Seperti yang khalayak telah ketahui, Bu Risma merupakan seorang kepala daerah yang concern terhadap manajemen tata kota. Sejak di bawah pimpinan beliau, jumlah ruang hijau di Surabaya meningkat drastis. Menurut Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Surabaya, ada dua jenis taman yang tersebar di seantero kota pahlawan ini: taman aktif yang dapat dikunjungi dan taman pasif untuk fungsi ekologi dan penghijauan. Setidaknya ada lebih dari 50 taman yang tergolong taman aktif. Wow! Jumlah yang tidak main-main. Walau demikian, tidak semua dikenal baik oleh penduduk Surabaya. Dua taman yang paling sering disebut dan dikenal luas adalah Taman Bungkul dan Taman Flora. Terkenalnya dua taman ini agaknya didukung oleh dua hal: besaran lahan dan lokasi yang strategis.
Selasa lalu ketika Umat Hindu merasakan nikmatnya Nyepi, saya mengunjungi salah satu taman tersebut. Lokasi tempat tinggal saya lebih dekat ke Taman Flora, maka memilihnya supaya waktu tidak terbuang di jalan raya. Jam 8 pagi saya meluncur usai sarapan nasi pecel yang nikmat di daerah Mulyosari.
Sesampainya, saya mendapati keramaian yang tidak saya duga. Ada sekelompok anak SD yang beraktivitas dengan didampingi para guru. Belum lagi para warga dengan aktivitas yang beragam, dari piknik hingga pemotretan! Saya mengelilingi taman dengan raut yang terus tersenyum. Menyaksikan berbagai keceriaan dengan harga terjangkau yang dapat dinikmati oleh warga.
Rasanya tidak berlebihan jika saya menyimpulkan bahwa Taman Flora adalah salah satu taman terbaik yang dimiliki oleh Surabaya. Ada sebuah kelengkapan di setiap sudut taman. Sebuah ruang multi fungsi.
- KULINER
Di gerbang dari parkiran menuju pintu masuk, ada berbagai jajanan terjejer. Hal ini tidak saya temui di taman lansia ataupun taman remaja dan beberapa taman lain. Dimulai dari es dawet hingga jajanan yang sudah saya rindukan: rangin! Sambil menunggu rangin seharga 2500 yang saya pesan, saya menyempatkan berbincang dengan si bapak penjual. Pertanyaan refleks saya saat itu lahir setelah melihat ada bongkahan es di ember yang berisi adonan. Diapun menjelaskan bahwa itu adalah triknya supaya adonan berbalut kepala –yang notabene mudah basi-, tetap dapat fresh seharian tanpa menggunakan bahan pengawet. Saya kemudian mengerutkan kening dan menjadi penasaran mengapa ia ‘seidealis’ itu? Jawabannya sederhana: “soalnya yang kesini banyak anak kecil, mbak. Jangan sampai bikin sakit perut apalagi pake yang aneh-aneh”.
Sebuah niat yang mulia. Menjaga kualitas barang dagangan agar tidak merugikan orang lain. Kue rangin gurih ini menjadi lebih beradab dibandingkan jajanan mewah yang tidak segan menuangkan banyak bahan tak sehat bagi para penikmatnya. Bravo, pak!
- EDUKASI
Setelah rangin tuntas dihabiskan, saya langsung melanjutkan langkah kaki. Di bagian tengah taman ada sebuah ruang baca. Sayangnya, saat itu sedang tutup sehingga saya membatalkan niat untuk mengeksplorasi koleksi bacaan dan atmosfer yang ada. Taman bacaan di Surabaya memang terus digalakkan, namun lagi-lagi karena tutup saya tidak dapat menebak seberapa banyak pengunjung yang singgah.
Sarana edukasi lain adalah keberadaan taman UKS dengan kumpulan tanaman toga yang disertai dengan informasi singkat pada masing-masingnya. Jika saya perhatikan, tidak banyak anak kecil atau remaja yang menyusuri jalanan setapak di antara tanaman penuh khasiat itu, rata-rata orang paruh baya yang kemungkinaan besar memang lebih doyan beras kencur dibandingkan minuman soda.
Satu yang merisaukan saya adalah papan peringatan yang berisi larangan untuk memberi makan rusa. Papan itu seakan invisiblebagi para pengunjung. Saya kemudian menoleh kanan kiri mencari keberadaan petugas untuk dapat saya gali informasinya terkait hal ini. Sayangnya, nihil. Satu poin yang agak mengecewakan melihat tak banyak petugas yang siap sedia. (atau mungkin mereka menggunakan pakaian non-seragam dan membaur sehingga tak ditengarai sebagai petugas? Ah entahlah).