Mohon tunggu...
Jessica Farolan
Jessica Farolan Mohon Tunggu... -

Full timer trainer & part timer stand up comedian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stand Up Comedy: Sebuah Pisau Bermata Dua

3 Juni 2014   18:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:45 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1401768275404243437

(Tulisan diambil dari website pribadi: www.jessicafarolan.com)

Tidak terasa, komunitas stand up comedy sudah hampir genap berusia 3 tahun sejak meledak pertama kali pada Juli 2013. Selama hampir 3 tahun, saya mengamati perkembangan stand up comedy di Indonesia. Pesat. Dalam 3 tahun stand up comedy mampu mengangkat banyak nama yang tadinya hanya dikenal oleh sedikit orang menjadi dikenal oleh ribuan orang. Sebut saja beberapa di antaranya, Pandji Pragiwaksono, Ernest Prakasa, Sammy Notaslimboy.

Sebagai penikmat dan pelaku stand up comedy, saya mengamati apa yang disebut persona dan bit dari banyak komika. Tidak hanya komika yang berasal dari SUCI Kompas TV, tetapi juga dari Metro TV dan mungkin juga dari beberapa show atau open mic.

Sebagai penikmat, saya sih suka dengan banyak komika. Saya menikmati hampir semua genre materi yang dibawakan oleh banyak komika. Mulai dari yang serius (berisi pesan dan kritik sosial, politik) sampai yang genre-nya pop (boyband, girlband, galau, jomblo, relationship).

Sebagai pelaku, saya mengamati sesama komika. Bukan hanya materi, tapi juga motivasi mereka menjadi seorang komika. Bagi saya, motivasi mereka tercermin dari perilaku yang ditampilkan mereka ketika on stage maupun off stage; dari materi-materi yang mereka bawakan maupun dari perilaku / sikap mereka ketika tidak sedang melakukan stand up routines.
Sejauh yang saya amati, saya melihat seorang komika melakukan seni stand up comedy karena:


  1. Ingin berkarya di dunia stand up comedy,
  2. Ingin menciptakan sebuah perubahan dengan mengkritisi atau menceritakan kegelisahan dirinya terhadap kondisi sosial/politik,
  3. Ingin eksis atau popular.


Sebelum menentang atau menegasi pendapat saya di atas, coba baca lebih lanjut penjelasan saya.

Ketiga hal di atas tidak bisa benar-benar terpisah satu sama lain. Maksud saya, semulia-mulianya seorang komika yang hanya ingin memberikan kritik yg konstruktif, pasti menikmati eksistensi dan popularitas dia sebagai komika. Dan bukan tidak mungkin ia menjadi ingin berkarier sebagai seorang komika.

Tapi, yang saya ingin bahas di sini adalah motivasi utama.

Saya kenal dengan beberapa komika yang memang ingin menjadi seorang komika karena suka. Karena terinspirasi oleh komika dalam maupun luar negeri. For these people, being comedian is not a job. It’s their calling. Sama seperti ketika Anda seorang penyanyi dan Anda menjadi penyanyi karena Anda suka menyanyi. Mereka menjadi komika karena mereka memang ingin berkarya di dunia stand up comedy.

Saya juga mengenal komika dengan motivasi utama yang berbeda. Seorang komika yang motivasi utamanya adalah menciptakan perubahan melalui kritik biasanya mengkritik dengan konstruktif. Artinya, dia akan membuat kita berpikir atau terilhami jalan keluar atau setidaknya kondisi yang seharusnya terjadi atas masalah yang dipaparkan melalui materi stand up mereka. Betul, mereka tidak lepas dari nyinyir terhadap pihak atau hal tertentu di atas panggung. Tetapi, coba perhatikan baik-baik, di akhir set mereka akan menyelipkan pesan dalam bentuk apapun sebagai solusi atau insight baru. Mereka menjadikan stand up comedy sebagai alat untuk mencapai hal yang lebih dari sekadar kepentingan dirinya. Popularitas menjadi sebuah konsekuensi logis, bukan motivasi atau tujuan utama. Hal ini tercermin dari bagaimana mereka membawa diri mereka di luar panggung. Saya cukup sering bertemu dengan komika-komika yang memiliki motivasi utama ini. They don’t try to be funny at all when I talk to them off stage. Tapi tidak jarang saya tertawa ketika berbicara dengan mereka. It feels just natural.

Di sisi lain, saya cukup sering mengamati komika-komika yang terlihat hanya ingin eksis (mencari popularitas). Mereka menjadikan stand up comedy sebagai alat pembuktian diri. Karena motivasi utama mereka adalah mendapatkan pengakuan, hal yang mereka kejar adalah sebutan komika. Mereka yang memiliki motivasi ini biasanya cukup puas ketika disebut sebagai seorang komika dan tampil di beberapa event stand up comedy.

Tidak ada yang salah dengan kebutuhan untuk membuktikan diri atau mendapatkan pengakuan. Tetapi, setelah saya perhatikan lebih lanjut, mereka dengan motivasi ini biasanya secara materi, meminjam istilah Raditya Dika, tidak bergizi. Secara materi stand up, mereka tidak menawarkan added value seperti yang ditawarkan oleh banyak komika. Added value yang saya maksud di sini adalah hal-hal yang menjadi hal lebih yang ditawarkan dan biasanya merupakan keunikan dari si komika. Dan tidak jarang kita menemukan bahwa isi materi mereka dengan motivasi ini hanya mengejek/menghina pihak tertentu. Ya, betul, hanyamengejek/menghina. Betul memang bahwa dalam dunia stand up comedy, menghina/mengejek/nyinyir tidak bisa terelakkan. Tetapi tentu kita bisa memahami, mana yang hanya berhenti sampai pada tahap mengejek dan mana yang memiliki pesan atau yang saya sebut dengan istilah added value tadi.

Dengan pengamatan tersebut, lantas saya menjadi berpikir yang berujung pada sebuah statement bahwa stand up comedy bisa menjadi alat untuk mengembangkan diri Anda, tetapi juga bisa mengerdilkan diri Anda.

Apa maksudnya?

Komika-komika dengan motivasi berkarya di dunia stand up dan menciptakan perubahan yang saya bahas di atas tentu mengarahkan mereka menjadi individu yang lebih baik. Mereka yang ingin berkarya akan terus mengisi diri mereka dengan skill dan pengetahuan tentang dunia stand up comedy. Mereka yang ingin menciptakan perubahan akan terus melihat berbagai hal dari banyak sudut pandang dan mencoba menawarkan solusi/insight bagi orang lain.

Namun demikian, mereka yang ingin mendapatkan pengakuan biasanya akan berhenti sampai pada hal yang biasanya bersifat mengejek / menertawakan (bukan Mentertawakan! #MentertawakanIndonesia #PerempuanBerHAK #promosisekalian). Hal yang menjadi kekhawatiran bagi saya adalah mereka berlindung di balik kalimat “yaelah, masa gitu aja tersinggung! Kan namanya juga komedi, namanya juga bercanda”. Dengan berlindung di balik kalimat ini, mereka semakin menumpulkan kepekaan sosial mereka. Mereka menjadi dengan mudah dan cepat mengejek hal yang berbeda tanpa mencoba untuk melihat dari sudut pandang lain. Padahal, berbeda tidak selamanya berarti salah. Satu pendapat yang berbeda mungkin saja sama benarnya dengan seribu pendapat lain, namun dilihat dari sisi yang berbeda. Dan sayangnya mereka menjadi tidak bisa melihat hal ini karena kepekaan sosial mereka yang tumpul.

Pada akhirnya stand up comedy menjadi seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, Anda bisa menggunakannya sebagai alat untuk membuat Anda menjadi orang yang kritis tapi solutif sehingga bisa membawa perubahan baik bagi banyak orang dan diri Anda. Di lain sisi, stand up comedy ternyata mampu menjadi alat yang justru menumpulkan kepekaan Anda terhadap situasi lingkungan dan justru membuat Anda menjadi tidak bijak.

Melalui tulisan saya ini, saya tidak sedang menyalahkan siapapun atau menuding atau apapun yang sifatnya memojokkan. Saya lebih ingin mengajak komika untuk lebih jujur mengakui motivasi utama mereka dan merefleksikan pertanyaan berikut: sudahkah saya memiliki added value?
Karena sudah terlalu banyak entertainer di negara kita yang hanya sekadar tampil di televisi.
Tapi kita sama-sama tahu bahwa mereka tidak lebih dari sekadar wajah di televisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun