Agustus tiba, masa perayaan kemerdekaan akan segera memenuhi surat kabar, televisi, dan berbagai aktifitas di gang rumah. Kemeriahan itu sudah sepantasnya beriringan dengan kemerdekaan segala sisi. Salah satunya adalah soal pembaharuan pandangan tentang tenaga pengajar termasuk soal penghargaan akan dedikasi mereka.
Sebulan hingga dua bulan ke belakang, terdapat beberapa kasus yang menimpa para tenaga pendidik di beberapa belahan nusantara.
Di awali dengan kisah seorang guru yang menyubit seorang siswa pasca tindakan kurang terpuji yang dilakukan. Orang tua siswa yang bersangkutan kebetulan anggota kepolisian sehingga tak tanggung harus berujung pada ranah hukum. Permintaan maaf dari gurupun ditolak.
Kasus kedua datang dari Sinjai Selatan yang membuat seorang guru pendidikan olahraga berurusan panjang setelah memberlakukan tindakan penertiban.
Terakhir adalah berita seorang guru yang harus menerima imbas karena mencukur rambut seorang siswa. Jilbabnya dilepas dan rambutnya seketika juga dipotong, tidak lain oleh orang tua murid yang merasa tak terima. Sungguh menyedihkan.
Siapa sangka tindakan pendisiplinan itu justru berujung rumit. Di sisi lain, saya sepakat tentang opini kedaulatan tubuh sehingga kemerdekaan yang kita rayakan bulan ini salah satunya termasuk dengan berhentinya memberikan sanksi fisik. Namun kali ini lupakan sejenak soal tindakan sang orang tua yang mungkin gegabah tersebut, mari menelisik dari sisi sang guru.
Sebenarnya tiga kasus tersebut sangat tepat menjadi representasi. Inilah bukti nyata betapa masih banyak guru yang tidak kompeten. Dalam kapasitas saya sebagai seorang tenaga pendidik, ijinkan saya membagi sebuah pandangan. Mungkin memang tidak berlaku secara keseluruhan, namun saya yakin sebagian besar guru pasti memiliki tiga ketidakmampuan utama ini.
Pertama: tidak kompeten untuk cuek.
Dengan gaji dan pandangan sinis yang merendahkan profesi ini, kami, para guru, terlalu sulit untuk menjadi cuek. Melakukan pengabaian terhadap murid bukanlah keahlian kami. Ketika orang tua menginginkan kami cuek terhadap tindakan tidak terpuji ataupun ketidakpatuhan anak-anak yang mereka titipkan di sekolah, terungkaplah betapa kami sebagai tenaga pendidik amatlah lemah. Kami tak sanggup untuk cuek. Kami tak mampu untuk mengabaikan ketidakdisiplinan.
Saat ada orang tua yang ribut tidak menerima pendisiplinan dari guru, itu tak lain dengan meminta guru untuk sengaja tuli dan buta atas kesalahan buah hati mereka. "ah, mereka kan masih anak-anak" mungkin begitu kilah mereka. Tanpa disadari, toleransi semacam itu sedang menumpulkan kemampuan untuk mawas diri pada pelanggaran. Andaikan hal itu diteruskan, maka jangan heran jika kelak berkeliaran orang dewasa yang melakukan korupsi ataupun memfitnah tanpa rasa bersalah.
Di banyak kesempatan, saya sebagai guru baru yang belum berpengalaman ini harus terenyuh penuh haru melihat keseriusan guru-guru senior yang memberi teladan. Mengejar tugas yang terlambat, menegur senantiasa tanpa pernah jenuh, hingga berhadapan dengan intervensi ego dari orang tua peserta didik. Lebih dari itu, kami bahkan mendoakan satu per satu siswa. Terkhusus saat mereka sakit, sedang berhadapan dengan kemelut keluarga, ataupun sedang berjuang mengubah tabiat.
Jika di baris doa saja kami mengingat mereka, jika air mata sudah pernah tumpah bagi mereka, bagaimana mungkin kami sanggup untuk cuek? Jangan tuntut para guru pada ketidakpedulian, kami tidak akan sanggup untuk itu.
Kedua: Tidak kompeten untuk melawan sistem.
Siapa yang mau menyangkal kenyataan bahwa hampir segala hal saat ini selalu berkaitan dengan kapitalisme. Guru seakan hanya menjadi sebuah faktor ekonomi yang diharapkan menunjang upaya peraupan keuntungan semaksimal mungkin. Mungkin saya beserta kawan sejawat masih jauh lebih beruntung dibandingkan banyak guru di pedalaman sana. Mereka yang kerap terabaikan, namun terus memberikan dedikasi tertingginya. Menyebrang sungai, mengajar di tengah bangunan rapuh, dan gaji yang kadang tidak lancar mengalir. Mereka selalu punya alasan untuk berhenti, namun mereka tidak melakukannya.
Saat masyarakat menggerutu soal kurikulum dan membebankannya pada guru, itu sinonim dengan menganggap kami sebagai tenaga pahlawan yang dalam hitungan detik dapat membalikkan keadaan secara drastis.
Bukan hanya soal kurikulum, tiga kasus yang saya singgung di awal membuktikan minimnya perlindungan hukum bagi guru dalam melaksanakan wewenang dalam mengajar dan mendisiplinkan.
Guru mah apa atuh, kami tak punya kekuatan dan posisi yang memadai untuk melakukan terobosan sistem. Bahkan ketika kami menulis atau bersuara di banyak forum untuk membela nasib para pendidik, toh tak banyak yang bisa kami paksakan.
Daripada sibuk soal perubahan sistem di jajaran pemerintah sana, kami lebih memilih fokus pada perubahan karakter dan mindset para generasi penerus bangsa. Sembari melakukannya, kami kirimkan banyak prasangka baik bahwa jauh diatas sana, di jajaran pemerintah, nasib kami sedang diperjuangkan dengan serius dan tulus.
Kami tidak berkompeten melawan sistem, tapi kami semangat mengubah generasi yang kelak dapat membuat sistem yang lebih baik.
3. Tidak berkompeten menyimpan dendam
Setiap tahun ajaran, di sekolah sebagus apapun, selalu ada siswa yang tergolong bandel. Tutur kata yang tak sopan, sikap tak ramah ketika menerima teguran, dan berbagai tabiat yang –harus diakui- mengesalkan hati.
Memang, sekolah bukanlah museum bagi orang-orang cerdas dan baik. Justru, sekolah merupakan rumah sakit bagi yang dehidrasi ilmu dan bergelut dengan berbagai perilaku kurang baik.
Sekolah diharapkan menjadi ladang transformasi seorang insan manusia menjadi versi terbaik dari dirinya. Guru disini menjadi salah satu stimulan penting.
Itulah kenapa guru amatlah lemah. Guru tidak boleh dan memang tak cukup sanggup untuk menyimpan dendam. Sehari disakiti, maka esok tetap akan ada limpahan ilmu yang dibagi dengan ikhlas. Sehari kami dilawan, maka kami dengan tarikan nafas kesabaran mulai kembali mengarahkan.
Guru adalah orang tua di sekolah. Kita sepakat akan premis tersebut. Lebih jauh, predikat sebagai orang tua bukan hanya soal wewenang dan otoritas, namun juga soal besarnya kepedulian dan kasih. Di antara proses di kelas ataupun luar kelas, pada hakikatnya guru tak pernah mampu untuk menyimpan dendam. Ketika mereka menyakiti, baik sengaja ataupun tidak, sejatinya guru selalu memberi maaf sebelum diminta.
Selaiknya bunda dan ayah yang tak pernah lelah memberi maaf, pun guru di sekolah.
![Koleksi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/08/02/guru-jpg-57a0ae6ddf22bd0a19127d1a.jpg?t=o&v=770)
Tulisan ini bukanlah bentuk mengemis meminta tambahan upah pendidik. Bukan pula memaksa belas kasihan dari orang lain. Di bulan istimewa perjalanan sejarah negara ini, saya sebagai secuil tenaga pendidik muda di Indonesia, memimpikan cara pandang yang dewasa. Memang tak semua guru sempurna, memang sanksi fisik tak lagi relevan, namun sungguh, kita sudah sepatutnya lebih mawas akan karya dan karsa para guru.
Karena merdeka bukan hanya soal bebas dari penjajahan militer namun juga pembebasan mindset dari emosi dan penghakiman sesaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI