Mohon tunggu...
Ela Istiqomah
Ela Istiqomah Mohon Tunggu... Freelancer - bukan penulis tapi kadang ingin menulis tulisan walau tidak jago menulis..

mahasiswa aktif Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Jakarta 2014

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Daffadil

31 Juli 2017   18:53 Diperbarui: 31 Juli 2017   18:54 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ciputat, 12 Juli 2017

***  

Hujan baru saja berhenti turun, saat lelaki itu beranjak untuk pulang, karena hari sudah menunjukkan pukul 11.30  malam. Laki-laki yang sedari tadi duduk bercerita dan berkeluh kesah tentang kisahnya hari itu. Mengajakku tertawa, terkadang bergelayut manja di pangkuanku, bahkan tak malu untuk bersandar di pundakku. Kisahnya hari itu cukup melelahkan baginya, ia sedang ada di posisi terbawahnya saat itu. Segala hal, ia pikirkan seorang diri. Bahkan, aku sengaja tak ia ajak bertukar-pikiran.

"Ah sungguh menyebalkan" umpatku dalam hati. Melihat ia hanya termenung seorang diri dan dengan wajah yang cukup menyebalkan untuk aku lihat malam itu. Berkali-kali aku rayu dirinya agar ia sedikit menyunggingkan senyum di wajahnya. Tapi berkali-kali pula ia malah memarahiku memintaku untuk tidak mengajaknya bergurau.

"Aahh kan, bete lagi bete lagi kan." Kesalku padanya. Sambil berbalik badan dan memasang wajah kesal disampingnya.

"Bisa ga, ga usah dikit-dikit bilang gua betean, gua ga sebaper elu ya, lu tau kan gua lagi dalam kondisi yang unmood, jadi ga usah dikit-dikit lu bilang gua bete-bete terus deh." Bentaknya di depan wajahku. Wajahnya yang ditekuk dengan dahi mengernyit dan nada emosinya yang sudah aku hafal itu, malah membuatku semakin ingin memeluknya.

Tanpa banyak kata, aku langsung peluk ia dalam diam. Aku dengarkan perlahan suara nafasnya yang naik turun karena masih terbawa emosi. Aku cium wangi aroma tubuhnya yang juga sudah aku hafal aromanya hampir 2 tahun ini. Dalam diam aku coba memeluknya, berharap emosinya mereda.

Tak lama, aku lepas tubuhku dari tubuhnya, dan aku mulai amati ia pelan-pelan. Aku temukan wajah lesu yang sudah mulai lelah dan sedang memikirkan banyak hal itu. Bukan raut wajah seperti ini sebenarnya yang aku inginkan. Perlahan aku goda laki-laki ini berharap ia bisa sedikit tersenyum.

"Udah sih senyum jangan begitu mukanya kek, jelek tau." Ucap aku padanya. Berharap ia mau tersenyum, sambil ku elus pipinya yang mulai berminyak itu.

Masih dengan ekspresi wajah yang sama, ia malah berusaha menyingkirkan tanganku dari pipinya.

"Udah gih masuk sana, ambilin hp sekalian, buru!" Pinta nya seperti nada laki-laki yang bergengsi besar. Sungguh menyebalkan rasanya. Sambil menahan kesal, akhirnya aku masuk untuk memngambilkan handphone miliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun