Mohon tunggu...
ella nurlaela
ella nurlaela Mohon Tunggu... -

Seorang Ibu dari 3 orang putra-putri memiliki hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngabuburit, Dulu dan Sekarang

5 Juli 2014   18:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:21 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu bulan Ramadan tiba,  ada dua kata  yang akrab  di telinga kita, yang pertama adalah  kata  Marhaban yaitu kata serapan yang berasal dari bahasa Arab yang dipadankan dengan kata Selamat datang dalam bahasa Indonesia. Kata yang kedua adalah Ngabuburit yang berasal dari bahasa Sunda, yang pemakaiannya sudah meng-Indonesia.

Ngabuburit berasal dari akar kata  burit yang di dalam Kamus Umum Basa Sunda LBSS didefiniskan sebagai: Waktu dina rek beakna beurang, wanci sariak layung atawa wanci magrib.Atau kata yang mempresentasikan waktu yang menunjukkan berakhirnya waktu siang. Kata Ngabuburit adalah kata dasar burit yang artinya sore yang sudah  melalui proses rajekan dwipurwa/ reduplikasi suku kata pertama dengan penambahan imbuhan  ( rarangken hareup) nga yang artinya ngalantung ngadagoan burit atau berjalan-jalan sekitar rumah dan halaman pada waktu sore untuk menunggu datangnya malam (waktu magrib).Jadi, pada awalnya kata ngabuburit dipakai tidak hanya pada bulan Ramadan.

Konon istilah ngabuburit ini diperkirakan sudah ada sejak abad XV silam. Pada waktu itu, Kerajaan Mataram menata kota-kota dengan membuat sebuah pusat kegiatan masyarakat berupa sebuah alun-alun, masjid, dan pasar,  serta fasilitas pendukung lainnya sehingga menarik warga untuk mendatanginya. Karena pusat keramaian  berada di alun-alun, maka tempat tersebut oleh  masyarakat dijadikan tempat favorit untuk ngabuburit.

Di dalam tradisi masyarakat Sunda tempo dulu, terutama yang dilakukan oleh anak-anak dan remajanya, acara ngabuburit biasanya dihabiskan di tanah-tanah lapang, seperti halaman masjid.

Seperti yang kualami sendiri, setelah salat asar dan mengaji( mukena dan al-Qur'an disimpan di madrasah) , aku ngabuburit di halaman mesjid bersama teman-teman, yang tadi sama-sama ikut mengaji.  Sambil nunggu waktu magrib tiba,  kami bermain beragam permainan tradisional, seperti galah, gatrik, encrak, beklen, congklak, halma, dan sebagainya. Begitu beduk magrib berbunyi, kami pun berlarian menuju tempat wudu. .Lalu berebutan membawa sarung dan kopiah(  anak laki-laki) atau mukena ( anak perempuan), serta al-Qur'an ke mesjid untuk menunaikan salat magrib berjamaah. Setelah salat, kegiatan berlanjut dengan mengaji lagi sampai masuk waktu salat isya.  Setelah itu kami baru pulang ke rumah masing-masing.Sesampai di rumah aku makan malam, mengerjakan PR, baru deh boleh tidur.

Kadang-kadang juga, aku ikut emak  ke kebun di belakang rumah untuk sekadar melihat saluran air  ke kolam atau sawah apakah lancar atau tidak, melihat-lihat tanaman palawija yang ditanam di galengan apakah ada yang rusak atau ada yang sudah cukup  untuk dipanen , atau mengambili buah-buah pinang yang jatuh ke kolam untuk dikumpulkan.  Pinang itu setelah dikeringkan dan  terkumpul banyak akan dijual.Aku sering kebagian komisi penjualannya.Lumayan juga ada tambahan  untuk isi tabungan.Pokoknya, setiap pulang nagbuburit sama emak tidak akan pulang dengan tangan kosong.

Acara ngabuburitku di waktu kecil, ya seperti itu. Karena waktu itu tempat yang menyenangkan untuk tempat bermain aku dan teman-teman adalah berkisar antara halaman masjid, kebun, kolam dan sawah. Kegiatannya pun  berburu buah-buahan di kebun belakang rumah,  bikin rujak ramai-ramai di bawah pohon jambu bol, bermain rakit gedebok pisang di kolam,  atau   ngala tutut dan eceng disawah.

Jika hari itu ngabuburit kami isi dengan ngala tutut dan eceng, biasanya   setelah itu  kami berbagi tugas untuk  kegiatan berikutnya, yang tak kalah mengasyikkan. Ada yang  ngumpulin ranting-ranting kayu dan membuat hawu( tungku). Ada yang meminta beras dan garam  ke emaknya, dan  adajuga  yang meminjam kastrol untuk bikin nasi liwet. Pokoknya semua bergotong royong untuk menyukseskan acara ngaliwet. Setelah liwet matang, ada yang bertugas mengambil daun pisang untuk alas makan.  Nasi liwet dan semua lauknya ditamplokkeun ke atas daun pisang, lalu nasi beserta lauk-pauknya itu dibagi rata sesuai dengan banyaknya anggota kelompok.  Kami pun siap makan bersama( botram) mengelilingi daun pisang tersebut.Kami tidak peduli apakah itu namanya  makan siang yang kesorean atau makan malam yang terlalu cepat.Yang penting hati senang, perut pun kenyang.

Tentu saja, selama bulan Ramadan acara ngarujak dan ngaliwet setelah mengaji ditiadakan karena  sedang puasa. Tapi, kalau kegiatan mengumpulkan aneka macam buah-buahan sih nggak berhenti. Kami berlomba mencari buah-buahan untuk berbuka puasa. Siapa yang bisa  mengumpulkan jenis buah-buahan yang paling banyak, dia 'kelas'nya akan naik di kelompok bermain kami. Makanya, kami ngasruk ke tiap kebun untuk mencari jenis buah yang berbeda dengan yang sudah didapat oleh teman yang lain.

Karena waktu aku kecil belum ada kantong keresek, kami membawa buah-buahan hasil jarahan kami itu dengan menggembolnya memakai...baju kami sendiri. Jadi, nggak heran kalau baju kami waktu itu  penuh dengan bekas getah buah-buahan. Pada saat berbuka puasa, kami wajib sudah ada di rumah sebelum bedug magrib.  Sesudah mandi kami duduk di atas tikar yang digelar di tengah rumah. Kami menunggu beduk ditabuh sambil  duduk menghadapi piring seng milik masing-masing  serta tambahan menu ta'jil hasil kami berburu di kebun.

Selama bulan Ramadan kegiatan ngarujak dan ngaliwetkami tiadakan.Tapi kami tidak kekurangan kegiatan yang menyenangkan. Kami  ganti kegiatan itu dengan membuat permainan   lodong, yaitu  bermain perang-perangan dengan media bambu mirip sebuah meriam yang diisi dengan karbit, lalu disulut api  hingga menghasilkan suara dentuman, atau membuat benang gelasan. Anak laki-laki membentang benangnya, sedangkan anak perempuan membantu menumbuk pecahan beling sampai halus. Saat istirahat dari kegiatan yang menguras tenaga, kami  membaca buku komik yang disewa dari taman bacaan keliling yang kami juluki Si Goler karena kami membaca bukunya sambil ngagoler atau gogoleran (idur-tiduran) di teras masjid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun