Luna menatap teman kelasnya yang berisik, dia berharap suara riuh itu mereda. Namun, harapannya seperti lembaran kertas yang tersapu angin—terus berlalu dan tak tersisa. Ia sudah mencoba berkali-kali untuk meminta mereka tenang, tapi suara-suara gelak tawa dan obrolan itu seolah membentuk tembok besar yang memisahkan dirinya dari mereka.
"Teman-teman, bisa tenang dulu, nggak?" Luna mengangkat suaranya, mencoba terdengar di antara kebisingan.
Tak ada yang menjawab, bahkan tak ada yang melirik ke arahnya. Beberapa orang tertawa lebih keras, dan lainnya melanjutkan obrolan seolah tidak mendengarnya. Luna hanya bisa menghela napas dalam diam, menyadari bahwa sebagai ketua kelas, ia berdiri sendirian di hadapan teman-temannya yang seperti bayangan tak peduli.
Bel tanda pelajaran berbunyi, dan dengan langkah berat, Luna menuju tempat duduknya di barisan depan. Ia berharap Pak Anton, guru matematika yang segera masuk, bisa membawa ketertiban. Namun, harapannya kembali redup saat Pak Anton langsung mengarahkan tatapan tegas padanya begitu memasuki kelas.
"Luna," panggil Pak Anton. "Tolong sampaikan ke teman-temanmu untuk lebih tertib. Setiap hari saya menerima keluhan dari guru-guru tentang kelas ini. Kamu kan ketua kelas, masa nggak bisa mengatur teman-temanmu?"
Luna menunduk, merasa dingin di perutnya. Ia menahan napas, mencoba menelan perasaan bersalah yang mulai menekan.
"Maaf, Pak," jawab Luna dengan suara yang hampir berbisik.
Pak Anton mengangguk, lalu memulai pelajaran tanpa membahasnya lebih jauh. Namun, ucapan Pak Anton tadi terus membayangi Luna. Ketika mata pelajaran berakhir, ia mencoba lagi, kali ini dengan lebih tegas.
"Teman-teman, tadi Pak Anton bilang kalau kelas kita sudah bikin masalah di banyak mata pelajaran. Bisa nggak kita coba lebih tenang, setidaknya saat guru sudah masuk?" ucap Luna sambil menatap mereka satu per satu.
Salah seorang teman, Dion, hanya tertawa kecil. "Santai aja, Lun. Guru-guru itu memang suka lebay."
Luna merasa sedikit terluka oleh kata-kata Dion, tapi ia tahu Dion hanya bercanda. Meski begitu, ia tak bisa menutupi rasa pedih yang mengakar karena setiap usahanya dianggap remeh. Teman-temannya malah menertawakan atau mengabaikan peringatan yang ia coba sampaikan, seolah apa yang ia katakan sama sekali tak ada artinya.
Hari demi hari berlalu, dan sikap teman-temannya tidak banyak berubah. Luna terus menanggung beban itu sendirian, berusaha memperbaiki keadaan, sementara teman-temannya semakin terbiasa mengabaikan keberadaannya. Mereka sering kali meninggalkannya saat ia berbicara, atau bahkan melemparkan komentar-komentar yang membuat hatinya semakin tergores.
"Kamu nggak bosen, ya, Luna? Ngomong terus, tapi nggak ada yang dengerin." Cindy, salah satu teman sekelasnya, bercanda sambil tertawa, diikuti oleh beberapa orang lain. Luna mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa hambar.
Di rumah, Luna tak pernah menceritakan apa yang ia alami di kelas. Orang tuanya, yang selalu mengharapkan putri mereka bertanggung jawab dan mampu memimpin, mungkin tidak akan memahami betapa tertekannya ia. Setiap hari, ia terus memendam semua itu dalam diam, merasa terjebak dalam tugas yang tampaknya mustahil.
Suatu siang, saat pelajaran kosong, teman-temannya kembali gaduh. Beberapa mulai bermain di belakang kelas, sementara yang lain sibuk mengobrol keras. Luna, yang merasa sudah sangat lelah, mencoba mengingatkan mereka sekali lagi.
"Teman-teman, tolong jangan terlalu berisik. Guru lain bisa mendengar dari luar."
Namun, kali ini beberapa orang malah tertawa.
"Luna, kamu tuh terlalu serius. Lagian, kalau kelas ini berisik, ya, tanggung jawab kamu, kan? Kamu ketua kelas!" seru Ari, salah satu siswa yang sering jadi biang keributan di kelas. Semua tertawa, membuat Luna merasakan dorongan emosi yang hampir meledak.
Luna menelan ludah, menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Aku cuma mau kalian tenang... karena kalau nggak, aku yang bakal disalahin terus."
Tak ada yang menggubris. Bahkan, beberapa teman lain hanya tertawa kecil, menganggap ucapannya sebagai lelucon. Sekali lagi, Luna merasa tak dianggap.
Pada suatu hari, ketika semua terasa semakin berat, Luna menerima teguran lagi dari wali kelasnya. Ibu wali kelasnya mengatakan bahwa Luna harus bisa lebih disiplin dalam mengatur teman-temannya.
"Luna, kamu ketua kelas. Kalau kelas kamu bermasalah, kamu yang harus bertanggung jawab," ujar Bu Rina dengan nada serius. "Ibu harap kamu bisa cari cara untuk menenangkan kelas, karena ini bukan pertama kalinya Ibu dengar keluhan."
Luna hanya mengangguk. Tidak ada lagi kata yang tersisa untuk membela diri. Ia merasa seperti menelan kekecewaan yang tak terucap, setiap saat menanggung beban yang seolah hanya miliknya sendiri.
Saat pulang sekolah, Luna melangkah perlahan menuju gerbang, merasa tubuhnya terasa berat. Rani, sahabatnya, mencoba menyemangati dengan menggenggam bahu Luna.
"Lun, aku ngerti kok, ini nggak mudah. Kamu udah coba sebaik mungkin," ujar Rani dengan penuh empati.
Luna tersenyum kecil, tapi senyum itu terasa getir. "Nggak ada yang ngerti, Rani. Guru-guru cuma ngeliat aku sebagai ketua kelas yang harus tanggung jawab, tapi nggak ada yang ngerti gimana teman-teman selalu nggak peduli dengan ucapanku. Mereka nggak ngerti kalau aku lelah banget jadi satu-satunya yang harus ngatur semuanya."
Rani meremas tangan Luna dengan lembut. "Aku ada di sini, kok. Kamu nggak sendirian."
Meski begitu, Luna tahu bahwa pada akhirnya, ia yang harus kembali ke kelas itu, menghadapi sikap acuh tak acuh teman-temannya yang seakan tak pernah berubah. Rani mungkin bisa mendengarkan, tapi hanya Luna yang harus terus berjuang di tengah ketidakpedulian itu.
Waktu terus berjalan, dan Luna semakin memahami bahwa tidak semua hal bisa ia kendalikan, termasuk keinginan untuk diakui. Tapi ia tetap mencoba bertahan, meski luka demi luka terus bertambah, meski hati kecilnya selalu ingin menyerah. Di setiap panggilan guru, di setiap teguran, dan di setiap tawa yang melecehkan, ia berdiri tegar, menyimpan semua perasaannya sendiri.
Pada hari terakhir ujian, saat kelas mulai kosong dan teman-temannya berhamburan pulang, Luna duduk sendirian di bangkunya. Sejenak, ia membiarkan dirinya menangis, melepaskan beban yang ia tahan selama ini. Ia tahu, ini mungkin tidak akan pernah mudah. Tapi di balik kesedihan itu, ia merasakan kekuatan yang perlahan- lahan tumbuh- kekuatan untuk terus berdiri, meski ia harus menghadapi semua sendirian.
***
Ella Ning, gadis yang suka menghabiskan seluruh waktunya untuk berpikir dan menulis di perpustakaan sekolah, SMA NEGERI 3 BREBES. Sosok yang juga menyukai sastra dan berlogika ketika menulis. Pertama kali menulis ketika berada di bangku SMP kelas 7. Berkeinginan untuk bertemu Jeon Wonwoo, member dari boygroup SEVENTEEN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H