Langit mendung menyelimuti tenda-tenda pengungsian. Di dalam klinik darurat yang hanya berupa bilik sederhana dari terpal dan kayu, Dr. Elziva Brielle Abigail, seorang dokter bedah ortopedi, bekerja tanpa jeda. Tangannya bergerak cepat namun penuh kelembutan, merawat seorang anak kecil yang menangis keras di pangkuan ibunya. Suara rintihan, isak tangis, dan perintah medis terdengar bersahut-sahutan, menciptakan harmoni memilukan yang sudah biasa ia dengar sejak datang ke tempat ini.
"Dokter Elziva," panggil salah satu perawat sukarelawan. "Pasien berikutnya sudah menunggu."
Elziva mengangguk, melepas sarung tangan yang penuh darah, dan melangkah ke bilik berikutnya. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara berat menghentikan gerakannya.
"Dokter."
Ia menoleh dan mendapati seorang pria tinggi berbadan tegap berdiri di ambang pintu klinik. Bajunya adalah seragam loreng khas militer, senjata tergantung di punggungnya. Wajahnya keras dan tegas, dengan rahang yang mengeras seolah memikul beban dunia. Namun, matanya—mata gelap itu—memancarkan sesuatu yang tak bisa Elziva pahami.
"Kapten Kinan Maven Hendra," ia memperkenalkan diri dengan suara datar namun berwibawa. Ia mengulurkan tangan besar dan kasar, jelas hasil dari bertahun-tahun latihan dan pertempuran. "Saya diberitahu bahwa Anda membutuhkan bantuan logistik."
Elziva menatap tangannya sejenak sebelum menjabatnya. "Dr. Elziva Brielle Abigail," jawabnya singkat. "Ya, kami sangat membutuhkan pasokan medis tambahan. Jika Anda bisa membantu mengamankan itu, kami semua akan sangat berterima kasih."
Kinan mengangguk. "Saya akan coba mengatur logistiknya. Tapi sementara itu, saya akan tinggal di sini dan membantu apa yang saya bisa."
Tanpa banyak bicara lagi, ia mulai bekerja. Hari itu, Kinan memindahkan persediaan obat-obatan yang hampir habis, membantu membawa pasien ke ruang perawatan, bahkan mengangkat tubuh seorang pria tua yang terlalu lemah untuk berjalan sendiri. Meskipun wajahnya tetap tanpa ekspresi, kehadirannya membawa rasa aman bagi para pengungsi.
***