2. Terlena dengan anggapan "kalau jodoh takkan kemana".
Jodoh memang di tangan Tuhan. Jodoh adalah misteri. Sama seperti misteri hidup dan matinya manusia. Namun ingatlah bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila kaum itu tidak mengubah nasibnya sendiri. Jodoh itu tidak dinanti, tapi harus dijemput. Tuhan selalu menciptakan sesuatu itu berpasang-pasangan. Tinggal bagaimana ikhtiar dan usaha kita menjemput jodoh yang sudah Tuhan persiapkan sesuai ikhtiar kita. Jangan pernah terlena dengan anggapan bahwa jodoh takkan kemana. Para wanita lajang ini biasanya terbuai dengan pola pikir demikian. Sehingga tak ada usaha mereka untuk membuka pergaulan dengan lingkungan luar. Sampai kapan menanti pangeran itu datang bila tidak berusaha untuk membuka hati atau mengenal orang lain. Aktifitas setiap hari hanya berangkat ke kantor dan sore hari tiba di rumah.
3. Terlalu idealis dalam menentukan pasangan hidup.
Sah-sah saja membayangkan memiliki pendamping hidup seorang pria yang tampan, mapan, baik, cerdas, memiliki gelar pendidikan tinggi, dan berasal dari keturunan orang terpandang. ‘Mr. Sempurna' yang ada dalam benak anda mungkin saja ada di dunia ini. Tapi dalam kehidupan nyata, tidak semua pria memiliki kehidupan yang demikian sempurna. Ketika anda menemukan Mr. Sempurna versi anda, namun sayangnya pria ini telah memiliki wanita lain sebagai pendamping hidupnya. Ingatlah bahwa jumlah wanita di dunia ini jauh lebih banyak dari pria. Dan bila ‘Mr. Sempurna' ini ada, tentulah ia akan menjadi incaran utama bagi para wanita yang memiliki daya tarik tersendiri untuk memikat hati pria ini.
4. Rasa takut yang tidak perlu.
Sebagian wanita lajang yang memiliki kehidupan mapan, biasanya cenderung memilih pasangan hidup yang memiliki materi setidaknya selevel atau setaraf dengannya. Bila si wanita lajang ini berpendidikan S1, tentulah ia menginginkan pria yang kalau bisa S2 atau setidaknya S1 juga. Rasa ketakutan memiliki seorang pendamping yang kehidupannya tidak selevel dengannya bisa menjadi batu sandungan baginya untuk menemukan pendamping hidup. Mereka takut dianggap tidak pandai memilih pasangan, takut intimidasi dari keluarga yang menghendaki si wanita lajang mendapatkan pasangan dari keluarga yang juga selevel atau setidaknya berpendidikan di atas wanitanya. Dan ternyata tidak sedikit pria yang juga takut berkomitmen dengan wanita yang memiliki taraf kehidupannya secara materi di atas mereka.
5. Trauma masa lalu.
Trauma masa lalu bisa menjadi suatu hambatan bagi si lajang menemukan pasangan hidup. Kisah cinta yang menyakitkan masih meninggalkan perih dan trauma yang berkepanjangan. Karena ternyata butuh waktu yang cukup lama untuk menyembuhkan luka itu. Pandangan tentang seorang pria yang selalu menyakiti hati akan tertanam di benaknya. Hal itulah yang membuatnya malas untuk kembali membuka hatinya untuk pria lain. Padahal tidak semua pria akan berbuat hal yang sama.
6. Kehidupan lingkungan yang buruk
Kehidupan lingkungan sekitar yang buruk ternyata bisa mempengaruhi dan membentuk kepribadian dan pola pikir seseorang. Kehidupan masyarakat sekitar terhadap suatu situasi, misalnya ketika ada ketika seorang wanita menerima lamaran dari seorang pria yang akan menikahinya dengan dipoligami (menjadi istri ke 2, 3 atau 4), maka akan terlihat reaksi yang luar biasa dari lingkungan sekitarnya. Caci maki kerap dialamatkan kepada pelaku poligami. Dan ketika ada salah seorang tetangganya yang 'MBA' (menikah karena terlanjur hamil akibat pergaulan bebas) lalu orang tuanya segera menikahi anaknya tersebut, namun tidak ada reaksi sedikitpun dari masyarakat sekitar dan menganggap hal itu merupakan sesuatu yang biasa terjadi.
Kondisi-kondisi tersebut tentu saja bisa membuat para wanita lajang stres. Bukan saja karena mereka terus berharap, Belum lagi mereka kerap menghadapi tuntutan dari keluarga dan orangtua untuk segera menikah. Tak urung hal inilah yang makin membuat mereka stres. Bahkan para wanita lajang ini banyak yang mengakui telah berusaha maksimal kemampuan mereka. Seperti berpenampilan sebaik-baiknya, rajin bersosialisasi, dan bersikap seramah mungkin. Namun ternyata jodoh yang diharapkan pun tak kunjung datang. Lantas, apa yang salah?