"Aku tidak tahu apa aku punya alasan seperti itu," gumam Seojun, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Terkadang aku merasa seperti... aku hanya hidup untuk memenuhi harapan orang lain. Tidak ada yang benar-benar milikku."
Kata-kata itu menusuk hati Jiyeon. Ia tahu Seojun tidak sedang mencari jawaban, tetapi tetap saja, ia ingin mengatakan sesuatu---apa saja---untuk meringankan beban di hati pria itu.
"Kau punya aku," kata Jiyeon pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan.
Seojun tertegun. Dia menatap Jiyeon, matanya berkedip-kedip seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu?"
"Aku ada di sini, Seojun-ah," jawab Jiyeon. "Mungkin aku tidak bisa mengubah semua yang kau rasakan, tapi aku ingin menjadi tempatmu beristirahat. Tempatmu kembali."
Hening menyelimuti mereka setelah itu. Seojun menunduk, menatap meja di depannya. Jiyeon tidak tahu apa yang pria itu pikirkan, tetapi dia bisa merasakan ada sesuatu yang berubah---entah itu di hati Seojun, atau di antara mereka berdua.
Malam semakin larut ketika mereka akhirnya keluar dari kedai kopi. Hujan sudah reda, menyisakan aroma tanah basah dan udara yang segar. Mereka berjalan berdua di bawah lampu jalan yang temaram, tanpa banyak bicara.
Jiyeon melirik Seojun yang berjalan di sampingnya. Pria itu tampak lebih tenang sekarang, meskipun bayangan kesedihan masih tergurat di wajahnya. Jiyeon ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu lebih banyak, tetapi dia tahu bahwa Seojun butuh waktu.
"Jiyeon-ah," suara Seojun tiba-tiba memecah keheningan. Dia berhenti berjalan, memandang Jiyeon dengan tatapan yang dalam. "Apa kau pernah takut kehilangan seseorang?"
Pertanyaan itu membuat Jiyeon terdiam. Dia memandang Seojun, mencoba membaca apa yang ada di balik mata pria itu. "Ya," jawabnya pelan. "Aku takut kehilanganmu."
Seojun terkejut mendengar jawaban itu. Dia membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Akhirnya, dia hanya menghela napas panjang dan menunduk.