Rasanya di beranda Facebook saya beberapa kali muncul curhatan tentang tingkah laku oknum polisi. Mulai dari perkara tilang, atau tindakan-tindakan lain yang dirasa tidak tepat untuk dilakukan oleh seorang polisi.
Saya mungkin menjadi satu orang yang diam-diam berpikir hal sama, dan hal itu makin ditegaskan kala orang terdekat saya mengalami sendiri bagaimana polisi melakukan tindak kecurangan.
Deretan informasi yang berulang kita telan akan memengaruhi persepsi kita terhadap suatu hal. Bahkan ekstrimnya kita tanpa sengaja melakukan stereotip atau dalam artian lain kita mendefisinikan sifat-sifat  suatu kelompok berdasarkan tindakan spesifik dari satu bagian kelompok tersebut.
Misalnya, kita sekali waktu memakan jeruk yang amat masam, lalu membuat kesimpulan bahwa semua jeruk pasti masam. Ya setipe dengan kalimat "semua lak-laki sama saja" hanya karena dikecewakan satu dua mantan kekasih. Padahal jeruk masih banyak yang manis dan laki-laki juga masih banyak yang setia.
Dalam pendefinisian bahasa Inggris bahkan digunakan kata "oversimplified", karena akar dari tindakan stereotip tak lain adalah kemalasan untuk mengurai lebih utuh dan melihat fakta dengan lebih menyeluruh, bahwa satu tindakan spesifik satu orang tidak serta merta mendefisinisikan karakter dari kelompok di mana orang itu berada.
Sayangnya, kadang kita melakukan itu. Atau setidaknya saya. Bahkan ketika saya tahu bahwa itu salah, ada pikiran-pikiran yang otomatismelakukan justifikasi berlandaskan stereotip, salah satunya ke oknum polisi.
Sebuah Pengalaman yang Mengubah Pandangan
Sekitar dua minggu lalu saya kena tilang di satu ruas jalan Surabaya. Dua polisi berdiri sigap dan salah satunya menghadang saya. Sejujurnya hari itu saya sangat lelah karena deretan kegiatan yang berpencar di berbagai titik berbeda Surabaya. Saat saya tahu polisi memberi 'urusan tambahan' buat saya, suasana hati langsung hancur. Tumpukan asumsi menyerang, bahwa ini pasti akan berujung uang dan bahwa dia akan mencari-cari kesalahan. Bukankah begitu seringnya?
Setelah saya berhenti, satu polisi memarahi saya sebab jalur yang saya pilih itu salah dan parahnya itu berpotensi membahayakan diri saya sendiri. Setelah kenyang mendengar teguran tersebut, saya diarahkan ke pak polisi kedua. Bapak satu ini lebih kalem dan tidak marah ataupun mengomel seperti rekannya.Â
Beliau meminta SIM dan STNK saya, lalu berkomentar tentang daerah asal saya, bertanya tempat kelahiran saya, hingga ... bertanya apa agama saya. Sontak firasat buruk mencuat. Saya kemudian dijadwalkan sidang pada tanggal 27 April (tepat sebulan dari hari kejadian). Kemudian dia bertanya lebih lanjut apa aktivitas saya belakangan ini, tanpa ragu saya jawab "besok Kamis Putih, lusa Jumat Agung, hari Minggunya Paskah." Dalam hati saya bergumam kalau memang karena identitas Kristen saya akan dipersulit, maka sekalian saja. Ternyata responsnya berbeda.
Pak Polisi itu berkata saya dibebaskan dengan syarat saya tahu persis kecerobohan saya memilih jalur saat itu dan tidak mengulangi lagi. "Supaya mbak juga bisa ibadah dengan tenang" begitu penjelasan tambahan dari pak polisi tersebut. "saya Cuma minta satu hal," begitu lanjutnya. Lagi dan lagi, firasat buruk menyerang. Jangan-jangan saya harus melakukan sesuatu yang melanggar integritas.
"Doakan polisi, mbak"
Saya menatap bapak itu dengan rasa tak percaya. Mungkin saya salah mendengar, gumam saya di hati.
"Oke pak, bapak siapa namanya? Saya doakan!" saya respon dengan memberanikan diri.
"Bukan hanya doakan saya mbak tapi seluruh polisi agar sehat dan dapat bertugas dengan baik."
Di detik itu mata saya berkaca-kaca. Semua firasat, asumsi, bahkan penghakiman menjadi sepenuhnya salah. Saya bertanya sekali lagi apakah benar saya dibebaskan dan apakah itu tidak akan menimbulkan masalah buat dirinya, lalu pak polisi tersebut menjawab: "Saya ikhlas Lillahitaallah, supaya mbak bisa ibadah dengan fokus dan mendoakan polisi."
Sebuah titik balik untuk melihat sisi yang berimbang
Saya berpamit dari lokasi kejadian dan sepanjang perjalanan saya menangis. Ada tumpukan rasa bersalah karena sudah berprasangka buruk, karena saya gagal meyakini kualitas kebaikan seseorang, bahkan sepersekian detik saya berpikir negatif tentang sebuah jabatan tertentu (polisi) dan isu perbedaan agama.
Kejadian tersebut kemudian membuat saya mulai menyebutkan "polisi" dalam untai doa saya sejak hari itu. Ketika saya membagi ini di laman instagram saya, ada begitu banyak respons dari teman saya, baik yang berkata terharu atau merasa tertegur sebab kerap berpikir serupa. Namun ketika saya menceritakan ini ke satu rekan kerja saya, dia dengan tegas berkata "lho masih banyak kok polisi yang baik."
Dia balik bercerita bahwa dia pernah tiga kali ditilang, dan walau tidak dilepaskan, polisi yang bertugas melakukannya dengan jujur dan santun, serta disertai bonus edukasi aturan lalu lintas.
Lalu mengapa ada stigma yang melekat soal buruknya oknum polisi? Mengapa pula stereotip citra polisi menjadi sedemikian buruk? Saya rasa tidak lain karena kecenderungan bagaimana kabar negatif lebih mudah menyebar dan (ironisnya) lebih disukai. Ketika seorang kawan merespons deret instastory kisah polisi ini, dengan sebuah saran: "ayo dijadikan tulisan", saya sempat meragu dan berpikir: "buat apa?" Namun akhirnya saya memilih untuk menulis ini sebab saya ingin mengambil peran (walau amat kecil) untuk tidak melulu memberitakan hanya-yang-buruk. Bahwa.. ada dua sisi dari sebuah figur dan segala sesuatu.
Tentang kebiasaan stereotip
Ibarat virus influenza yang nyaris mustahil ditiadakan samasekali, maka yang dapat kita lakukan adalah meningkatkan daya tahan diri kita sendiri termasuk melalui "konsumsi" bernutrisi, begitu pula soal kebiasaan stereotip ini. Lalu lintas informasi di kepala akhirnya akan menentukan apakah virus oversimplified itu akan menjauh atau justru betah bersarang di tubuh.
Sama seperti kata-kata dari kepala sekolah di film Wonder: "everything have two sides of story". Bukankah harus kita akui begitu pula hampir semua hal di dunia ini? Ada polisi yang curang, ada pula yang jujur. Ada lelaki brengsek tapi masih banyak pula lelaki setia. Pun banyak hal lain yang tidak bisa dengan enteng dikategorikan atas satu definisi mutlak.
Lalu bagaimana mengurangi kebiasaan ini? Entahlah. Saya bukan seorang sosiolog atau pakar di bidang ini. Bagi saya pribadi kebiasaan melabel berangkat dari ketidakpahaman seseorang akan kompleksnya manusia, maka salah satu caranya adalah dengan berusaha memperkaya diri. Melalui kawan yang dimiliki, bacaan yang dikonsumsi, pengalaman yang diraih, tempat baru yang dikunjungi, dan berbagai cara lain.
Sehingga jika nanti bertemu seseorang yang masih suka stereotip, saya akan menyarankan "Berteman dan membacalah lebih banyak. Mainlah makin jauh."
Salam,
(cte.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H