Mohon tunggu...
Ellen Tasbita
Ellen Tasbita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Mahasiswa Pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Odyssey Budaya: Eksplorasi Musik dan Seni di Solo

9 Oktober 2024   14:42 Diperbarui: 9 Oktober 2024   14:48 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Di bawah langit Solo yang berkilau, kami melangkah ke dalam harmoni waktu, menguak kisah-kisah yang terpendam dalam irama dan warna. Tiap nada dari musik lokananta mengalun lembut, menyeret kami ke dalam pelukan sejarah yang tak terlupakan, sementara Tumurun Museum menanti dengan kekayaan seni yang memikat, mengajak kami menyelami keindahan yang terjalin dalam setiap karya. Inilah perjalanan yang bukan hanya sekadar eksplorasi, tetapi sebuah odyssey yang merayakan warisan budaya dan kreativitas jiwa bangsa.

Kami memulai petualangan ini dengan melangkahkan kaki ke dalam ruang linimasa yang memukau, sebuah tempat yang bercerita tentang perjalanan epik Lokananta. Dinding-dindingnya yang bersih dan cerah dipenuhi dengan catatan sejarah, setiap tulisan menantang kita untuk merenungkan bagaimana sebuah perusahaan rekaman sederhana dapat bertransformasi menjadi museum yang megah. Di sinilah, Kak Iqbal, pemandu kami yang bersemangat, memulai narasi yang membuat kami terpesona.

Kisah dimulai pada dekade 1950-an, ketika ajang pencarian bakat bernama Bintang Radio mengguncang panggung seni Indonesia, bahkan Bung Karno hadir secara langsung. Nama-nama besar seperti Ibu Waldjinah, Bing Slamet, dan Titiek Puspa muncul dari panggung ini, menciptakan gelombang yang akan membesarkan nama Lokananta di kancah musik tanah air. Seolah terbuai oleh melodi yang memikat yang bergema di ruangan tersebut, kami membayangkan bagaimana suara-suara ini menggema dalam kehidupan masyarakat kala itu. 

Lokananta tak hanya berfungsi sebagai tempat produksi, tetapi juga menjadi saksi bisu dari sejarah bangsa. Mereka ditugaskan untuk memproduksi piringan hitam sebagai kenang-kenangan dari ASEAN Game ke-4, di mana Indonesia untuk pertama kalinya menjabat sebagai tuan rumah. Piringan hitam ini bukan sekadar benda; ia adalah jembatan antara pulau-pulau, menyatukan lagu-lagu daerah yang kaya dari barat hingga timur dan beberapa di antaranya dinyanyikan oleh Titiek Puspa.

Seiring berjalannya waktu, Lokananta beradaptasi dengan perubahan zaman. Pada tahun 1973, mereka merambah ke produksi kaset, melanjutkan warisan musiknya meskipun badai pembajakan yang melanda sejak tahun 1982 menjadi tantangan yang tak terelakkan. Di tahun 1999, sayangnya, Lokananta dinyatakan pailit, terpuruk dalam gelombang yang tak terduga. Namun, harapan tak pernah padam. Pada tahun 2004, Lokananta bangkit kembali setelah diakuisisi oleh Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Dengan semangat baru, mereka berfokus pada konservasi karya-karya berharga dari masa lalu, berhasil menyelamatkan 5.600 rekaman asli dan puluhan ribu piringan hitam.

Kami melangkah ke dalam ruangan yang terintegrasi dengan ruang linimasa, di mana keindahan dan sejarah berpadu dalam harmoni yang menawan. Ruangan ini bercahaya dalam nuansa putih, menyuguhkan beragam barang memorial dari Lokananta yang terhampar dengan rapi. Di antara koleksi yang memikat, kami menemukan biola yang pernah mengalunkan melodi indah, mesin tik yang mengisahkan perjalanan kata, serta kebaya anggun yang dikenakan oleh Ibu Waldjinah saat tampil di panggung pada tahun 1980-an.

Setiap barang bercerita, dan foto-foto yang terpajang menambah kedalaman kisah yang ada. Dalam perjalanan mata kami, perhatian tertuju pada polivinil klorida, bahan utama dalam pembuatan piringan hitam, yang menandai era keemasan musik. Mesin yang berdiri di sudut ruangan membawa kami pada masa lalu; ia adalah produsen kaset yang beroperasi pada tahun 1980-an, dan mampu menghasilkan tiga kaset dalam waktu lima menit.

Melangkah ke dalam ruangan gamelan, kami disambut oleh kehadiran berbagai alat musik yang tersusun rapi, masing-masing dengan keunikan dan karisma tersendiri. Nama "Lokananta" sendiri menyiratkan kedalaman makna; terinspirasi dari gamelan dan kisah pewayangan yang kaya. Dalam cerita pewayangan Jawa, terdapat seperangkat gamelan di atas kahyangan yang konon bisa berbunyi sendiri tanpa penabuh. Suara merdu yang dihasilkan menjadi alat hiburan bagi dewa-dewi, menciptakan suasana penuh kedamaian dan kebahagiaan. Barang siapa yang dapat mendengar melodi tersebut dari bumi akan merasakan ketenangan yang mendalam. Gamelan tersebut dinamakan Lokananta, sebuah nama yang menyimpan kekuatan magis dan keindahan. Gamelan yang terpajang di ruangan ini bukan sekadar alat musik; mereka adalah saksi dari proses produksi rekaman yang berlangsung di Lokananta pada tahun 1980-an. Gamelan bernama Sri Kuncoro Mulyo ini telah memainkan peran penting dalam merekam lagu-lagu Gending Jawa serta lagu-lagu pengiring tarian. Setiap dentingan dan alunan mengisahkan perjalanan waktu, menghubungkan kami dengan tradisi yang telah terjalin selama berabad-abad.

Di dalam Ruangan Diskografi, kami dihadapkan pada sebuah ruang yang menyimpan kenangan berharga dari masa lalu. Di sepanjang sisi kanan dan kiri, rak-rak tinggi menjulang, dipenuhi dengan koleksi hasil rekaman yang menunggu untuk diceritakan. Dengan penuh kekaguman, kami menyusuri deretan album yang berasal dari tahun 1950-an hingga 1990-an, di mana setiap rekaman memiliki kisahnya sendiri. Tidak hanya lagu-lagu hiburan yang menghiasi rak-rak ini, tetapi juga rekaman bersejarah seperti pertunjukan Srimulat yang mengundang tawa dan keceriaan. Di antara koleksi tersebut, terdapat pula rekaman asli pembacaan naskah proklamasi oleh Bung Karno, momen yang menggerakkan jiwa dan menjadi saksi bisu perjalanan bangsa. Keberadaan rekaman-rekaman ini menjadikan ruangan ini begitu istimewa, sehingga hanya dapat diakses bersama tour guide. Dengan 95% rekaman telah didigitalisasi, kami merasa beruntung karena dapat mendengarkan kembali melodi-melodi yang mengisi sejarah. Lewat website Lokananta, setiap nada dan lirik dapat diakses, membawa kami kembali ke masa yang penuh warna. Ruangan Diskografi ini bukan sekadar tempat penyimpanan; ia adalah jendela yang membuka pandangan kami terhadap kekayaan budaya dan sejarah yang terukir dalam setiap rekaman, mengajak kami untuk merasakan denyut nadi perjalanan seni yang tak lekang oleh waktu.

Begitu kami melangkah ke dalam Ruangan Bengawan Solo, alunan lagu yang ikonik menyambut kami dengan kehangatan yang mengalir lembut. Melodi yang mengingatkan pada keindahan sungai yang mengalir membawa kami ke dalam suasana yang penuh nostalgia. Ruangan ini bercahaya dalam nuansa putih, di mana gambar-gambar menceritakan kisah proses produksi rekaman hingga bertransformasi menjadi piringan hitam, mengungkapkan perjalanan panjang dari ide hingga realisasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun