Hari demi hari berlalu, dan sikap teman-temannya tidak banyak berubah. Luna terus menanggung beban itu sendirian, berusaha memperbaiki keadaan, sementara teman-temannya semakin terbiasa mengabaikan keberadaannya. Mereka sering kali meninggalkannya saat ia berbicara, atau bahkan melemparkan komentar-komentar yang membuat hatinya semakin tergores.
"Kamu nggak bosen, ya, Luna? Ngomong terus, tapi nggak ada yang dengerin." Cindy, salah satu teman sekelasnya, bercanda sambil tertawa, diikuti oleh beberapa orang lain. Luna mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa hambar.
Di rumah, Luna tak pernah menceritakan apa yang ia alami di kelas. Orang tuanya, yang selalu mengharapkan putri mereka bertanggung jawab dan mampu memimpin, mungkin tidak akan memahami betapa tertekannya ia. Setiap hari, ia terus memendam semua itu dalam diam, merasa terjebak dalam tugas yang tampaknya mustahil.
Suatu siang, saat pelajaran kosong, teman-temannya kembali gaduh. Beberapa mulai bermain di belakang kelas, sementara yang lain sibuk mengobrol keras. Luna, yang merasa sudah sangat lelah, mencoba mengingatkan mereka sekali lagi.
"Teman-teman, tolong jangan terlalu berisik. Guru lain bisa mendengar dari luar."
Namun, kali ini beberapa orang malah tertawa.
"Luna, kamu tuh terlalu serius. Lagian, kalau kelas ini berisik, ya, tanggung jawab kamu, kan? Kamu ketua kelas!" seru Ari, salah satu siswa yang sering jadi biang keributan di kelas. Semua tertawa, membuat Luna merasakan dorongan emosi yang hampir meledak.
Luna menelan ludah, menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Aku cuma mau kalian tenang... karena kalau nggak, aku yang bakal disalahin terus."
Tak ada yang menggubris. Bahkan, beberapa teman lain hanya tertawa kecil, menganggap ucapannya sebagai lelucon. Sekali lagi, Luna merasa tak dianggap.
Pada suatu hari, ketika semua terasa semakin berat, Luna menerima teguran lagi dari wali kelasnya. Ibu wali kelasnya mengatakan bahwa Luna harus bisa lebih disiplin dalam mengatur teman-temannya.
"Luna, kamu ketua kelas. Kalau kelas kamu bermasalah, kamu yang harus bertanggung jawab," ujar Bu Rina dengan nada serius. "Ibu harap kamu bisa cari cara untuk menenangkan kelas, karena ini bukan pertama kalinya Ibu dengar keluhan."