Peringatan Kemerdekaan UNPAR terdiri dari 3 rangkaian acara yang terdiri dari Seminar Pusat Studi Pancasila UNPAR (PSP) pada tanggal 7 Agustus 2023, Bincang Seni pada tanggal 16 Agustus 2023, dan yang terakhir Peringatan Detik-Detik Proklamasi di UNPAR pada tanggal 17 Agustus 2023.
Awal bulan Agustus dimeriahkan dengan Seminar Kebangsaan yang berjudul "Kemerdekaan, Seni, dan Kebangsaan: Seminar Kebangsaan IKN" pada tanggal 7 Agustus 2023. Seminar ini dihadiri dengan narasumber yang luar biasa bertalenta yaitu I Nyoman Nuarta, yaitu pematung Indonesia yang paling dikenal melalui mahakaryanya Patung Garuda Wisnu Kencana (Badung, Bali), Patung Fatmawati Soekarno, dan banyak lagi.Â
Seminar ini membahas mengenai pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Guru Besar UNPAR Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto menekankan betapa pentingnya seni sebagai sarana untuk merumuskan identitas bangsa di tengah tantangan yang bangsa ini hadapi. Dengan pembangunan IKN, dapat diwujudkan pula penyatuan teknologi dan lingkungan dalam satu keselarasan yang dinamis untuk mengatasi tantangan ini.Â
Â
Rangkaian acara yang kedua yaitu Bincang Seni sesuai dengan judulnya berbeda dengan seminar, acara ini merupakan acara bincang-bincang santai dengan seniman-seniman yang karyanya ditampilkan di Museum PPAG Lantai 1 UNPAR. Atmosfer yang dibawakan mulai dari MC, moderator, serta para seniman selaku narasumber sangatlah ramah dan bersahabat.
Â
Bincang Seni diawali dengan pembukaan yang disampaikan oleh Mardohar B. B. Simanjuntak kepada Narasumber Nandanggawe dengan pertanyaan mendasar tentang apa itu seni, konsep seni yang digunakan, serta bagaimana perjalanan para seniman menuju seni rupa.
Â
Nandanggawe memberikan pesan pada para audience bahwa hal yang paling penting dari suatu pertemuan adalah menemukan teman baru. Maka dari itu, beliau memanggil kami para audience-nya dengan sebutan "teman". Menurut Nandanggawe, seni adalah sebuah fiksi dan ruang kemerdekaan adalah ruang seni. Seni adalah fiksi yang dapat menuangkan sebuah imajinasi. Secara pribadi, Nandanggawe menolak pernyataan bahwa seni itu berfungsi untuk memindahkan realitas karena seni harus mampu mewujudkan sesuatu yang lebih dari itu. Arti seni sesungguhnya bagi Nandanggawe adalah seni sebagai fiksi artinya mencari hal-hal yang sublim.
Â
Banyak karya seni lahir dari peristiwa besar misalnya lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro. Seni Nandanggawe terinspirasi berbagai peristiwa seperti Kepindahan keluarga dari Sumedang ke Jogja dari keluarga Angkatan Udara dan Angkatan Darat karena konflik di tahun-tahun 1965-an yang hingga sekarang masih membekas (tragedi lubang buaya). Peristiwa lainnya yang Nandanggawe angkat menjadi karya seni adalah peristiwa pandemi. Menurut beliau, pandemi Covid-19 adalah peringatan atau teguran di mana semua orang seperti 'disuruh pulang'. Pandemi yang berlangsung selama 2 tahun adalah peristiwa horor di mana orang-orang meninggal. Nandanggawe merasa seperti tamu ketika beliau harus berada di Bandung saat pandemi, seperti orang asing di rumahnya sendiri karena Nandanggawe adalah orang Bandung yang besar di Jogja.
Â
Seniman selanjutnya yaitu Erika Ernawan menjawab pertanyaan moderator dengan pertanyaan dasar yaitu "bagaimana kita melihat situasi tentang objek?". Bagi Erika, hal yang paling menarik dari seni adalah prosesnya. Beliau juga berpendapat ketika kita tidak memiliki pengalaman atau pengetahuan untuk menilai sesuatu yang belum kita ketahui sebelumnya, maka penilaian kita dapat menjadi kurang tepat sasaran. Maka dapat dibentuknya kategori-kategori contohnya karya oleh seniman wanita. Penting bagi seniman untuk dapat mentransfer pengalamannya sendiri kepada audience untuk audience refleksikan pada dirinya sendiri. Seperti bagaimana karya seni tentang wanita dapat juga dimengerti oleh pria atau wanita-wanita yang berbeda pengalaman.
Â
Seniman yang ketiga adalah Setiyono Wibowo. Beliau belajar seni rupa dari awal mulai dari menggambar. Pada akhirnya beliau menemukan ruang dalam karya seni rupa yang dapat menjadi kelegaan.
Selanjutnya, seniman yang keempat yang bernama Lena Guslina merupakan lulusan seni tari. Konsep karya yang Lena lakukan berdasarkan segala sesuatu yang dilakukan di tari dan yang sekarang disentuh di wilayah rupa. Beliau selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, membuat yang berbeda dengan segala keterbatasan, mencoba mengenali diri sendiri dengan berkarya. Lena mengeksplorasi seni rupa sebagai bentuk meditasi (meditatif) mulai dari menari lalu eksplor -- menari dengan atau di berbagai medium. Di media kanvas, beliau merasa seperti menari di atas kanvas.
Â
Yang terakhir, Diyanto yang memulai perjalanan seni rupa-nya dari tradisi kampung halaman. Di kampung Diyanto sering diadakan perayaan ada seni sastra, pertunjukan, rupa, dan lain-lain. Tradisi ini dapat terus berlanjut karena disengaja oleh pihak kolonial sebagai penghargaan bagi para petani. Tradisi di kampung ini lah yang membentuk Diyanto. Saat Diyanto pergi ke Bandung, beliau belum terbayang sama sekali untuk masuk seni rupa.
Menurut Diyanto, berkesenian itu adalah upaya-upaya untuk selalu merumuskan metafora dalam hidup. Seni membawa tujuan tertentu seperti relasi atau visi. Beliau menambahkan bahwa upaya untuk selalu berusaha merumuskan itu juga ikut meruntuhkan berbagai keyakinan yang ada sebelumnya. Kesimpulannya, apa yang kita tekuni harus juga ditambah dengan sikap atau keputusan untuk berpihak pada persoalan atau pihak tertentu. Ambiguity yang Diyanto rasakan adalah suatu peristiwa untuk menemukan proses pematangan metafora dengan membangun - menghancurkan - membangun - menghancurkan.Â
Â
Andreas Doweng Bolo menjelaskan di penghujung acara tentang bagaimana pameran ini dapat terjadi. Beliau bercerita bahwa pameran ini terpikirkan bersama Diyanto. Tema dari pameran ini adalah Kemerdekaan, Seni, Kebangsaan. Kemerdekaan sebagai sebuah peristiwa. Bagi seorang anak kemerdekaan adalah saat ia dapat beli permen dan bagi mahasiswa kemerdekaan adalah saat mahasiwa bebas dari tugas. Seni sebagai kopula atau "sama dengan" Kemerdekaan, Seni, Kebangsaan artinya adalah kemerdekaan sama dengan kebangsaan. Saat kita mengerti apa itu kemerdekaan, maka kita juga mengerti apa itu kebangsaan begitupun sebaliknya. Tujuan dari pameran ini adalah untuk memberi ruang bagi seni untuk menjadi kopula untuk kemerdekaan dan kebangsaan.
Seorang teman baru yang bernama Fani yang mengatakan bahwa ia senang dapat melihat acara seni seperti ini di lingkungan UNPAR dari karya seniman-seniman yang hebat. Fani berharap lebih banyak lagi acara yang melibatkan seniman di UNPAR agar mahasiswa dapat turut menikmati karya seni mereka.
Tibalah kita di penghujung rangkaian Peringatan Kemerdekaan UNPAR dengan Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi di UNPAR tanggal 17 Agustus untuk memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-78 tahun. Acara ini diikuti Rektor, Wakil Rektor, Dosen, Pegawai, dan Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan. Para mahasiswa mengikuti prosesi upacara bendera merah putih dengan bangga menggunakan jaket almamater UNPAR. Prof. Tri Basuki Joewono, Ph.D. selaku rektor UNPAR Masa Bakti 2023-2027 menjadi pembina upacara pada perayaan HUT RI 17 Agustus 2023 kemarin. Upacara tersebut juga dimeriahkan pembacaan puisi oleh mahasiswa, pemberian penghargaan pada mahasiswi berprestasi, dan para mahasiswa juga menyanyikan Lagu 17 Agustus Hari Merdeka dengan mengibarkan bendera merah putih kecil dari barisan. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI