Mohon tunggu...
Ellen Tasbita
Ellen Tasbita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Mahasiswa Pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Odyssey Budaya: Eksplorasi Musik dan Seni di Solo

9 Oktober 2024   14:42 Diperbarui: 9 Oktober 2024   14:48 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Dinding-dinding ruangan ini dipenuhi dengan visual yang menangkap setiap langkah, menggambarkan kerja keras dan dedikasi yang tertuang dalam setiap nada. Proyektor yang terpasang dengan cermat menampilkan gambar bergerak, menambah kedalaman cerita yang tersaji dan menghidupkan kembali momen-momen penting dalam proses produksi. Kami merasa seolah-olah dibawa kembali ke era keemasan musik, menyaksikan setiap detil yang membentuk karya-karya berharga. Di tengah ruangan, alat-alat yang digunakan dalam proses produksi rekaman tersusun dengan rapi, bercerita tanpa suara tentang segala yang telah terjadi. Setiap alat memiliki perannya sendiri, seakan menunggu untuk diceritakan lebih lanjut. Dalam keheningan, kami mengagumi keindahan teknis yang mendukung lahirnya melodi-melodi yang kini menghiasi ruang-ruang kehidupan.

Saat kami melangkah ke dalam Ruangan Aneka Nada, suasana seolah langsung berubah, menyambut kami dengan kehadiran beragam piringan hitam yang terhampar di rak-rak putih menjulang tinggi. Setiap sisi ruangan dipenuhi dengan koleksi replika yang memancarkan kekayaan musik Indonesia. Di antara piringan-piringan ini, kami menemukan jejak langkah band pop yang dikenal dengan nama Aneka Nada, di mana salah satu personelnya, Koes, adalah nama samaran dari Guntur Soekarnoputra, putra Presiden Soekarno. Rak-rak ini tidak hanya menampilkan karya-karya pop, tetapi juga merangkum beragam genre yang meliputi rock, keroncong, dan campursari, serta lagu-lagu daerah yang berasal dari berbagai penjuru Nusantara. Dari melodi lembut Sunda, alunan merdu Sumatra, dentingan ceria Kalimantan, hingga nuansa magis Bali dan Maluku, setiap piringan hitam membawa kami menjelajahi keindahan budaya Indonesia yang beraneka ragam. Sebagai koleksi yang dimiliki negara, ruangan ini juga menampilkan lagu-lagu nasional yang menjadi bagian dari identitas bangsa, seperti "Satu Nusa Satu Bangsa," "Sorak-Sorak Bergembira," "17 Agustus," "Indonesia Pusaka," dan "Rayuan Pulau Kelapa," hingga lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Setelah melewati serangkaian pengalaman yang memikat, kami melangkah ke dalam ruang pameran musik pop Indonesia yang bertajuk "Dari Ngak Ngik Ngok Ke Dheg Dheg Plas." Begitu kami memasuki ruang ini, suasana yang penuh energi menyambut kami, membawa kami menyelami perjalanan panjang musik Indonesia pasca 11 tahun merdeka. Setiap sudut ruang pameran ini dipenuhi dengan narasi yang menggugah, menceritakan evolusi musik yang tak terpisahkan dari sejarah bangsa.

Pameran ini menggambarkan awal mula pelarangan musik rock dan segala yang beraroma kebarat-baratan oleh Bung Karno, sebuah langkah yang menciptakan tantangan bagi para musisi. Mereka terpaksa mengubah nama, menyulap identitas demi selaras dengan semangat nasionalisme yang tengah berkobar. Dalam ketegangan tersebut, sebuah kreativitas muncul, mendorong musisi untuk mencari jalan baru dalam melahirkan karya yang tetap relevan dengan jiwa bangsa. Seiring berjalannya waktu, masa Orde Baru membawa angin segar, di mana para musisi kembali menemukan inspirasi dari musik barat. Gaya dan aliran baru mulai mengalir ke dalam arus musik Indonesia, menciptakan harmoni yang menawan antara tradisi dan modernitas. Pameran ini mengajak kami untuk merasakan denyut nadi perubahan yang terjadi, mengungkapkan bagaimana musik menjadi cermin dari dinamika sosial dan politik yang melingkupi Indonesia.

Setelah rangkaian tur yang memukau berakhir, kami diberikan kesempatan untuk menjelajahi Museum Lokananta dengan lebih leluasa. Satu jam terasa seperti sekejap ketika kami berkeliling, mengambil momen-momen berharga di setiap ruangan yang menarik perhatian kami. Dengan kamera di tangan, kami berusaha menangkap keindahan dan keunikan yang ada di setiap sudut, menciptakan kenangan yang akan terukir dalam ingatan.

Matahari semakin tinggi dan cahaya semakin terik, kami memutuskan untuk mencari keteduhan. Kami melangkah ke area bloc Lokananta, tempat yang nyaman untuk mendinginkan diri sambil menikmati santapan siang. Kami duduk sambil menikmati hidangan yang disajikan, merasakan kelezatan yang memanjakan lidah. Saat matahari sudah tepat di atas kepala kami, memancarkan panas yang menyengat, namun semangat untuk melanjutkan penjelajahan seni di Tumurun Museum tidak pudar. Begitu kami melangkah masuk, kami disambut oleh aura yang penuh makna. Nama museum ini, yang berasal dari ungkapan "turun temurun," mencerminkan semangat mewariskan kekayaan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, mengajak kami untuk menyelami kisah yang terukir dalam setiap karya yang dipajang.

Di dalam museum, jumlah pengunjung dibatasi, menciptakan suasana yang intim dan mendalam. Setiap galeri tidak sekadar menampilkan karya seni; mereka menceritakan kisah yang terjalin antara waktu dan tradisi. Setiap langkah kami membawa kami pada perjalanan yang menggugah rasa, mengundang kami untuk merenung dan meresapi makna di balik setiap lukisan dan instalasi.

Di tengah gemerlapnya ruang pameran yang megah, berdiri instalasi seni yang memikat jiwa, seolah-olah menghidupkan keajaiban dari dunia lain. Bola-bola berwarna cerulean dan jingga menyala, dihiasi dengan mata yang tampak hidup, mengamati setiap langkah pengunjung dengan rasa ingin tahu yang melimpah. Cahaya yang memantul dari permukaan halusnya menari-nari, menciptakan pertunjukan cahaya yang memukau di langit-langit yang menjulang tinggi. Di sekelilingnya, kanvas-kanvas berwarna-warni memamerkan cerita dari berbagai sudut pandang. Setiap lukisan adalah sebuah perjalanan tersendiri, membawa kita ke dalam dunia yang penuh dengan misteri dan keindahan yang tak terduga. Ruang ini, dengan atapnya yang tinggi dan pencahayaan yang sempurna, menjadi panggung bagi ekspresi manusia yang tak terbatas.

Di hadapan kami, sebuah mobil klasik berdiri anggun, memancarkan cerita dari masa lalu yang memikat. Bodi mobil itu, dengan garis-garisnya yang lembut, mengundang imajinasi untuk melompat ke era di mana perjalanan adalah sebuah petualangan yang dipenuhi gaya. Di sampingnya, instalasi seni lainnya menggantung dan berdiri, seolah menari dalam harmoni yang menenangkan. Patung-patung anyaman rotan menambah kedalaman ruang ini, seolah bercerita tentang budaya lokal yang kaya, mengajak setiap pengunjung untuk menyelami tradisi yang terjalin dengan tangan-tangan terampil. 

Di dinding, lukisan-lukisan yang cerah menggambarkan mitologi dan kehidupan, dengan karakter-karakter fantastis yang seakan hidup dalam narasi yang menggugah. Setiap sapuan kuas berbisik lembut, mengundang kami untuk mendekat dan membiarkan imajinasi menari di antara warna dan bentuk, menciptakan momen-momen tak terlupakan dalam perjalanan kami di Tumurun Museum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun