Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kondisi Problematik dari Konsep Self-love yang Sedang Marak Diperbincangkan

26 Maret 2021   10:15 Diperbarui: 28 Maret 2021   16:48 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi self-love (Sumber: picturecorrect.com)
Ilustrasi self-love (Sumber: picturecorrect.com)
Hal yang lebih menarik justru bukan hanya soal itu (kerja keras vs kenyamanan). Namun ke perkara melawan kekurangan diri sendiri. 

Kini yang seakan dipromosikan oleh banyak "pembicara" self-love adalah, we can't be perfect after all. Tentu, itu benar. Hanya saja, pernahkah kita bertanya bagaimana batas yang sehat antara menerima diri dengan terus ingin berbenah?

Ini bukan lagi soal menjadi kaya, punya taraf hidup lebih baik, dan memiliki hidup "from zero to hero" ala para motivator. Namun ini lebih ke sebuah perenungan, sungguhkah baik-baik saja, jika kita terlampau pasrah dengan segala karakter kita saat ini?

Bukankah, kita sadar betul kita ini masih penuh ketidaksempurnaan?

Saya misalnya, masih sering ceroboh menaruh barang, masih sering malas memperhatikan kawan saya, masih sering penuh keragu-raguan dalam berkarya, dan setumpuk kelemahan lainnya.

Kita dipercayakan sebuah rentang waktu untuk hidup, saya yakin, salah satunya untuk memberi kita kesempatan terus menjadi lebih baik.

Sekali lagi, ini berbeda dengan nasihat para investor, entrepreneur, atau motivator yang semata membentuk iming-iming enaknya hidup berkelimpahan. 

Ini lebih ke sebuah kesadaran bahwa kita tidak akan bisa sempurna, tapi terus menerus bisa menjadi lebih baik. Terutama dan pertama, karakter kita.

Bisa saja, sampai kapan pun, kekayaan kita tidak melebihi Keluarga Tanoesoedibjo dan ketenaran kita tidak akan sementereng Atta Halilintar. 

Bisa saja 10 tahun ke depan kita masih memilih es teh saat di restoran, hanya karena itu yang paling murah. 

Bisa saja seumur hidup kita tidak akan merasakan nikmatnya penerbangan kelas bisnis. Namun yang perlu kita pastikan adalah bahwa kita terus menjadi lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun