Siapa yang mau menyangkal kenyataan bahwa hampir segala hal saat ini selalu berkaitan dengan kapitalisme. Guru seakan hanya menjadi sebuah faktor ekonomi yang diharapkan menunjang upaya peraupan keuntungan semaksimal mungkin. Mungkin saya beserta kawan sejawat masih jauh lebih beruntung dibandingkan banyak guru di pedalaman sana. Mereka yang kerap terabaikan, namun terus memberikan dedikasi tertingginya. Menyebrang sungai, mengajar di tengah bangunan rapuh, dan gaji yang kadang tidak lancar mengalir. Mereka selalu punya alasan untuk berhenti, namun mereka tidak melakukannya.
Saat masyarakat menggerutu soal kurikulum dan membebankannya pada guru, itu sinonim dengan menganggap kami sebagai tenaga pahlawan yang dalam hitungan detik dapat membalikkan keadaan secara drastis.
Bukan hanya soal kurikulum, tiga kasus yang saya singgung di awal membuktikan minimnya perlindungan hukum bagi guru dalam melaksanakan wewenang dalam mengajar dan mendisiplinkan.
Guru mah apa atuh, kami tak punya kekuatan dan posisi yang memadai untuk melakukan terobosan sistem. Bahkan ketika kami menulis atau bersuara di banyak forum untuk membela nasib para pendidik, toh tak banyak yang bisa kami paksakan.
Daripada sibuk soal perubahan sistem di jajaran pemerintah sana, kami lebih memilih fokus pada perubahan karakter dan mindset para generasi penerus bangsa. Sembari melakukannya, kami kirimkan banyak prasangka baik bahwa jauh diatas sana, di jajaran pemerintah, nasib kami sedang diperjuangkan dengan serius dan tulus.
Kami tidak berkompeten melawan sistem, tapi kami semangat mengubah generasi yang kelak dapat membuat sistem yang lebih baik.
3. Tidak berkompeten menyimpan dendam
Setiap tahun ajaran, di sekolah sebagus apapun, selalu ada siswa yang tergolong bandel. Tutur kata yang tak sopan, sikap tak ramah ketika menerima teguran, dan berbagai tabiat yang –harus diakui- mengesalkan hati.
Memang, sekolah bukanlah museum bagi orang-orang cerdas dan baik. Justru, sekolah merupakan rumah sakit bagi yang dehidrasi ilmu dan bergelut dengan berbagai perilaku kurang baik.
Sekolah diharapkan menjadi ladang transformasi seorang insan manusia menjadi versi terbaik dari dirinya. Guru disini menjadi salah satu stimulan penting.
Itulah kenapa guru amatlah lemah. Guru tidak boleh dan memang tak cukup sanggup untuk menyimpan dendam. Sehari disakiti, maka esok tetap akan ada limpahan ilmu yang dibagi dengan ikhlas. Sehari kami dilawan, maka kami dengan tarikan nafas kesabaran mulai kembali mengarahkan.
Guru adalah orang tua di sekolah. Kita sepakat akan premis tersebut. Lebih jauh, predikat sebagai orang tua bukan hanya soal wewenang dan otoritas, namun juga soal besarnya kepedulian dan kasih. Di antara proses di kelas ataupun luar kelas, pada hakikatnya guru tak pernah mampu untuk menyimpan dendam. Ketika mereka menyakiti, baik sengaja ataupun tidak, sejatinya guru selalu memberi maaf sebelum diminta.
Selaiknya bunda dan ayah yang tak pernah lelah memberi maaf, pun guru di sekolah.
Tulisan ini bukanlah bentuk mengemis meminta tambahan upah pendidik. Bukan pula memaksa belas kasihan dari orang lain. Di bulan istimewa perjalanan sejarah negara ini, saya sebagai secuil tenaga pendidik muda di Indonesia, memimpikan cara pandang yang dewasa. Memang tak semua guru sempurna, memang sanksi fisik tak lagi relevan, namun sungguh, kita sudah sepatutnya lebih mawas akan karya dan karsa para guru.
Karena merdeka bukan hanya soal bebas dari penjajahan militer namun juga pembebasan mindset dari emosi dan penghakiman sesaat.