Mohon tunggu...
ella ning
ella ning Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA NEGERI 3 BREBES

Seorang gadis yang suka membaca, menulis, mendengarkan musik dan juga berimajinasi. Si pemimpi yang ingin jadi menteri Luar Negeri dan selalu punya keinginan untuk jalan-jalan ke Edinburgh.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Antara Hujan dan Sunyi

22 Januari 2025   07:10 Diperbarui: 22 Januari 2025   07:10 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inspirasi Foto: Pinterest dan See You in My 17th Life

Hujan rintik-rintik turun sore itu, melukis jendela dengan jejak-jejak air yang mengalir perlahan. Udara dingin merayap ke dalam kedai kopi kecil di sudut jalan Hongdae, tempat Jiyeon duduk dengan secangkir teh hangat yang sudah mulai mendingin. Di sebelahnya, Seojun bersandar di bahunya, terlelap dalam keheningan yang hampir sempurna.

Jiyeon menundukkan pandangannya, memperhatikan wajah Seojun yang tertidur. Wajah itu tampak damai, meskipun bayangan gelap di bawah matanya bercerita lain. Seojun selalu tampak seperti ini---lelah, terbebani, namun tetap menyembunyikannya di balik senyuman tipis yang sering ia tunjukkan pada dunia.

Hujan semakin deras, dan suara gemericiknya menjadi latar bagi pikiran Jiyeon yang mengembara. Ia mengenang pertemuan pertama mereka, ketika Seojun hanyalah seorang pria asing yang duduk di sudut ruang kelas seni. Dia selalu sendirian, menunduk, menggambar sketsa tanpa peduli pada hiruk-pikuk di sekitarnya. Jiyeon ingat betapa sulitnya mendekati pria itu, betapa dinginnya ia di awal, seperti tembok tinggi yang tak bisa ditembus.

Namun, tembok itu akhirnya runtuh. Sedikit demi sedikit, Seojun mulai membuka diri, dan Jiyeon menemukan seseorang yang berbeda di balik sikap dinginnya---seseorang yang penuh luka, namun terlalu bangga untuk mengakuinya.

"Jiyeon-ah," suara Seojun yang serak memecah keheningan. Matanya masih terpejam, tapi suaranya terdengar jelas. "Apa kau pernah merasa... dunia ini terlalu berat untuk dijalani?"

Jiyeon terdiam. Pertanyaan itu sederhana, namun mengandung beban yang sulit dijelaskan. Ia menatap ke luar jendela, ke jalanan basah yang sepi.

"Ya," jawabnya akhirnya. "Terkadang aku merasa seperti itu. Tapi aku selalu mencoba mencari alasan untuk tetap bertahan. Meski kecil, meski sederhana."

Seojun membuka matanya perlahan, menatap Jiyeon dengan tatapan yang sulit diartikan. "Apa alasanmu, Jiyeon-ah?"

Jiyeon tersenyum tipis. "Orang-orang yang aku sayangi. Dan... mungkin, mimpi-mimpiku yang belum tercapai."

Seojun tidak menjawab. Dia hanya menatap Jiyeon lebih lama, seolah mencoba memahami gadis itu lebih dalam. Ada sesuatu dalam cara Jiyeon berbicara yang selalu membuatnya merasa hangat, meski di tengah dinginnya hujan seperti ini.

"Aku tidak tahu apa aku punya alasan seperti itu," gumam Seojun, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Terkadang aku merasa seperti... aku hanya hidup untuk memenuhi harapan orang lain. Tidak ada yang benar-benar milikku."

Kata-kata itu menusuk hati Jiyeon. Ia tahu Seojun tidak sedang mencari jawaban, tetapi tetap saja, ia ingin mengatakan sesuatu---apa saja---untuk meringankan beban di hati pria itu.

"Kau punya aku," kata Jiyeon pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan.

Seojun tertegun. Dia menatap Jiyeon, matanya berkedip-kedip seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu?"

"Aku ada di sini, Seojun-ah," jawab Jiyeon. "Mungkin aku tidak bisa mengubah semua yang kau rasakan, tapi aku ingin menjadi tempatmu beristirahat. Tempatmu kembali."

Hening menyelimuti mereka setelah itu. Seojun menunduk, menatap meja di depannya. Jiyeon tidak tahu apa yang pria itu pikirkan, tetapi dia bisa merasakan ada sesuatu yang berubah---entah itu di hati Seojun, atau di antara mereka berdua.

Malam semakin larut ketika mereka akhirnya keluar dari kedai kopi. Hujan sudah reda, menyisakan aroma tanah basah dan udara yang segar. Mereka berjalan berdua di bawah lampu jalan yang temaram, tanpa banyak bicara.

Jiyeon melirik Seojun yang berjalan di sampingnya. Pria itu tampak lebih tenang sekarang, meskipun bayangan kesedihan masih tergurat di wajahnya. Jiyeon ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu lebih banyak, tetapi dia tahu bahwa Seojun butuh waktu.

"Jiyeon-ah," suara Seojun tiba-tiba memecah keheningan. Dia berhenti berjalan, memandang Jiyeon dengan tatapan yang dalam. "Apa kau pernah takut kehilangan seseorang?"

Pertanyaan itu membuat Jiyeon terdiam. Dia memandang Seojun, mencoba membaca apa yang ada di balik mata pria itu. "Ya," jawabnya pelan. "Aku takut kehilanganmu."

Seojun terkejut mendengar jawaban itu. Dia membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Akhirnya, dia hanya menghela napas panjang dan menunduk.

"Aku tidak tahu apa aku pantas untukmu, Jiyeon-ah," katanya pelan. "Aku terlalu rusak, terlalu banyak beban. Aku takut akan melukaimu."

Jiyeon mendekat, mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Seojun. "Kau tidak perlu sempurna, Seojun-ah. Aku tidak mencari kesempurnaan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau tidak sendirian."

Seojun menatap tangan Jiyeon yang menggenggam tangannya, lalu menatap gadis itu. Ada air mata yang menggenang di matanya, tetapi dia tidak membiarkannya jatuh. "Terima kasih, Jiyeon-ah," katanya akhirnya. "Aku... tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu."

Jiyeon tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. Dia tahu bahwa jalan mereka tidak akan mudah, bahwa luka-luka di hati Seojun tidak akan sembuh dalam semalam. Tetapi dia juga tahu bahwa dia ingin tetap di sisi pria itu, apa pun yang terjadi.

Malam itu, mereka berpisah di depan pintu apartemen Jiyeon. Sebelum pergi, Seojun menatap Jiyeon sekali lagi, dengan tatapan yang penuh dengan rasa syukur dan sesuatu yang sulit diartikan.

"Selamat malam, Jiyeon-ah," katanya pelan. "Dan... terima kasih."

Jiyeon hanya tersenyum, menahan air mata yang hampir jatuh. "Selamat malam, Seojun-ah. Hati-hati di jalan."

Ketika Seojun pergi, Jiyeon berdiri di sana untuk beberapa saat, memandang punggung pria itu yang perlahan menghilang di tikungan jalan. Hatinya terasa berat, tetapi juga penuh dengan harapan.

Di tengah malam yang sunyi, Jiyeon berdoa dalam hatinya, berharap bahwa suatu hari, Seojun akan menemukan kedamaian yang dia cari. Dan sampai hari itu tiba, dia akan tetap di sisi pria itu, menjadi tempatnya bersandar di tengah hujan dan sunyi.

***

Ella Ning, gadis yang suka menghabiskan seluruh waktunya untuk berpikir dan menulis di perpustakaan sekolah, SMA NEGERI 3 BREBES. Sosok yang juga menyukai sastra dan berlogika ketika menulis. Pertama kali menulis ketika berada di bangku SMP kelas 7. Berkeinginan untuk bertemu Jeon Wonwoo, member dari boygroup SEVENTEEN.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun