Mohon tunggu...
Ell Faridzy
Ell Faridzy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pegiat Teknologi

Merupakan pegiat teknologi yang berfokus pada pengembangan sistem skala besar. Selain itu menulis hal-hal yang bermanfaat adalah suatu hoby.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tasawwuf, Menjadi Manusia Rohani Part 1 (Ringkasan Ngaji Ihya Halaman 951)

8 Mei 2019   15:39 Diperbarui: 8 Mei 2019   15:43 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi kalangan pesantren tentunya mengenal sekali dengan istilah tasawuf.Istilah yang mungkin sangat kecil dikenal oleh orang-orang non santri.Mengambil terminologi secara umum,esensi tasawuf ialah pelatihan dengan kesungguhan untuk dapat membersihkan, memperdalam, mensucikan jiwa atau rohani manusia. 

Hal ini dilakukan untuk melakukan pendekatan atau taqarub kepada Allah dan dengannya segala hidup dan fokus yang dilakukan hanya untuk Allah semata.

Dalam sejarahnya,tasawuf sudah lama berkembang sejak masa Rosulullah Saw,namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti fiqh dan ilmu tauhid.Pada dasarnya  apa yang diselami dalam ilmu tasawuf ialah  tentang akhlak dan rohani manusia.

Pada kesempatan kali ini,penulis ingin menceritakan bagaimana pengalaman spiritualitas Imam Ghazali yang tertuang dalam kitab fenomenalnya yaitu Ihya' Ulummuddin.

Dalam kitab tersebut, Imam Ghazali memberikan sebuah gambaran bagaimana jalan menuju mujahadah(melawan hawa nafsu).Dalam bermujahadah,salah satu langkah yang bisa dilakukan ialah dengan menempuh cara hidup alternatif yaitu mengurangi kenikmatan-kenikmatan yang secara agama sebenarnya dibolehkan tapi kemudian diminimalisir sampai ke taraf basic needs (qodrud daruroh atau qodrul hajat).

Kaidah pokok dalam jalan mujahadah menurut Imam Ghazali adalah meninggalkan sesuatu yang menjadi sebab kesenangan seseorang, yaitu sebab-sebab keduniawian. Karena itu orang yang gembira karena harta, atau karena diterima/didengar nasehatnya oleh publik, atau karena kedudukan/jabatannya sebagai kadi atau kepala daerah, atau karena mempunyai banyaknya murid atau pengikut, maka seyogyanya ia meninggalkan sebab-sebab kegembiraannya itu.

Hal ini tentu sangat berat,tidak semua orang bisa melakukannya. Harta, status sosial, nasehat yang digemari (pada kasus penceramah), status sosial yang tinggi, atau santri dan pengikut yang banyak, bagaimana meninggalkan itu semua?

Dalam konsep Marxisme, membuang keterikatan dengan segala sesuatu yang membuat kita merasa nyaman disebut bunuh diri kelas. Al-Ghazali pasti tidak memetik idenya dari awan. Apa yang beliau tulis di dalam kitab Ihya' ini berdasarkan pada refleksinya atas kehidupan pribadinya. 

Beliau, sudah dijelaskan beberapa kali sebelum ini, pernah mengalami krisis spiritual yang hebat, yang mendorong beliau untuk meninggalkan segala yang beliau miliki: jabatan sebagai rektor di unversitas terbaik ketika itu (An-Nidzamiyah), pekerjaan, murid-murid pasca sarjana, keluarga, perpustakaan, sampai harta pribadi. Tapi toh beliau tetap memilih untuk uzlah dan bermeditasi. 


Tidak semua orang mampu mengambil pilihan ekstrem seperti Al-Ghazali, tetapi setidaknya kita bisa mendapatkan perspektif dari pengalaman beliau. Intinya, kita perlu pelan-pelan melatih diri untuk melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan. 

Jadi ini semacam the ethics of non-attachment: sikap untuk tidak terikat pada sesuatu yang membuat kita nyaman, karena dari kenyamanan tersebut akan timbul hawa nafsu.  

Ini adalah ajaran yang radikal tetapi penting, terutama ketika kita hidup di era ketika kita dikepung oleh berbagai sumber kenikmatan yang memanjakan tubuh, syahwat. Ajaran ini mengajak kita untuk melepaskan diri dari semua hal yang menjadi sumber kenikmatan. 

Kalaupun tidak bisa melepaskan semuanya minimal kita mengurangi keterikatan terhadap sumber-sumber kenikmatan bagi kita tersebut.

"Sesungguhnya jika manusia dicegah dari sesuatu yang menjadi sumber kesenangannya, dan dikatakan kepadanya 'ganjaranmu di akhirat tidak akan dikurangi karena dicegah dari kesenangan-kesenanganmu', maka ia akan menjadi benci atau tidak suka terhadap ucapan tersebut, dan bahkan merasa sakit karena dihalang-halangi dari kesenangannya. Jika ia merasa demikian, maka itu artinya ia merasa nyaman dengan dunia, padahal itu [nyaman dengan dunia itu] sebenarnya adalah hal yang merusak bagi dirinya."

Jadi tanda bahwa kita terikat dengan hal-hal duniawi adalah ketika kita dicegah dari kesenangan-kesenangan tersebut kita merasa sakit hati, tidak suka, sedih atau galau. 

Begitu kita terikat dengan hal-hal duniawi seperti itu, maka itu semua menjadi sumber kerusakan bagi diri kita. Ihya' memang mengajarkan kita untuk menjalani cara hidup alternatif. Ketika orang menikmati dunia, kita justru diajak untuk menjauh dari dunia.

Cara berpikir Al-Ghazali ini dipraktikkan dalam pesantren dan menjadi sebuah sub-kultur perlawanan seperti disebutkan Gus Dur. Gerakan perlawanan semacam ini juga berkembang di Barat untuk melawan gaya hidup konsumtivistik yang mengeksploitasi dan merusak lingkungan secara besar-besaran. 

Green Peace yang menolak penggunaan plastik berlebihan, gerakan decluttering, semuanya sesuai dengan ajaran Al-Ghazali dalam kitab Ihya': mengajak untuk mengurangi konsumsi berlebihan dan mencukupkan diri dengan kebutuhan dasar.


"Kemudian setelah orang meninggalkan sebab-sebab kesenangan dan kenyamanan duniawinya, maka hendaklah ia melakukan uzlah, menyendiri dengan dirinya saja, dan mengawasi kalbunya sehingga ia tidak sibuk [ketungkul] dengan hal-hal lain kecuali zikir kepada Allah dan berefleksi tentang Allah. Dan hendaklah ia waspada terhadap sesuatu yang keluar dari dirinya berupa syahwat dan perasaan galau (waswas), sehingga ia bisa mengendalikan akar dari penyebab syahwat. Sesungguhnya setiap perasaan waswas itu ada penyebabnya dan tidak akan hilang kecuali dengan memutus hubungan dengan penyebab waswas tersebut. Jika ia berhasil, maka hendaklah ia konsisten sepanjang umurnya karena tidak ada akhir bagi jihad kecuali kematian."

Jadi ada dua langkah besar: pertama melawan nafsu yang dalam teori Imam Al Ghazali adalah melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi, dan setelah itu uzlah atau memisahkan diri dari keramaian dunia diikuti oleh zikir untuk mengingat Allah dan merenungi ciptaan-Nya.

Jika dimaknai secara longgar, uzlah bukan sekadar berarti menyingkir secara fisik tetapi juga mengambil jarak dengan cara mengendalikan pikiran. Jalan sufi itu bisa berarti melakukan tindakan yang disarakan dalam Kitab Ihya' ini, tetapi juga bisa berarti jalan spiritual: tetap berada di tengah keramaian, tetapi tetap bisa berjarak (uzlah mental). Biasanya orang ketika bersama orang lain akan sulit mengondisikan diri berjarak dengan orang lain. 

Cara terbaiknya ya memang pergi secara fisik, tetapi jika tidak dimungkinkan yang terpenting adalah menjaga agar pikiran tidak berkelana (nggelambyar) ke mana-mana. Fokus. Caranya adalah dengan melakukan zikir. Di sini zikir berfungsi sebagai "pengumpulan diri yang berantakan" (gathering self) yang terdistraksi oleh begitu banyak urusan duniawi.

Noah Yuval Harari, seorang pengarang Israel yang menulis buku best seller Homo Sapiens, bercerita bahwa salah satu kebiasaannya di akhir tahun adalah uzlah ke India selama tiga bulan untuk mengikuti retreat, meninggalkan seluruh pekerjaan dan memutus komunikasi dengan dunia luar. Selama tiga bulan, ia berpuasa dan bermeditasi saja. 

Menurutnya hal tersebut membantunya untuk kembali memperoleh fokus dalam pekerjaan dan riset-risetnya.  Ini adalah ilustrasi bahwa Ihya' adalah ilmu yang telah dipraktikkan oleh banyak orang dengan berbagai latar belakang sejak dulu sampai sekarang. Ilmu ini adalah ilmu yang wajar dan diterima secara universal.

Dalam hal ini dapat dipetik pelajaran yang sangat berharga bagaimana untuk menjadi seseorang yang tidak haus akan keduniawian serta dapat mengendalikan hawa nafsunya dengan baik sesuai dengan norma-norma yang ada.


*Dikutip dari Ngaji Kitab Ihya' oleh Ulil Abshar Abdalla(Facebook)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun