Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

4 Pola Keputusan yang Perlu Dihindari Perusahaan

9 Juli 2017   16:13 Diperbarui: 9 Juli 2017   16:17 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesuksesan kopi Starbucks jelaslah bukan  rahasia lagi. Terlepas dari kontroversinya belakangan soal dukungan mereka terhadap kaum LGBT, saya rasa pendekatan yang mereka lakukan layaklah ditiru banyak perusahaan lain.

"if you give employees reason to believe in their work and that they are part of a larger mission, they will personally improve the experience for every customer"

Ketika banyak perusahaan lain semata menerapkan "pembeli adalah raja", mereka justru berinvestasi terlebih dulu melalui pegawai mereka. Kira-kira begitu intepretasi yang dapat ditarik dari pernyataan Howard Schultz sebagai pembesar Starbuck

Sayangnya, walaupun sudah terbukti keberhasilan trik tersebut, masih (sangat) banyak perusahaan yang kerap mengabaikan peran penting pekerja lantas hanya fokus terhadap produk (barang ataupun jasa) dan customer. Sangat disayangkan.

Berangkat dari situ, perenungan minggu siang ini mengantar saya pada empat intisari pola kebijakan perusahaan yang semestinya dihindari. Sebuah pendekatan dari sisi saya sebagai pekerja dan bukan seorang pengambil keputusan.

  • Mempersulit tenaga potensial dan meringankan pihak yang underperformed

Pastilah orang yang kompeten akan semakin dipercayakan berbagai tanggung jawab. Sebuah hal lumrah ketika sang pengambil keputusan akan memilih orang yang terbukti performanya daripada yang tidak. Sampai disana, maka tidak ada masalah. Sayangnya, yang saya amati kerap kali perusahaan menerapkan bentuk take for granted terhadap orang-orang dengan kapasitas tinggi. Mereka dibebani berbagai tugas khusus, tanpa memberikan apresiasi yang signifikan. Sedangkan mereka yang underperformed juga tidak dirugikan apapun karena tidak ada konsekuensi apapun, namun dapat bersantai dengan lebih lama. Kondisi seperti ini merugikan dalam dua hal. Pertama, tidak menyemangati mereka yang kompeten. Kedua, mengijinkan orang-orang underperformed tetap pada zona nyaman.

Saya tiba-tiba teringat sebuah kalimat "bertoleransi pada keterlambatan artinya memberi hukuman bagi mereka yang telah tepat waktu dan memberi hadiah bagi mereka yang tidak disiplin." Dalam konteks senada, perusahaan sepatutnya menghindari pola demikian. Jangan sampai, para pegawai briliant justru meredup karena pola take for granted ini. Alih-alih memindahkan tugas dari mereka yang under-perfomed pada yang kompeten, jauh lebih baik untuk menyiapkan mekanisme yang lebih sehat atau setidaknya apresiasi relevan.

  • Mengijinkan kelompok tertentu mengubah aturan main.

Sudah fakta lawas bahwa kecenderungan berkelompok ada pada setiap orang. Namun dalam beberapa kasus, adanya kelompok-kelompok itu memegang pengaruh dalam pengambilan keputusan. Beberapa pegawai berani bersuara, sebagian besar yang lain memilih diam. SOP (standard operasional) yang seharusnya menjadi acuan tak elak dikesampingkan. Profesionalitas menjadi sekedar sebutan. Misalnya, bagaimana memuluskan kenaikan pangkat seseorang (bagaimanapun bagusnya kinerja yang bersangkutan) hingga memodifikasi seenak hati ketentuan instansi.

Bagi saya (yang adalah seorang pegawai), kondisi semacam itu jelas berpengaruh pada semangat kerja. Pun, pada rasa respectterhadap para pengambil keputusan. Entah kenapa saya yakin, begitu banyak pegawai lain di luar sana, yang kerap merasa kecewa dengan keputusan yang bernada subjektif untuk menguntungkan kelompok tertentu. Apalagi ketika mengendus adanya 'skenario terselubung', sudah pasti kinerja akan terpengaruhi.

  • Memberi ruang untuk ketidakadilan

"seorang yang lebih kuat menyalahgunakan kuasa untuk mengambil dari mereka yang lebih lemah"

Definisi dari pendiri International Justice Mission (IJM), Gary Haugen, akan menjadi tumpuan kita mendefinisikan ketidakadilan. Saya cukup bersyukur, poin nomor tiga ini tidak terjadi  di tempat saya mengabdi. Namun, saya melihat begitu banyak tempat kerja lain yang dengan begitu halusnya terus "mengambil (sesuatu) dari mereka yang lebih lemah". Ketentuan semacam itu pernah saya dapati dari sebuah industri di Surabaya. 

Tidak tercapainya target membuat para atasan mengharuskan pegawai untuk menambah jam kerja atau membayar jumlah tertentu. Kalau kita teliti, penggunaan kata "membayar" adalah cara aman untuk membahasakan "pemotongan gaji". Sebab, sesuai peraturan pemerintah, pemotongan gaji tidak diberlakukan semudah itu. Prinsip "no work no pay" jelas benar, relevan, dan masuk akal. Tapi ketika pekerja tetap mencapai standar performa namun kondisilah yang kurang mendukung tercapainya target, saya rasa keharusan untuk membayar sejumlah uang agaklah berlebihan.

  • Menerapkan kebijakan non-vital yang mengurangi semangat pekerja

Jika pengurangan bonus bagi pegawai dilakukan karena perusahaan akan pailit, maka sudilah para pegawai memberi maklum. Namun berbeda cerita ketika, perusahaan memutuskan menggabungkan pemberian bonus yang seharusnya dicairkan dua kali, hanya untuk efektifitas semata. Keputusan non-vital itu berpotensi mengurangi semangat pekerja atau siapa tahu mempengaruhi keseluruhan rencana finansial mereka. Sebuah contoh sederhana untuk memahami poin terakhir ini.

Sangat penting menurut saya, para pembesar perusahaan mengintip sejenak para pekerjanya. Saya percaya, negara lebih mudah maju ketika pemerintah mau mengenal kebutuhan rakyatnya. Begitu pula sebuah perusahaan, kemauan untuk memahami keadaan pekerja di lapangan adalah langkah jitu. Kebijakan yang baik dapat mencapai sebuah win-win solution, bagi pembuat kebijakan ataupun sasarannya. Bukan justru "tidak terlalu menguntungkan perusahaan namun agak merugikan pekerja".

Sekali lagi, pekerja adalah investasi keberhasilan sebuah instansi. Saya dan jutaan pegawai lain memang harus tahu diri, tapi kiranya kami diijinkan untuk bersuara untuk mengingatkan hal tersebut kepada sang pembesar.

Untung-untung jika ada yang mau instropeksi. Kemungkinan lain (yang terburuk) adalah jika para pembesar justru berkata: "ya kalau kamu ga suka, keluar aja. Banyak pengangguran lain yang ingin bekerja".

Nah kalau sudah kalimat itu keluar, habislah sudah para pegawai. Mau bagaimana, dapur harus mengepul dan pelesir harus berjalan. Suka tak suka ya telan saja.

Kiranya tak hilang semangat untuk: Kerja, kerja, kerja!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun