PENDAHULUAN
Agribisnis adalah bisnis yang berbasis usaha di bidang pertanian dan bidang lainnya yang mendukung baik di sektor hulu dan hilir. Ini merupakan cara pandang dalam segi ekonomi melalui pengolahan budidaya, penyediaan bahan baku, pasca panen, dan proses pengolahan hingga ke tahap pemasaran. Sub sektor perkebunan merupakan subÂ
sektor pendukung utama yang berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber bahan baku industri, dan sumber kebutuhan pokok serta penyumbang devisa bagi Negara (Jinap, Hasnol, Sanny, & Jahurul, 2018). Sementara itu bagi Indonesia, kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang perlu mendapatkan perhatian serius karena peranannya cukup penting dalam perekonomian Indonesia.
Komoditas perkebunan Indonesia yang cukup potensial adalah kakao (Utomo,Prawoto, Bonnet, Bangviwat, & Gheewala,2016). Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional (Nair,2011). Peranan tersebut terutama sebagai penyedia lapangan kerja dan sebagai sumber
 devisa negara terbesar ketiga dari sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit. Selama sepuluh tahun terakhir, kinerja agribisnis kakao Indonesia menurun. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan luas arealperkebunan kakao, diikuti oleh penurunanproduksi dan volume ekspor.Â
Untuk itu, usaha pengembangan perkebunan kakao lebih terfokus pada perluasan areal tanaman, peningkatan produksi dan perbaikan kualitas biji kakao yang dihasilkan. Perkembangan areal tanam dan produksi kakao ini menarik banyak pihak untuk terlibat dalam proses pemasarannya. Petani sebagai produsen kakao tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga, sehingga petani hanya sebagai price taker (Viteri Salazar, Ramos- Martn, & Lomas, 2018). Sementara pedagang bertindak sebagai penentu harga.
Sistem pemasaran biji kakao didasarkan pada mekanisme pasar, dimana pembentukan harga terjadi melalui keseimbangan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Umumnya, biji kakao dari petani masih rendah kualitasnya sehingga menyebabkan harganya cenderung fluktuatif (fluktuasi perubahan harga cukup besar dan sangat cepat). Perubahan harga yang cepat tersebut diharapkan akan ditanggapi secara cepat pula oleh para pelaku pasar sehingga dapat segera mengambil keputusan yang tepat, dan pasar menjadi lebih efisien (Syahputra, 2019).
PEMBAHASAN
SUBSISTEM AGRIBISNIS DAN PENERAPAN SUBSSITEM AGRIBISNIS PADA KAKAO
Terdapat lima subsistem dalam sistem agribisnis yaitu seperti subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa penunjang.
Subsistem hulu
Subsistem hulu merupakan subsistem yang berfungsi sebagai sarana yang memenuhi kebutuhan dalam proses produksi. Sarana produksi yang diperlukan seperti benih, bibit, pupuk, pestisida, penyediaan alat-alat pertanian, lembaga penunjang. Pada perkebunan kakao subsistem hulu yang digunakan yaitu pembibitan kakao, penyediaan sarana dan jasa transportasi, kegiatan penyediaan pupuk dan obat-obatan, dan penyediaan alat dan mesin pertanian.
Kegiatan pembibitan kakao merupakan proses awal untuk mempersiapkan bibit siap tanam. Hasil biji kakao yang baik juga bergantung pada proses pembibitan, oleh karena itu pemilihan bibit berkualitas sangat menetukan hasil produksi. Untuk menghasilkan produksi kakaoÂ
yang memiliki kualitas unggul harus terdapat penyediaan pupuk dan pestisida yang sangat dibutuhkan. Selain itu, sebagai penunjang pada proses pengolahan pada lahan perkebunan kakao membutuhkan alat-alat dan mesin pertanian. Contohnya seperti agromekanik yang merupakan industri pemasok mesin dan juga alat-alat untuk menunjang hasil dari perkebunan kakao.
Subsistem usahatani kakao
Perkebunan kakao di Indonesia di kelola oleh tiga pihak yaitu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta, Perkebunan Negara. Penghasil kakao terbesar di Indonesia dikuasai oleh Perkebunan Rakyat dengan luas lahan mencapai 92% dari seluruh total luas lahan yang ada. Perkebunan rakyat sebagai produsen kakao dengan luas lahan terbesar dibandingkan perkebunan Negara dan Swasta, tentu akan menghasilkan kakao dengan jumlah yang paling besar (Tutu Benefoh dkk., 2018).
Berdasarkan tabel 1., petani memiliki luas lahan mencapai 3000 m2 hingga 3000 m2. Adapun petani yang memiliki luas lahan yang cukup luas mencapai 9000m2 dan juga terdapat para petani yang memiliki luas lahan mencapai 1 Ha. Lahan para petani yang ditanami kakao merupakan lahan milik pribadi berupa tegalan ataupun pekarangan.Â
Dengan luas lahan yang ada para petani dianggap belum efektif dalam pelaksanaan penanamanya, dikarenakan lahan yang dimiliki para petani ditanami kurang dari 250 pohon kakao.
Berdasarkan tabel 2., jumlah dari semua petani kakao yang ada di Indonesia yang memiliki usia produktif tanaman kakao menerima Rp 6.697.840 dan gross margin sebesar Rp 5.650.262. Biaya-biaya yang dikeluarkan petani untuk hal lain seperti tenaga kerja, saprodi, penyusutan alat berjumlah Rp 1.047.578.Â
Saprodi yang dibutuhkan oleh para petani berupa pestisida dan juga pupuk, sedangkan penyusutan alat berupa alat-alat yang digunakan untuk budidaya tanaman kakao dari penanaman hingga panen.
Subsistem pengolahan
Proses pengolahan kakao di Indonesia dibagi menjadi 2 bagian yaitu kakao fermentasi dan kakao non-fermentasi. Pengolahan kakao di Indonesia masih banyak yang menggunakan cara tradisional. Hal ini berdampak pada hasil produksi yang kurang maksimal menyebabkan Indonesia dikenal dengan produksi kakao yang sangar rendah.Â
Penyebab Indonesia sebagian menggunakan pengolahan nonfermentasi yaitu penghasil panen biji kakao terbesar di Indonesia berada pada perkebunan rakyat.
 Subsistem pemasaran
Pemasaran kakao banyak melibatkan lembaga-lembaga penunjang, hingga menyebabkan rantai pemasaran kakao cukup tinggi. Proses pemasaran tersebut banyak campur tangan pelaku bisnis. Pelaku bisnis juga disebut sebagai tata niaga, tata niaga yang umum pada kalangan masyarakat yaitu pedagang pengumpul keliling, pengumpul kecamatan, pedagang besar
 pengumpul kabupaten/provinsi, eksportir, dan juga industri pengolahan. Selain dari pelaku bisnis lembaga penunjang juga ikut serta untuk membantu para petani untuk permodalan. Menurut (Baihaqi et al. 2014) dan (Muhajir, 2018)Â
keterlibatan koperasi, baik sekunder maupun primer terdapat di beberapa lokasi seperti Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Terdapat tiga proses pemasaran yang biasa dilakukan oleh para petani, yaitu : (1) petani menjual biji kakao ke pedagang pengumpul lokal, (2) petani menjual biji kakao langsung ke pedagang non lokal, (3) langsung ke pabrik pengolahan.
Proses pemasaran kakao yang memiliki perbedaan atas pemasarannya mengakibatkan perbedaan harga jualnya. Tetapi, penilaian harga biji kakao memiliki kriteria tertentu dan memiliki tingkat yang berbeda-beda. Pada tingkat petani harga jual dari biji kakao memiliki beberapa kriteria penjualan, seperti :Â
(1) kadar air pada biji kakao maksimal 10 persen, (2) jumlah biji pada setiap ons maksimal 115 biji, (3) biji kakao dapat di toleransi dari jumlah biji yang berjamur yaitu 5 persen, (4) biji pipih maksimal empat persen, (5) biji berdebu maksimal dua persen.Â
Para petani mampu memenuhi kebutuhan dari para pedagang yaitu 60% dari permintaan. Meskipun para petani mampu memberikan hasil yang tinggi tetapi dari segi kualitas hasil biji kakao yang dihasilkan tidak memenuhi kriteria penjualan.Â
Biji kakao yang dijual oleh para petani memiliki kadar air melebihi 3-4% dari kriteria yang ditentukan. Dari tingginya kadar air biji kakao yang dijual menyebabkan rendahnya harga yang didapat oleh para petani.
Subsistem jasa penunjang
Lembaga jasa permodalan dan penunjang merupakan lembaga yang memberikan sarana finansial yang ditujukan kepada para petani untuk mengelola lahan miliknya dan juga meningkatkan ekonomi keluarganya. Jasa penunjang yang ada untuk membantu para petani perkebunan kakao yaitu lembaga riset dan pengembanganÂ
(PPTK, perguruan tinggi, swasta), lembaga keungan (bank), lembaga sosial (kelompok tani), lembaga pemerintahan (Dinas Pertanian), dan juga lembaga asosiasi lainnya (asosiai kakao Indonesia, asosiasi petani kakao Indonesia, koperasi kakao Indonesia.
PROSPEK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO
Pengembangan agribisnis kakao di Indonesia didukung oleh subsistem utama yaitu budidaya kakao atau usaha perkebunan kakao yang pelakunya petani. Budidaya kakao di Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini karena areal perkebunan kakao telah mengalami perluasan yang begitu pesat yang umumnya dilakukan oleh petani, sehingga perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia.Â
Areal perkebunan kakao juga telah ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra industri utama yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur,Â
Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Irian Jaya. Disamping itu, kebun yang saat ini sudah ada masih berpeluang untuk ditingkatkan produktivitasnya karena produktivitas rata-rata masih kurang dari separuh potensinya. Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan wilayah sentra industri ini dapat memberikan hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia dalam lingkup dunia. Disisi lain, prospek pasar agribisnis kakao juga terus mengalami peningkatan. Hal iniÂ
ditunjukkan pada harga kakao dunia yang terus merambat naik setiap tahunnya. Adanya keseimbangan produksi dan konsumsi kakao dunia tersebut diperkirakan akan terus berlanjut. Selain itu, situasi perdagangan kakao dunia beberapa tahun terakhir mengalami defisit yang berdampak pada harga kakao dunia yang relatif stabil. Sehingga menjadi suatu peluang yang sangat menguntungkan bagi Indonesia, karena animo masyarakat untuk mengembangkan perkebunan kakaoÂ
sangat besar ditambah lahan yang masih tersedia. Pengembangan agribisnis kakao juga diimbangi dengan adanya pengembangan industri pengolahan hasil. Hal ini ditunjukkan pada upaya perumusan kebijakan oleh pemerintah terkait pengembangan industri pengolahan kakao,Â
dimana produksi kakao dalam bentuk produk olahan memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk biji kakao mentah. Produk olahan tersebut diantaranya telah banyak dibuat sepertiÂ
dalam bentuk makanan dan minuman yaitu permen cokelat, bubuk cokelat, dan lemak cokelat yang tentunya melalui tahapan proses fermentasi. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan yang menggembirakan terhadap prospek agribisnis kakao di Indonesia.
KENDALA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM PERKEBUNAN KAKAO
Sebagian besar banyak penduduk bermata pencarian pokok sebagai petani, khususnya petani kakao. Penghasilan dari usahatani kakao dapat dikatakan mampu mambantu hidup keseharian petani kakao. Terdapat kendala- kendala yang terjadi secara teknis yang ditemukan pada pengembangan kakao diantaranya adalah petani yang mengabaikan cara budidaya dari tanaman kakao secara baik, serangan hama dan penyakit, dan masihÂ
belum banyaknya para petani yang melakukan perawatan kebun secara baik dan benar karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran dari para petani tersebut serta pola tanam yang kurang baik yang banyak dilakukan sehinggaÂ
menjadi kendala dari para petani dalam budidaya kakao. Selain itu juga minimnya pendampingan kepada petani oleh para penyuluh pertanian , keterbatasan modal produksi dan belum optimalnya penggunaan faktor -- faktor produksi.Â
Penggunaan faktor produksi yang dimaksudkan seperti luas lahan, tenaga kerja, dan modal. Modal tersebut dapat berupa pupuk dan obat- obatan.
Tenaga kerja masih merupakan salah satu yang menjadi suatu kendala yang masih mengabaikan cara budidaya dan perawatan kakao yang baik. Penggunaan luas lahan yang  masih belum optimal karena penerapan pola tanam yang kurang baik. Penggunaan pupuk yang tidak sesuai ketepatan dan takaran menyebabkan kakao tidak menghasilkan produksi secara maksimal. Pupuk diberikanÂ
tidak tepat dosis dan tidak tepat waktu. Penggunaan obat-obatan yang tidak sesuai ketepatan juga menyebabkan tanaman kakao banyak terserang oleh hama dan penyakit. Selain itu keterbatasan modal petani dan harga input produksi menjadi kendala dalam budidaya tanaman kakao karena pemberian pupuk dan obat-obatan masih belum efisien dilakukan.
KESIMPULAN
Agribisnis merupakan bisnis yang berbasis usaha pada bidang pertanian dan bidang lainnya yang mendukung baik di sektor hulu dan hilir. Agribisnis merupakan cara pandang dalam segi ekonomi melalui pengolahan budidaya, penyediaan bahan baku, pasca panen, dan proses pengolahan hingga ke tahap pemasaran.Â
Terdapat lima subsistem dalam sistem agribisnis seperti subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa penunjang. Selain itu dalam pengembangan agribisnis juga masih banyak memiliki kendala kendala misal dalam proses budidaya maupun pengolahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arfah, S. Y. C. 2019. Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao Di Sulawesi Tengah. Agroland: Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, 26(2), 179-188.
Ariningsih, E., Purba, H. J., Sinuraya, J. F., Suharyono, S., dan Septanti, K. S. (2019). Kinerja industri kakao di Indonesia.
Augustin, N. P., E. Prasetyo., dan S. I. Santoso. 2022. Analisis Daya Saing dan Trend Ekspor Kakao Indonesia Ke Lima Negara Tujuan Tahun 2010-2019. Jurnal JEPA, 6(2): 442-455.
Mulyono, D. 2017. Harmonisasi Kebijakan Hulu-Hilir dalam Pengembangan Budidaya dan Industri Pengolahan Kakao Nasional. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 7(2): 185-200.
Nurhadi, E., S. I. Hidayat., P. N. Indah., S. Widayanti., dan G. I. Harya. 2019. Keberlanjutan Komoditas Kakao sebagai Produk Unggulan Agroindustri dalam Meningkatkan Kesejahteraan Petani. Jurnal Agriekonomika, 8(1): 52-61.
Saputro, W. A., dan Helbawanti, O. H. 2020. Produktivitas Tanaman Kakao Berdasarkan Umur Di Taman Teknologi Pertanian Nglanggeran. Paradigma Agribisnis, 3(1), 7-15.
Setyono, B., H. Purwaningsih., dan H. Basuki. 2019. Prospek Pengembangan Agribisnis Kakao di Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. Seminar Nasional Manajemen Ekonomi dan Akuntansi (SENMEA) IV Tahun 2019, Fakultas Ekonomi UN PGRI Kediri, 377-383.
Suharyon, S., dan Busra, B. 2020. Potensi, Peluang Dan Kendala Pengembangan Kakao Di Provinsi Jambi: Sebuah Kajian Pustaka. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 4(1), 10-17.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H