Di bawah langit Solo yang berkilau, kami melangkah ke dalam harmoni waktu, menguak kisah-kisah yang terpendam dalam irama dan warna. Tiap nada dari musik lokananta mengalun lembut, menyeret kami ke dalam pelukan sejarah yang tak terlupakan, sementara Tumurun Museum menanti dengan kekayaan seni yang memikat, mengajak kami menyelami keindahan yang terjalin dalam setiap karya. Inilah perjalanan yang bukan hanya sekadar eksplorasi, tetapi sebuah odyssey yang merayakan warisan budaya dan kreativitas jiwa bangsa.
Kami memulai petualangan ini dengan melangkahkan kaki ke dalam ruang linimasa yang memukau, sebuah tempat yang bercerita tentang perjalanan epik Lokananta. Dinding-dindingnya yang bersih dan cerah dipenuhi dengan catatan sejarah, setiap tulisan menantang kita untuk merenungkan bagaimana sebuah perusahaan rekaman sederhana dapat bertransformasi menjadi museum yang megah. Di sinilah, Kak Iqbal, pemandu kami yang bersemangat, memulai narasi yang membuat kami terpesona.
Kisah dimulai pada dekade 1950-an, ketika ajang pencarian bakat bernama Bintang Radio mengguncang panggung seni Indonesia, bahkan Bung Karno hadir secara langsung. Nama-nama besar seperti Ibu Waldjinah, Bing Slamet, dan Titiek Puspa muncul dari panggung ini, menciptakan gelombang yang akan membesarkan nama Lokananta di kancah musik tanah air. Seolah terbuai oleh melodi yang memikat yang bergema di ruangan tersebut, kami membayangkan bagaimana suara-suara ini menggema dalam kehidupan masyarakat kala itu.Â
Lokananta tak hanya berfungsi sebagai tempat produksi, tetapi juga menjadi saksi bisu dari sejarah bangsa. Mereka ditugaskan untuk memproduksi piringan hitam sebagai kenang-kenangan dari ASEAN Game ke-4, di mana Indonesia untuk pertama kalinya menjabat sebagai tuan rumah. Piringan hitam ini bukan sekadar benda; ia adalah jembatan antara pulau-pulau, menyatukan lagu-lagu daerah yang kaya dari barat hingga timur dan beberapa di antaranya dinyanyikan oleh Titiek Puspa.
Seiring berjalannya waktu, Lokananta beradaptasi dengan perubahan zaman. Pada tahun 1973, mereka merambah ke produksi kaset, melanjutkan warisan musiknya meskipun badai pembajakan yang melanda sejak tahun 1982 menjadi tantangan yang tak terelakkan. Di tahun 1999, sayangnya, Lokananta dinyatakan pailit, terpuruk dalam gelombang yang tak terduga. Namun, harapan tak pernah padam. Pada tahun 2004, Lokananta bangkit kembali setelah diakuisisi oleh Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Dengan semangat baru, mereka berfokus pada konservasi karya-karya berharga dari masa lalu, berhasil menyelamatkan 5.600 rekaman asli dan puluhan ribu piringan hitam.
Kami melangkah ke dalam ruangan yang terintegrasi dengan ruang linimasa, di mana keindahan dan sejarah berpadu dalam harmoni yang menawan. Ruangan ini bercahaya dalam nuansa putih, menyuguhkan beragam barang memorial dari Lokananta yang terhampar dengan rapi. Di antara koleksi yang memikat, kami menemukan biola yang pernah mengalunkan melodi indah, mesin tik yang mengisahkan perjalanan kata, serta kebaya anggun yang dikenakan oleh Ibu Waldjinah saat tampil di panggung pada tahun 1980-an.
Setiap barang bercerita, dan foto-foto yang terpajang menambah kedalaman kisah yang ada. Dalam perjalanan mata kami, perhatian tertuju pada polivinil klorida, bahan utama dalam pembuatan piringan hitam, yang menandai era keemasan musik. Mesin yang berdiri di sudut ruangan membawa kami pada masa lalu; ia adalah produsen kaset yang beroperasi pada tahun 1980-an, dan mampu menghasilkan tiga kaset dalam waktu lima menit.
Melangkah ke dalam ruangan gamelan, kami disambut oleh kehadiran berbagai alat musik yang tersusun rapi, masing-masing dengan keunikan dan karisma tersendiri. Nama "Lokananta" sendiri menyiratkan kedalaman makna; terinspirasi dari gamelan dan kisah pewayangan yang kaya. Dalam cerita pewayangan Jawa, terdapat seperangkat gamelan di atas kahyangan yang konon bisa berbunyi sendiri tanpa penabuh. Suara merdu yang dihasilkan menjadi alat hiburan bagi dewa-dewi, menciptakan suasana penuh kedamaian dan kebahagiaan. Barang siapa yang dapat mendengar melodi tersebut dari bumi akan merasakan ketenangan yang mendalam. Gamelan tersebut dinamakan Lokananta, sebuah nama yang menyimpan kekuatan magis dan keindahan. Gamelan yang terpajang di ruangan ini bukan sekadar alat musik; mereka adalah saksi dari proses produksi rekaman yang berlangsung di Lokananta pada tahun 1980-an. Gamelan bernama Sri Kuncoro Mulyo ini telah memainkan peran penting dalam merekam lagu-lagu Gending Jawa serta lagu-lagu pengiring tarian. Setiap dentingan dan alunan mengisahkan perjalanan waktu, menghubungkan kami dengan tradisi yang telah terjalin selama berabad-abad.
Di dalam Ruangan Diskografi, kami dihadapkan pada sebuah ruang yang menyimpan kenangan berharga dari masa lalu. Di sepanjang sisi kanan dan kiri, rak-rak tinggi menjulang, dipenuhi dengan koleksi hasil rekaman yang menunggu untuk diceritakan. Dengan penuh kekaguman, kami menyusuri deretan album yang berasal dari tahun 1950-an hingga 1990-an, di mana setiap rekaman memiliki kisahnya sendiri. Tidak hanya lagu-lagu hiburan yang menghiasi rak-rak ini, tetapi juga rekaman bersejarah seperti pertunjukan Srimulat yang mengundang tawa dan keceriaan. Di antara koleksi tersebut, terdapat pula rekaman asli pembacaan naskah proklamasi oleh Bung Karno, momen yang menggerakkan jiwa dan menjadi saksi bisu perjalanan bangsa. Keberadaan rekaman-rekaman ini menjadikan ruangan ini begitu istimewa, sehingga hanya dapat diakses bersama tour guide. Dengan 95% rekaman telah didigitalisasi, kami merasa beruntung karena dapat mendengarkan kembali melodi-melodi yang mengisi sejarah. Lewat website Lokananta, setiap nada dan lirik dapat diakses, membawa kami kembali ke masa yang penuh warna. Ruangan Diskografi ini bukan sekadar tempat penyimpanan; ia adalah jendela yang membuka pandangan kami terhadap kekayaan budaya dan sejarah yang terukir dalam setiap rekaman, mengajak kami untuk merasakan denyut nadi perjalanan seni yang tak lekang oleh waktu.
Begitu kami melangkah ke dalam Ruangan Bengawan Solo, alunan lagu yang ikonik menyambut kami dengan kehangatan yang mengalir lembut. Melodi yang mengingatkan pada keindahan sungai yang mengalir membawa kami ke dalam suasana yang penuh nostalgia. Ruangan ini bercahaya dalam nuansa putih, di mana gambar-gambar menceritakan kisah proses produksi rekaman hingga bertransformasi menjadi piringan hitam, mengungkapkan perjalanan panjang dari ide hingga realisasi.Â
Dinding-dinding ruangan ini dipenuhi dengan visual yang menangkap setiap langkah, menggambarkan kerja keras dan dedikasi yang tertuang dalam setiap nada. Proyektor yang terpasang dengan cermat menampilkan gambar bergerak, menambah kedalaman cerita yang tersaji dan menghidupkan kembali momen-momen penting dalam proses produksi. Kami merasa seolah-olah dibawa kembali ke era keemasan musik, menyaksikan setiap detil yang membentuk karya-karya berharga. Di tengah ruangan, alat-alat yang digunakan dalam proses produksi rekaman tersusun dengan rapi, bercerita tanpa suara tentang segala yang telah terjadi. Setiap alat memiliki perannya sendiri, seakan menunggu untuk diceritakan lebih lanjut. Dalam keheningan, kami mengagumi keindahan teknis yang mendukung lahirnya melodi-melodi yang kini menghiasi ruang-ruang kehidupan.
Saat kami melangkah ke dalam Ruangan Aneka Nada, suasana seolah langsung berubah, menyambut kami dengan kehadiran beragam piringan hitam yang terhampar di rak-rak putih menjulang tinggi. Setiap sisi ruangan dipenuhi dengan koleksi replika yang memancarkan kekayaan musik Indonesia. Di antara piringan-piringan ini, kami menemukan jejak langkah band pop yang dikenal dengan nama Aneka Nada, di mana salah satu personelnya, Koes, adalah nama samaran dari Guntur Soekarnoputra, putra Presiden Soekarno. Rak-rak ini tidak hanya menampilkan karya-karya pop, tetapi juga merangkum beragam genre yang meliputi rock, keroncong, dan campursari, serta lagu-lagu daerah yang berasal dari berbagai penjuru Nusantara. Dari melodi lembut Sunda, alunan merdu Sumatra, dentingan ceria Kalimantan, hingga nuansa magis Bali dan Maluku, setiap piringan hitam membawa kami menjelajahi keindahan budaya Indonesia yang beraneka ragam. Sebagai koleksi yang dimiliki negara, ruangan ini juga menampilkan lagu-lagu nasional yang menjadi bagian dari identitas bangsa, seperti "Satu Nusa Satu Bangsa," "Sorak-Sorak Bergembira," "17 Agustus," "Indonesia Pusaka," dan "Rayuan Pulau Kelapa," hingga lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Setelah melewati serangkaian pengalaman yang memikat, kami melangkah ke dalam ruang pameran musik pop Indonesia yang bertajuk "Dari Ngak Ngik Ngok Ke Dheg Dheg Plas." Begitu kami memasuki ruang ini, suasana yang penuh energi menyambut kami, membawa kami menyelami perjalanan panjang musik Indonesia pasca 11 tahun merdeka. Setiap sudut ruang pameran ini dipenuhi dengan narasi yang menggugah, menceritakan evolusi musik yang tak terpisahkan dari sejarah bangsa.
Pameran ini menggambarkan awal mula pelarangan musik rock dan segala yang beraroma kebarat-baratan oleh Bung Karno, sebuah langkah yang menciptakan tantangan bagi para musisi. Mereka terpaksa mengubah nama, menyulap identitas demi selaras dengan semangat nasionalisme yang tengah berkobar. Dalam ketegangan tersebut, sebuah kreativitas muncul, mendorong musisi untuk mencari jalan baru dalam melahirkan karya yang tetap relevan dengan jiwa bangsa. Seiring berjalannya waktu, masa Orde Baru membawa angin segar, di mana para musisi kembali menemukan inspirasi dari musik barat. Gaya dan aliran baru mulai mengalir ke dalam arus musik Indonesia, menciptakan harmoni yang menawan antara tradisi dan modernitas. Pameran ini mengajak kami untuk merasakan denyut nadi perubahan yang terjadi, mengungkapkan bagaimana musik menjadi cermin dari dinamika sosial dan politik yang melingkupi Indonesia.
Setelah rangkaian tur yang memukau berakhir, kami diberikan kesempatan untuk menjelajahi Museum Lokananta dengan lebih leluasa. Satu jam terasa seperti sekejap ketika kami berkeliling, mengambil momen-momen berharga di setiap ruangan yang menarik perhatian kami. Dengan kamera di tangan, kami berusaha menangkap keindahan dan keunikan yang ada di setiap sudut, menciptakan kenangan yang akan terukir dalam ingatan.
Matahari semakin tinggi dan cahaya semakin terik, kami memutuskan untuk mencari keteduhan. Kami melangkah ke area bloc Lokananta, tempat yang nyaman untuk mendinginkan diri sambil menikmati santapan siang. Kami duduk sambil menikmati hidangan yang disajikan, merasakan kelezatan yang memanjakan lidah. Saat matahari sudah tepat di atas kepala kami, memancarkan panas yang menyengat, namun semangat untuk melanjutkan penjelajahan seni di Tumurun Museum tidak pudar. Begitu kami melangkah masuk, kami disambut oleh aura yang penuh makna. Nama museum ini, yang berasal dari ungkapan "turun temurun," mencerminkan semangat mewariskan kekayaan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, mengajak kami untuk menyelami kisah yang terukir dalam setiap karya yang dipajang.
Di dalam museum, jumlah pengunjung dibatasi, menciptakan suasana yang intim dan mendalam. Setiap galeri tidak sekadar menampilkan karya seni; mereka menceritakan kisah yang terjalin antara waktu dan tradisi. Setiap langkah kami membawa kami pada perjalanan yang menggugah rasa, mengundang kami untuk merenung dan meresapi makna di balik setiap lukisan dan instalasi.
Di tengah gemerlapnya ruang pameran yang megah, berdiri instalasi seni yang memikat jiwa, seolah-olah menghidupkan keajaiban dari dunia lain. Bola-bola berwarna cerulean dan jingga menyala, dihiasi dengan mata yang tampak hidup, mengamati setiap langkah pengunjung dengan rasa ingin tahu yang melimpah. Cahaya yang memantul dari permukaan halusnya menari-nari, menciptakan pertunjukan cahaya yang memukau di langit-langit yang menjulang tinggi. Di sekelilingnya, kanvas-kanvas berwarna-warni memamerkan cerita dari berbagai sudut pandang. Setiap lukisan adalah sebuah perjalanan tersendiri, membawa kita ke dalam dunia yang penuh dengan misteri dan keindahan yang tak terduga. Ruang ini, dengan atapnya yang tinggi dan pencahayaan yang sempurna, menjadi panggung bagi ekspresi manusia yang tak terbatas.
Di hadapan kami, sebuah mobil klasik berdiri anggun, memancarkan cerita dari masa lalu yang memikat. Bodi mobil itu, dengan garis-garisnya yang lembut, mengundang imajinasi untuk melompat ke era di mana perjalanan adalah sebuah petualangan yang dipenuhi gaya. Di sampingnya, instalasi seni lainnya menggantung dan berdiri, seolah menari dalam harmoni yang menenangkan. Patung-patung anyaman rotan menambah kedalaman ruang ini, seolah bercerita tentang budaya lokal yang kaya, mengajak setiap pengunjung untuk menyelami tradisi yang terjalin dengan tangan-tangan terampil.Â
Di dinding, lukisan-lukisan yang cerah menggambarkan mitologi dan kehidupan, dengan karakter-karakter fantastis yang seakan hidup dalam narasi yang menggugah. Setiap sapuan kuas berbisik lembut, mengundang kami untuk mendekat dan membiarkan imajinasi menari di antara warna dan bentuk, menciptakan momen-momen tak terlupakan dalam perjalanan kami di Tumurun Museum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H