Tahun 2013 saya tinggal selama satu setengah bulan di Thailand. Saat itu sedang sangat hangat dibicarakan soal ASEAN Economy Community (AEC), yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai "Masyarakat Ekonomi ASEAN".
Di bus dengan harga tiket yang tidak lebih mahal dari lima ribu rupiah, seorang ibu dengan Bahasa Inggris kaku dan seadanya bertanya bagaimana persiapan AEC di Indonesia setelah mengetahui bahwa saya adalah orang Indonesia. Hal senada terjadi saat saya dan kawan-kawan berkunjung ke Dusit Zoo.
Beberapa papan dipasang sebagai sarana sosialisasi AEC. Tentu saja dalam bahasa amat sederhana dan visualisasi penuh warna, sebab "targeted audience" di kebun binatang tidak lain adalah anak TK, SD, dan kalangan remaja.
Informasi seputar AEC sangat mudah ditemui. Di stasiun MRT dan sebagainya. Artinya, pemahaman tentang AEC ini tidak eksklusif bagi akademisi dan politisi, justru diusahakan mendarat seluas mungkin di masyarakat lintas golongan ekonomi, usia, dan pekerjaan.
Hasilnya? Masyarakat bukan hanya lebih aware, tapi juga lebih punya perasaan bangga serta dapat "mencuri start" dalam memanfaatkan AEC secara kontekstual.
Pada periode yang sama, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional dari sebuah Universitas Swasta Jakarta datang berkunjung di KBRI Bangkok. Saat berdialog dengan mereka, terungkaplah bahwa mereka sama sekali belum terpapar cukup informasi mengenai AEC.
Bukankah dua kondisi kontras ini sangatlah miris dan tidak lain mencerminkan betapa kala itu Masyarakat Ekonomi ASEAN masih belum disosialisasikan dengan strategis?
Hampir satu dekade kemudian.
Tahun ini, Indonesia sedang dalam euforia pelaksanaan G20. Acara utama yang akan berlangsung pada November dan ratusan side events diprediksi akan mendatangkan berbagai benefit yang berperan dalam pemulihan ekonomi nasional.
Jika memang begitu penting, maka sudah seharusnya dibuat strategi komunikasi yang matang, sehingga pemahaman tentang G20 menjadi sebuah wawasan bagi khalayak umum.
Belum lagi dengan pemahaman yang tepat, diharapkan dapat terbentuk juga rasa bangga dan sense of belonging dari masyarakat. Berkaca pada sosialisasi masif AEC di Thailand tahun 2013, apa yang bisa diterapkan untuk Presidensi Indonesia G20 ini?
Saya mencatat setidaknya ada tiga konsep utama yang harus menjadi landasan strategi komunikasi untuk mendaratkan narasi terkait Presidensi Indonesia G20.
Saya menyebutnya strategi WNI (Wide-spread, Noticeable, Inclusive), yang masing-masingnya berangkat dari setiap unsur penting komunikasi.
Sender (Pengirim Pesan) = Wide-spread
Ini menyangkut upaya untuk menyebarluaskan pemahaman tentang Presidensi G20 oleh siapapun. Artinya, yang mendaratkan wawasan tentang apa itu G20, urgensi Presidensi Indonesia G20, agenda utama pembahasan di puncak acara, dan sebagainya, bukan hanya disosialisasikan oleh Humas pemerintah.
Untuk strategi komunikasi yang sukses, sangat diperlukan keterlibatan pihak-pihak yang memang punya influence di masyarakat, sehingga gaung pesan yang ingin dibagikan menjadi lebih nyata. Pengirim pesannya harus tersebar luas.
Harapannya, seperti acara ASEAN Games, dapat terbentuk rasa bangga dan optimisme, terhadap acara ini secara khusus dan terhadap kinerja pemerintah secara umum.
Message = Noticeable
Saat tahun 2019 mengikuti Jakarta Media Social Week, di kelas bersama Angga Dwimas Sasongko dari Visinema, dijelaskan dengan sangat apik bahwa kondisi konten dan informasi saat ini sangatlah "padat". Informasi menghampiri bahkan walaupun kita tidak memintanya.
Dengan distorsi informasi semacam ini, tugas para penyampai pesan menjadi kian menantang. Salah satu kuncinya, saya rasa adalah membuat pesan yang dibagikan benar-benar mudah ditengarai (noticeable).
Mirip dengan sosialisasi AEC di Thailand yang menyasar tempat-tempat publik dan dikemas sesuai targeted audience, sosialisasi G20 sudah seharusnya dikemas demikian.
Prinsipnya, informasi mudah ditemukan walaupun saat tidak dengan sengaja mencari itu. Keduanya hadir melalui konten yang ringkas, menarik, dengan frekuensi yang konsisten, dan memanfaatkan berbagai medium (omnichannel).Â
Receiver (Penerima Pesan) = Inclusive
Last but not least, dari sisi penerima pesan. Satu hal yang menurut saya wajib terwujudkan dalam edukasi terkait G20 adalah inklusivitas.
Saat kita menyebut "masyarakat" maka ini merujuk pada satu komunitas yang super heterogen baik secara latar belakang pendidikan, usia, tingkat ekonomi, dan sebagainya. Upaya mensosialisasikan G20 tidak boleh menyasar eksklusif kalangan tertentu.
Tentu saja, tidak semua akan merasa relevan dan tidak dapat juga dilakukan justifikasi bahwa G20 adalah sesuatu yang serentak harus dipahami.
Namun inklusivitas di sini berarti siapapun yang merasa tergerak (atas motif apapun) mencari tahu tentang G20, semestinya mendapatkan informasi yang memadai.
Tiga strategi sederhana yang menyasar ke masing-masing variabel penting komunikasi ini, sangatlah senada degan semangat "Recover Stronger Recover Together" yang diangkat dalam acara G20.
Kata "together" semoga tidak terhenti hanya sebagai slogan, tapi benar-benar terwujudkan dengan mengikutkan berbagai pihak, pengemasan narasi yang mendarat, dan inklusivitas penerima pesan.
Mari kita sukseskan G20 bersama!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H