Manusia suka membuat kotak-kotak. Misalnya tentang label-label tertentu bukan hanya terhadap sesama, tapi juga dalam mengkategorikan peristiwa di hidup ini. Kita dengan "entengnya" melakukan klasifikasi "ini baik" dan "ini buruk". Sayangnya, harus diakui bahwa pelabelan itu berdasarkan sebuah pemahaman yang tidak utuh.
Sebagai manusia yang terbatas dan memahami sesuatu sepotong demi sepotong, godaan menentukan sebuah peristiwa ini baik dan itu buruk sangatlah mudah. Hanya karena sepotong puzzle berwarna hitam pekan, maka tak berarti keseluruhan gambar merupakan awan kelabu. Saya kemudian teringat cerita ini.
"Suatu kali seorang Raja dan seorang dokter kepercayaannya pergi berburu di hutan. Lalu kaki sang Raja terluka. Raja itu panik dan berkata "Oh that is so bad. So bad" sang dokter merespons tidak sesuai dugaan "good.. bad.. who knows?" Luka di kaki Raja makin parah dan akhirnya terinfeksi bahkan salah satu jari kakinya harus diamputasi.Â
Sekembalinya di kerajaan iapun mengeluh "that is so bad. So bad." Sang dokter alih-alih berempati lagi-lagi berkata "good.. bad.. who knows?". Rajapun marah dan memenjarakan sang dokter, dengan anggapan betapa acuh kawannya tersebut.
Selang beberapa waktu, Raja kembali berburu, namun kali ini tidak lagi bersama rekan setianya, sang dokter. Ia kemudian ditangkap oleh sekelompok penduduk adat. Ternyata raja itu hendak dijadikan korban kepada dewa.
Usai melepas sepatu sang raja, sang kepala adat terkaget melihat bahwa calon seserahan kepada dewa hanya memiliki sembilan jari. Sebuah korban yang tidak layak, bagi mereka. Alhasil, raja itu dibebaskan. Ia jadi bersyukur atas insiden luka kaki yang akhirnya menyelamatkan nyawanya.
Ia bergegas ke penjara dan meminta maaf pada sang dokter karena telah menghukumnya. "I'm sorry for the bad thing you must gone through."
"No, that is okay. And actually this is a good thing for me."
Rajapun terheran, mengapa bisa dia dipenjara karena sesuatu yang bukan kesalahannya, lalu masih sanggup berkata demikian?
Sang Dokter mulai menjelaskan "jika saja aku tidak dipenjara maka aku akan ikut berburu denganmu. Ketika ditangkap para masyarakat adat, setelah batal menjadikanmu korban, maka akulah yang akan jadi sasarannya sebab jari kakiku masih utuh sepuluh. Dipenjarakan seperti ini adalah hal baik bagiku."
Rajapun tertawa dan baru menyadari apa arti kalimat kesukaan sang dokter: "good.. bad.. who knows?""
Kita mungkin tersenyum membaca cerita ini. Namun harus diakui kerap kali kita menjadi seperti sang Raja, doyan memberi label peristiwa demi peristiwa. Padahal, apa yang kita duga tak selalu begitu adanya.
Saat saya kecil papa saya pernah terlambat berangkat kerja karena saya tiba-tiba rewel dan menangis. Siapa sangka, keterlambatannya pagi itu membuatnya batal naik sebuah bus yang ternyata mengalami kecelakaan.
Beberapa tahun lalu pelajaran senada muncul. Jalan hidup membuat saya ada di posisi sebagai pengangguran berbulan-bulan. Di tengah masa melelahkan itu mama saya sakit.
Setelah papa meninggal, mama saya tinggal sendirian sebab saya merantau ke kota lain untuk kuliah. Kondisi jobless saya saat itu siapa sangka menjadi kesempatan untuk merawat mama saya, setelah bertahun-tahun saya tak punya cukup waktu khusus untuk melakukannya.
Sejak saya menginsyafi kenyataan bahwa masa pengangguran pun ternyata hadir dengan sebuah tujuan, saya bertekad untuk tidak berprasangka terhadap kejadian spesifik yang terjadi.
Suatu malam, ketika kekasih saya sedang tertekan dengan kondisi kantornya yang hendak gulung tikar, saya mengatakan bahwa jikapun harus di-PHK, maka tak berhak kami menyebutnya sebagai bencana. Kemudian saya berkata, bahwa jika suatu hari anak saya di PHK, sebagai ibu, saya akan tahu persis hendak melakukan apa.
Kekasih saya penasaran.
Saya lantas menjawab: "saya akan mengajaknya makan malam istimewa dan memberi hadiah barang kesukaannya. Saya akan mengucapkan selamat karena ia akan memasuki tapak baru dalam hidupnya, dan akan mengijinkannya sejenak berlibur sebelum kembali dengan penuh syukur dan semangat untuk berjuang lagi."
Jane McGonigal penulis buku Superbetter mencatat hasil penelitiannya, bahwa sebuah masa sukar yang dianggap sebagai sebuah tantangan hidup (alih-alih musibah semata) dan dihadapi dengan semangat yang positif akan membuat kita terhindar dari post-trauma-syndrome dan membawa kita pada post-trauma-growth. Sebuah pertumbuhan ke arah yang lebih baik, terkhusus secara mental.
Ketika saya yang sudah menyebarkan berbagai lamaran kerja dan tak kunjung diterima harus menjalani masa jobless, saya menjadikannya segaia masa yang menantang. Saya mengeksplor diri saya di waktu luang yang tersedia, seperti menjadi volunteer, dan benar, ketika saya kembali bekerja, saya telah menjadi individu yang lebih baik. Lebih tangguh.
Munafik, memang, jika sebagai manusia kita berkata bahwa kehilangan pekerjaan atau kecelakaan atau ditipu rekan bisnis adalah hal menyenangkan dan baik-baik saja. Tapi kita bisa memilih untuk tidak dijadikan lesu dengan berbagai pelabelan negatif.
Kita juga tetap bisa memilih untuk mengumpulkan kekuatan dan merayakan itu sebagai puzzle hitam yang kelak --siapa tahu- akan jadi bagian yang memperindah keseluruhan gambar. Dalam kerangka yang besar, saya terlampau yakin sebenarnya semua itu baik adanya. Atau setidaknya, selalu dapat membawa hal baik dan dapat diperjuangkan menjadi sesuatu yang mengundang makna.
Jadi.. jika anakmu di-PHK apakah yang akan kamu lakukan sebagai orang tua? Dan jika kita yang kini sedang ada di fase yang menyedihkan macam itu, beranikah kita sedikit berbaik hati pada diri sendiri dan melakukan selebrasi terhadap puzzle hitam yang sedang singgah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H