Dalam berita itu juga tersurat “pengambilalihan ini mengemuka karena anggaran beasiswa yang sering terlambat dan kuota penerima beasiswa yang sangat kecil”. Di sini saya ingin menyarankan lagi kepada pak Nazir dan para anggota dewan yang di Komisi pendidikan itu, sekaligus saya memberitahu bahwa seleksi untuk menjadi penerima beasiswa LPDP tidak seperti beasiswa lain yang hanya mengajukan proposal seperti minta dana bansos yang sekarang menjerat banyak kepala daerah itu. Seleksi beasiswa LPDP adalah sebuah penyaringan (seleksi) yang berdasarkan kemampuan yang unggul dan mumpuni.
Dari seleksi administrasi (antara lain IPK harus 3 ke atas, pengalaman organisasi banyak), wawancara , LGD, pra-PK (program kepemimpinan) hingga PK. Hal-hal ini menunjukkan bahwa LPDP sangat profesional dan mempunyai niat yang tulus untuk membentuk anak bangsa ini menjadi pemimpin masa depan dan tidak seperti sekarang yang menjadi pejabat untuk menjadi calo – papa minta saham - dan menjadi koruptor tetapi tidak tahu malu.
Oleh sebab itu, bukan sombong atau tinggi hati, hanya orang-orang yang benar-benar bibit unggul yang berhak menerima beasiswa ini. LPDP tidak mau memberikan beasiswa kepada orang yang sebentar kuliah tetapi DO dalam perjalanan karena tidak mampu “menahan terjangan badai” ketika mengerjakan Thesis atau Disertasi. Itulah yang menyebabkan kuota itu terbatas. Jadi, Pak Nazir dan krunya di DPR seharusnya pahami dulu persoalan sebelum komentar yang justru bakal menimbulkan masalah baru bagi LPDP seperti halnya beasiswa Dikti yang ada di bawah kementrian Ristek dan Dikti.
Pak Nazir berkomentar, beasiswa LPDP sering terlambat, tetapi apa dia tidak tau, atau tidak mau tahu, atau masa bodoh dengan beasiswa Dikti yang awalnya “beasiswa prabayar” tetapi kemudian berubah menjadi “beasiswa pasca bayar” karena sering (bahkan keterlaluan) terlambat. Maksud saya adalah, beasiswa Dikti itu ibarat “utang-piutang”.
Mahasiswa utang untuk bayar kuliah nanti beasiswa Dikti cair baru bayar utang. Gali lubang, tutup lubang. Dia memburuk-burukkan LPDP sering terlambat (padahal tidak), tetapi dia lupa bahwa beasiswa Dikti di bawah kementriannya selama ini ibarat bantuan kepada mahasiswa untuk membayar utang.
Sepertinya pak Nazir lupa bahwa itu lebih dan malah sangat buruk dibandingkan dengan tuduhannya kepada beasiswa LPDP. Saya mulai curiga lagi, jangan-jangan Pak Nazir dan Anggota DPR komisi pendidikan ini ada unsur “papa minta beasiwa” lagi di sini. Dengan sengaja LPDP dialihkan ke Kemenristek supaya mereka dengan mudah mengutak-atik uang-uang ini untuk kepentingan tertentu. Itu pra sangka saya (Semoga tidak). (Baca soal masalah Beasiswa Dikti di sini: Mereka Bicara Borok DIKTI).
LPDP Dipindahkan ke Kemenristek? Tidak Setuju
Benar-benar kebiasaan pejabat di negeri ini adalah membuat gaduh dan meciptakan masalah. Yang sedang baik-baik saja, diutak-atik dengan alasan agar tidak tumpang tindih, sedangkan yang bermasalah tidak diselesaikan. Beasiswa Dikti yang tidak tumpang tindih tetapi bermasalah juga dan tidak selesaikan masalahnya. LPDP yang sedang aman-aman saja malah dipersoalkan.
Ini potret kepemimpinan di negeri ini yang terkadang pintar membuat masalah tetapi tidak dapat menemukan solusi. Kalau LPDP selama ini berada di bawah kementerian Keuangan aman-aman saja, mengapa harus dipindahkan ke Kemenristek-Dikti. Kecuali LPDP sedang bermasalah, dan mungkin masalahnya karena tumpang tindih dan solusinya harus dipindahkan ke Kemenristek. Kalau ada “sehat-sehat saja” menagapa harus dipermasalahkan. Saya berprasangka, jangan-jangan LPDP bernasib buruk seperti beasiswa Dikti.
Dapat juga dibaca di: www.pegiatliterasi.com
atau di sini: https://www.pegiatliterasi.com/2020/04/menristekdikti-bicara-lpdp.html