Mohon tunggu...
Eliza Yanti
Eliza Yanti Mohon Tunggu... Freelancer - S-1 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Catatan orang biasa!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyalakan Jejak "Pelita" dari Kota Suci, Bid'ahkah?

28 September 2024   02:17 Diperbarui: 28 September 2024   02:17 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semangat juang dan kemenangan yang dihimpun dari rasa kecintaan kepada Nabi Muhammad membuat penguasa haramain (dua tanah suci, Makkah dan Madinah) itu mengeluarkan intruksi agar peringatan Maulid Nabi perlu dirayakan oleh umat Islam seluruh dunia setiap tahunnya. Gagasan itu diamini oleh khalifah Baghdad yakni An- Nashir dengan mengeluarkan imbauan kepada seluruh Jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-maasing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 H (1184 M) tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi yang diisi dengan kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam. 

Seiring perkembangan perayaan Maulid hingga menjadi tradisi yang merekah di Masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara substansi peringatan Maulid merupakan ekspresi kegembiraan dan penghormatan seluruh umat di dunia kepada Nabi Muhammad saw. Dan sampai sekarang peringatan Maulid dijadikan sebagai sarana dakwah kepada masyarakat agar mencintai Rasulullah Saw., dari sejarah-sejarahnya, meneladani perilakunya serta menghidupkan sunahnya. Sebagian Masyarakat merayakan Maulid dengan bersedekah dan membagi-bagikan makanan, Segala macam kegiatan yang dilakukan masyarakat hanya sebagai wujud cinta dan rasa syukur atas kelahiran baginda Nabi Saw.

  • Mengenal Istilah Bid'ah yang Dipersepsikan terhadap Perayaan Maulid

Menilik secara lughah (bahasa), bid'ah diartikan sebagai segala sesuatu yang baru. Sedangkan menurut istilah syari'ah, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H), adalah segala sesuatu yang baru yang tidak memiliki dasar dari syari'ah yang melandasinya. Merangkum dua pengertian tersebut, segala sesuatu yang baru namun memiliki dasar dari syari'ah maka tidak termasuk bid'ah menurut syari'ah, meskipun ia adalah bid'ah secara bahasa.

Merujuk penjelasan Syekh Abu al-Fadhal at-Thubani, bid'ah ialah mengadakan perkara yang baru yang tidak memiliki landasan dalil dari al-Qur'an dan al-Hadits, baik secara eksplisit maupun implisit, secara tekstual atau kontekstual. Baik perkara tersebut berwujud penambahan, pengurangan, mengubah tata cara, mengalihkan sesuatu dari waktunya, mengkhususkan sesuatu yang berlaku mutlak, atau memutlakkan sesuatu yang berlaku khusus. Dan baik itu dilakukan untuk tujuan pahala atau karena takut siksa. Contohnya, mengadakan shalat baru dengan waktu khsusus seperti shalat ragha'ib, mengurangi sebagian dari shalat fardhu, dan membuatkan makanan untuk orang yang sudah meninggal (sesajen) setelah kematiannya, atau untuk ruh mayit pada hari tertentu.

Berikut salah satu hadits Rasulullah yang menjadi dasar utama tentang kesesatan perbuatan bid'ah, yang artinya;

"Barang siapa mengadakan dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan termasuk dari padanya maka hal itu ditolak." (HR. Al-Bukhari Hadits no. 2697, dan Muslim Hadits no. 1718)

Namun, apakah yang dimaksud dengan bid'ah oleh Rasulullah Saw. dalam Hadits di atas adalah bid'ah menurut bahasa, yang bermakna segala sesuatu yang baru secara mutlak? Jika yang dimaksud demikian, maka seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia tanpa kecuali telah melakukan kesesatan yang tidak mungkin terelakkan. Sebab, kehidupan kita bergelimang perbuatan bid'ah. Perilaku bid'ah tersebut meliputi bangunan rumah beserta perabotan yang kita miliki, mode pakaian yang kita kenakan, metode kegiatan keilmuan yang kita terapkan saat ini, bahkan jalinan aktivitas sosial dalam bermasyarakat, semuanya termasuk bid'ah. Bahkan, perilaku tersebut telah diwarisi sejak dahulu oleh generasi masa sahabat Nabi.

Dengan demikian, sebagian para ulama di antaranya Imam as-Syafi'i, Imam Ibnu al-Atsir, Imam Ibnu Izzuddin Ibu Abdissalam, Imam an-Nawawi, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam as-Suyuthi, Imam Abdullah al-Ghumari dan Sayyid Muhammad al-Maliki mengklasifikasikan bid'ah (adanya pembagian), yakni bid'ah hasanah (bid'ah yang baik), dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang buruk dan sesat).

Mungutip perkataan Imam Asy-Syafi'I Ra. sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi. "Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara yang diadakan bertentangan dengan al-Qur'an, Hadits, Atsar (fatwa sahabat), atau Ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Kedua, perkara baik yang diadakan tidak bertentangan dengan salah satu dari empat hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela.

Sehingga baik kelompok yang menolak pembagian bid'ah dan kelompok yang membaginya, "mestinya" adalah sama-sama benar. Sebab, yang menolak pembagian bid'ah memakai istilah syari'ah, sementara yang membagi bid'ah menggunakan pengertian secara bahasa.

  • Keistimewaan Hari Senin Bagi Rasulullah Saw.

Nabi Muhammad ternyata begitu mengkhususkan hari kelahiran beliau. Karena Ketika ditanya tentang puasa hari Senin, beliau bersabda yang artinya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun