Parahnya, betapa entengnya seseorang menjustifikasi intensi dari pihak lain, melabelinya "toksik" hanya karena ada ketidaknyamanan yang ia timbulkan?
Saya teringat satu peristiwa ketika saya dua minggu tinggal di Palopo. Di rumah yang saya tinggali, ada satu meja ruang tamu pecah sebab terlalu lama dibebani beberapa porsi kuah bakso panas yang teman saya beli.Â
Saya kira keluarga di tempat itu akan membuang pecahan tersebut dan membeli baru, atau menutupinya dengan taplak di sisi yang pecah. Tentu itu jadi pilihan yang jauh lebih nyaman alias tidak merepotkan.Â
Namun yang dilakukan teman saya sepenuhnya berbeda. Mereka mencari lem kaca dan mulai mengelem kembali pecahan kaca itu di posisi semula.Â
Saya kaget dengan keputusan itu, tapi dengan segera bergabung lalu berkeringat bersama, mengipas hingga menggunakan hair dryer untuk membuat lem segera kering.
Kejadian tersebut sangat membekas di benak saya karena satu hal, bahwa itu adalah pilihan tidak populer tapi sarat makna.Â
Bayangkan betapa banyak relasi yang dapat dipulihkan ketika semua berprinsip yang serupa: coba perbaiki dulu.Â
Sayangnya, banyak orang yang hanya ingin di kelilingi oleh mereka yang sepaham dan sependapat, atas nama mencintai hidup.
Ingin terjauh dari drama, tapi belum mendefinisikan dengan jelas apa perbedaan antara konflik dan yang benar-benar layak disebut "drama", sehingga ketika perbedaan mencuat mereka memilih jalan malas: "ya sudah berhenti saja berteman denganku."
Banyak orang yang lebih suka "membuang" daripada "memperbaiki". Memang, sulit disangkal usaha memperbaiki menuntut kerendahan hati dan usaha ekstra kan? Saya yakin betul, sebagaimana besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya.
Tidak salah, saat gagasan self-love menyemangati kita lebih sehat menentukan inner circle, memilih orang-orang yang "mempertumbuhkan". But that's the point, kita dipertumbuhkan bukan hanya dari relasi yang nihil masalah.