Mohon tunggu...
Elizabeth Holena
Elizabeth Holena Mohon Tunggu... Administrasi - saya adalah mahasiswi Mercubuana

saya adalah mahasiswi Mercubuana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Iman Kristen terhadap Politik

6 Juni 2021   20:33 Diperbarui: 6 Juni 2021   20:55 21104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkatan politik muncul dengan tegas dalam Yeremia(29:7): And seek the peace of the city … and pray to the Lord for it for in its peace you will have peace. (Holy Bibel: Gideon International, 1980). Mencari atau mengupayakan kesejahteraan kota (politik), jelas merupakan amanat Alkitab pada umat Tuhan. Dengan demikian, penataan politik tidak bisa dilepaskan dari urusan Tuhan di segala tempat, ruang dan waktu.

Amanat atau perintah Alkitab untuk berpolitik bagi umat di dalam kitab Yeremia itu, tidak serta merta diikuti dengan suatu bentuk atau sistem, apalagi yang menyangkut prosedur dan mekanisme penataan politik yang detail. Pertanyaan penting muncul: Apakah Alkitab memberi konsep kosong atau memberi keleluasaan kepada umat terutama para pemimpinnya?

Tampaknya, jawaban yang ‘imaniah’ adalah: keleluasaan. Alkitab tidak memberikan suatu paku mati, konsep baku dan menyeluruh menyangkut upaya perealisasian dari politik itu. Formula politik itu tidak menjadi urusan Alkitab, tetapi menjadi suatu keharusan yang dirumuskan umat Tuhan. Alkitab hanya memberikan suatu konsepsi yang sangat fundamental: to seek peace (mengupayakan kesejahteraan politik). Kepada umat Tuhan, Alkitab memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk merumuskan suatu formula politik, baik itu menyangkut dasar dan sistem politik, bentuk, prosedur dan mekanisme pemerintahan. Alkitab hanya memberi satu tekanan dan kepastian: kesejahteraan.

  • Realitas dan Pemaknaan Teokrasi
  • Regnum Sacerdotale, Sacerdotal Kingdom

Berasal dari Allah

Berangkat dari keyakinan teokratis, dengan Yahwe yang perkasa, Israel kemudian Yahudi mengembangkan doktrin messianis: kejayaan bangsa dengan datangnya pemimpin nan digdaya untuk menaklukkan semua orang dan memerintah atas seluruh dunia. Namun, pada akhirnya, Israel sebagai entitas agama dan politik, patah terkulai, dilanda kemunduran dan kehancuran.

Kelahiran Yesus (yang dimaknai sebagai awal kehadiran gereja) memasuki era yang sangat berbeda. Gereja tidak hanya bergumul dengan pemikiran dan perumusan politik teokrasinya, tetapi hidup di dalam dan dan berhadapan realitas politik yang sama sekali tidak mengenal Allah.

Para pengikut Yesus, yang hidup dan menjadi bagian dari politik negaranya, menuntut pemahaman terutama menyangkut loyalitas. Kepada siapa loyalitas tertinggi ditaruh dan dipertaruhkan: kepada raja atau kepada Allah.

Berhadapan dengan realitas yang demikian, teologia politik dirumuskan Yohanes bin Zebedeus, manakala kekaisaran imperium Romawi di tangan raja Dominiatus. Persekusi besar-besaran terhadap seluruh pengikut Kristus diperintahkan di seluruh imperium Romawi itu. Terhadap realitas itu kitab Wahyu memberi makna teologis menyangkut sifat dan hakikat kekuasaan yang kuat, sadis dan kejam. Namun semua itu bukanlah akhir, bukanlah bentuk final dari segala-galanya. Kuasa Allah ada di ujung, yang mengatasi dan mengakhiri semua itu. Karenanya, inti teologia politik kitab Wahyu adalah: orang Kristen sama sekali tidak boleh tunduk menyembah raja atau ilah manapun, selain Tuhan.

Paulus memberikan panduan teologis berupa pemahaman yang sangat positif mengenai pemerintah. Pemaknaan secara teologis dengan muatan teokrasi diberikan: ‘… sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yangada ditetapkan oleh Allah’ (Roma 13: 1b)’karena pemerintah adalah hamba Allah…’(13:4a). Dalam garis pemikiran itulah kepada tiap orang diarahkannya untuk ‘takluk’dengan batasan yangjelas: ‘…barangsiapa yang melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah…’(Roma 13:2).

  • Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen

Orang kristen harus menghormati kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah. Bagaimana seharusnya orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi negara yang mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan keadilan kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan.

Respon yang benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap kita terhadap berbagai gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang kristen taat kepada pemerintah, sesuai dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah. Tentunya pmerintah harus mempertanggungjawabkannya kepada pemberi kekuasaan yaitu Allah sendiri (ayat 1).Jika orang kristen tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang kristen harus mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah (ayat 1).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun