Kini yang seakan dipromosikan oleh banyak "pembicara" self-love adalah, we can't be perfect after all. Tentu, itu benar. Hanya saja, pernahkah kita bertanya bagaimana batas yang sehat antara menerima diri dengan terus ingin berbenah?
Ini bukan lagi soal menjadi kaya, punya taraf hidup lebih baik, dan memiliki hidup "from zero to hero" ala para motivator. Namun ini lebih ke sebuah perenungan, sungguhkah baik-baik saja, jika kita terlampau pasrah dengan segala karakter kita saat ini?
Bukankah, kita sadar betul kita ini masih penuh ketidaksempurnaan?
Saya misalnya, masih sering ceroboh menaruh barang, masih sering malas memperhatikan kawan saya, masih sering penuh keragu-raguan dalam berkarya, dan setumpuk kelemahan lainnya.
Kita dipercayakan sebuah rentang waktu untuk hidup, saya yakin, salah satunya untuk memberi kita kesempatan terus menjadi lebih baik.
Sekali lagi, ini berbeda dengan nasihat para investor, entrepreneur, atau motivator yang semata membentuk iming-iming enaknya hidup berkelimpahan.Â
Ini lebih ke sebuah kesadaran bahwa kita tidak akan bisa sempurna, tapi terus menerus bisa menjadi lebih baik. Terutama dan pertama, karakter kita.
Bisa saja, sampai kapan pun, kekayaan kita tidak melebihi Keluarga Tanoesoedibjo dan ketenaran kita tidak akan sementereng Atta Halilintar.Â
Bisa saja 10 tahun ke depan kita masih memilih es teh saat di restoran, hanya karena itu yang paling murah.Â
Bisa saja seumur hidup kita tidak akan merasakan nikmatnya penerbangan kelas bisnis. Namun yang perlu kita pastikan adalah bahwa kita terus menjadi lebih baik.