Baik pada bencana banjir maupun kebakaran, keluarga yang terdampak tetap dapat bertahan dengan tangguh. Mereka juga tidak kesulitan memenuhi kebutuhan makanan sesehari --bahkan sebelum bantuan sembako dari pemerintah tiba. Itu semua dimungkinkan dengan menggunakan simpanan padi di Leuit. Sungguhlah wujud konkret dari ketahanan pangan lokal.
Tentu saja, ketangguhan Masyarakat Adat Baduy dalam menghadapi bencana tidak lepas dari rasa tepa selira yang mereka miliki sebagai suatu komunitas.Â
Ambu Pulum menceritakan sigapnya warga membopong dan menyelamatkan anak-anak, wanita hamil, dan kaum lansia kala banjir terjadi.Â
Terbukti, banjir yang menenggelamkan hingga tiga jembatan bambu yang adalah akses utama mobilitas warga, tidak menelan korban jiwa sama sekali. Bahkan kaum rentan sekalipun semua berhasil dievakuasi dengan aman.
Masyarakat Baduy menjadi teladan bagaimana keangkuhan manusia yang kerap termanifestasi melalui hasrat kepemilikan tanpa rasa cukup dan ego tanpa empati, tidak akan berguna pada masa sukar. Justru kebersahajaan dalam hidup yang penuh hormap terhadap alam dan sesama menjadi kekuatan untuk tangguh bertahan.
Lantas kini muncul pertanyaan: bersediakah kita mengadaptasi filosofi serupa di kehidupan kita sebagai masyarakat urban?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H