelanjutan (lingkungan) yang juga menjadi perhatian terutama di artikel ketiga dan keempat.
Sedangkan di artikel keempat akhirnya muncul salah satu isu yang saya rasa memang perlu disinggung, yaitu isu lingkungan sebagaimana digambarkan dalam kutipan berikut (halaman 96): "Green economy juga menjadi isu strategis global yang belum sepenuhnya menjadi rujukan dalam proses pembangunan ekonomi di kawasan ASEAN. Sejauh ini perkembangan green economy masih dalam tataran normatif, sehingga implementasi green economy di kawasan ASEAN perlu ditingkatkan." Menariknya tulisan keempat bagian satu ini tidak hanya fokus pada pencapaian, tetapi berani dengan gamblang mepaparkan fakta bagaimana UMKM di ASEAN masih belum optimal menerapkan dan menjadikan isu lingkungan sebagai sebuah concern tersendiri.
Bagian dua: Teknis dan Strategi Penerapan
Berpindah ke bagian kedua, dua artikel yang dihadirkan adalah Pembiayaan pada Rantai Pasok Bisnis Inklusif; dan Instrumen Pembiayaan bagi UKM. Keduanya sangat tepat diletakkan di bagian kedua, karena memang lebih dulu dibutuhkan kerangka pemahaman yang disodorkan di bagian satu sebagai konteks.
Artikel pertama bagian kedua membahas Supply Chain Financing (SCF) atau Pembiayaan rantai pasok. Sebagai contoh adalah kemitraan antara KoinWorks dengan Grosis Susu Malang dan UMKM Tenun di Kupang. Menariknya, dua UMKM itu berujung pada hasil yang berbeda. Grosir Susu Malang yang telah berhasil merasakan optimalisasi pengembangan bisnis melalui SCF dari KoinWorks, sedangkan di sisi sebaliknya UMKM Tenun digambarkan masih kesulitan melakukan adaptasi untuk merasakan secara nyata SCF tersebut. Di sini dapat ditangkap pengontrasan yang jujur dan membuat pembaca lebih mudah mengambil lesson learned alias konklusi konstruktifnya.
Last but not least, artikel terakhir tidak kalah insightful. Saya suka dengan elaborasi pembukanya: