[caption id="attachment_358025" align="aligncenter" width="672" caption="Kebersamaan para mahasiswa PPI (Gbr:ppia-vic.org)"][/caption]
Skandal di tubuh DIKTI bukanlah cerita baru. Hal itu sudah terjadi sangat lama, dan belum ada yang menghentikan. Begitulah di antara respons para mahasiswa penerima beasiswa DIKTI, menyusul tulisan yang saya ekspose sebelumnya di KOMPASIANA, Senin (8/9)
Di antara yang turut merespons tulisan itu adalah Koordinator Overseas Indonesian Students Association Alliance (OISAA), atau PII Dunia, Pan Mohamad Faiz. Kandidat Ph.D di Queensland University ini, menimpali dengan me-mention akun Twitter saya, @zoelfick, bahwa ia membenarkan bahwa praktik-praktik keculasan itu sudah lama terjadi.
Tanggapan dari Koordinator PPI Dunia tersebut datang, setelah Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indonesian Political Indicator, meneruskan obrolan via Twitter seputar tulisan berjudul Skandal DIKTI: Ironi Kuliah di Luar Negeri. Ia melakukan langkah itu, karena Burhanuddin sendiri berterus terang dirinya bukan penerima beasiswa DIKTI.
Tak ketinggalan, salah seorang peneliti, Aan Anshori pun mengontak dengan mention akun Twitter @PPIAustralia. Sehingga beragam tanggapan pun bermunculan ke akun Twitter saya. Ringkasnya, 9 dari 10 yang menghubungi saya via Twitter, membenarkan praktik culas yang kerap dengan aman dilakukan pihak DIKTI.
Gayung bersambut, sore hari setelah tulisan itu saya ekspose, detik.com pun turut mem-blow up tulisan tersebut bertajuk Tanggapi Dirjen DIKTI Ini Versi Mahasiswa Beasiswa DIKTI di Luar Negeri.
Di sanalah, saya berinisiatif mencermati respons berupa komentar di bawah berita tersebut. Saya menemukan lebih banyak komentar yang pada intinya lagi-lagi mengiyakan dan juga menunjukkan berbagai keculasan yang selama ini dilakukan DIKTI.
Saya perkirakan, semua yang berkomentar itu tak lain adalah para mahasiswa penerima beasiswa DIKTI. Berdasarkan logika berita, satu berita hanya menjadi paling menarik bagi pihak yang memiliki keterkaitan langsung dengan isi berita (proximity). Mereka seakan menemukan momentum untuk berbicara blak-blakan atas apa saja yang mereka alami.
Dari berbagai respons di bawah berita DETIK tersebut, saya kutip:
Dikti memberlakukan syarat pengumpulan berkas utk pencairan dan perpanjangan beasiswa secara fisik dan online. Persyaratan inilah yg menjadi senjata utk menunda ataupun menolaknya dg alasan yg tdk masuk akal, seperti: tidak ada LoA, setkab, paspor dll. Padahal sebagian besar berkas itu sdh dikumpulkan sebelum berangkat study. Ditambah lagi semua berkas juga sdh kumpulkan online. Apakah dikti telah menerapkan prinsip mencari salahnya daripada urgensinya? (Masdar Helmi).
Terdapat juga pemberi tanggapan lain yang lebih beragam, mengungkapkan kekesalan memperlihatkan kecurigaannya apa yang menjadi alasan pihak DIKTI terkesan menunda jatah beasiswa tersebut, dengan respons: