Mohon tunggu...
Eliyani
Eliyani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

\r\nhttp://elysta-simplewish.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berlari atau Mati

28 Juli 2016   13:26 Diperbarui: 28 Juli 2016   13:32 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilihannya hanya dua. Berlari atau mati.
Sebuah pesan singkat diterimanya sepagi ini. 

“Apa tidak ada pilihan lain?” Anjani balik bertanya

Semua penghuni rumah akan mati.
Tubuhnya bergetar hebat. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Aliran
darah ditubuhnya berjalan lebih cepat dari biasanya. Dengan nafas tersengal,
Anjani menyusuri sebuah lorong panjang.
Pertengahan malam, Anjani menjejakkan kakinya disebuah rumah.

“Tertawalah bersamaku sampai pagi, Gendis. “ Pinta Anjani, kepada
pemilik rumah.

Dua jam berlalu. Tok. Tok. Tok. Tok. Suara pintu diketuk dari luar. 

Wajah yang tak asing muncul dari balik pintu. Darah Anjani berdesir.
Dersik seolah mencibir ketika dia berdiri pada de javu. Anjani berusaha
mengingat wajah itu, tangan yang kini menjabat tangannya. Ah, sudahlah. Tak
terlalu penting apakah dia pernah mengenal lelaki itu sebelumnya. Anjani
tersenyum  sebagai seseorang yang baru dikenal. Namun terperangah ketika
banyak kunang berputar dimatanya. Anjani berusaha menyembunyikan pancarona
di wajahnya. Sementara dari mulut lelaki itu keluar kelinci dan kucing yang
sangat manis. Mengibas­ngibaskan ekornya seperti memberi isyarat ingin dibelai
tuannya.

“Dia sebenarnya siapa, Gendis? Dan aku berada dimana sekarang? Kenapa
semua tampak aneh? Ini seperti dongeng.Tidak! Jauhkan kucing dan kelinci itu
dariku !” Kehadiran lelaki itu makin membuatnya bingung.

“Kelinci ini tidak bisa berlari, Anjani. Dan kucing itu hampir mati.”
“Kamu ngomong apa sih, Gendis? Aku makin bingung. Aku tidak ada
urusan dengan kelinci dan kucing itu, biarkan Tuhan saja yang menentukan
ajalnya.” Tak disadari kalimat itu keluar dari mulut Anjani.
“Tunggu!..Apa katamu? berlari..? mati..?” Kalimat itu terngiang kembali.
Rupanya tempat itu belum memberikannya perlindungan dari ketakutannya tadi
pagi.

Anjani kemudian memasuki bangunan berasitektur neolitikum. Terdapat
foto­foto candramawa artistik tentang sejarah suatu peristiwa. Anjani seperti
terlempar ke peradaban silam. Tempatnya berdiri seperti kota hilang tanpa
penghuni, dan Anjani merasa tubuhnya terpaku disitu. Menyaksikan beberapa
orang memainkan peran. Lama Anjani berada ditengah mereka. Menikmati
jamuan hangat dari sajak­sajak yang hilang. Sajak yang berkisah tentang Kota
Tua, Dewa Hermes,  Drupadi, Rabi’ah, Ratu restu, mangata, rawa, atau pohon
gandaria. Sejenak Anjani terisak mendapati idrak. Sajak mengenalkannya pada
sebuah peta tak terbatas, sebuah serendipiti yang tak ia temui pada kelakar­-kelakar
di keramaian. Bahkan menyeretnya makin jauh menyusuri jalanan lengang, masuk
kedalam keheningan? Keinginan? Tapi keinginan untuk apa? Anjani tak
menginginkan apapun bahkan pertemuan dengan keinginan itu sendiri. Anjani
sudah membuangnya pada secarik kertas dalam botol lalu melemparkannya ke
lautan. Jauh sebelum kata­kata terpental dari alat digital. Sangat purba sekali,
bukan?
“Aku menemukan botol ini.” Tiba­tiba sebuah suara mengagetkannya.
Bagaimana dia tahu apa yang kupikirkan? Anjani membathin. Otaknya
seperti dimasuki microchip pengintai. Anjani melengos. Berharap orang itu tak
membaca pikirannya untuk kali kedua.
“Mudah saja. Aku pernah mengalaminya. Melakukan hal konyol
sepertimu. Berpesan pada angin, meratap dalam hujan,  berharap pada lautan..”

Lagi­lagi orang itu membaca pikirannya. Tapi Anjani enggan berbagi. Dia hanya
percaya pada puisi dan sajak. Mereka lebih bijak mengumbar kejujuran.

“Kita hanya perlu menerima, menjalaninya secara wajar dari banyak
pertanyaan. Yang terlihat di permukaan, bukanlah jawaban sesungguhnya. Hati
seluas samudera, dan pikiran adalah belantara dengan berbagai spesiesnya. Terlalu
rumit dan dalam untuk mendapat rumusan yang benar­benar pasti.”

Anjani sepakat dengan orang yang duduk disampingnya.
“Kadang kita harus memilih berlari atau mati..” Dia meneruskan. Anjani tersentak. Ribuan huruf terbang diudara. Membentuk sekumpulan
hewan kecil menyerupai lebah yang siap menyengat. Menyuruhnya menuju
tempat yang lebih ramai. Kota itu terlalu senyap untuk menahannya lebih lama,
meskipun syarat dengan norma dan budaya. Ah, padahal tempat itu begitu eksotis
dan romantis. Baiklah! Pasti ada tempat yang lebih realistis dari ini. 

Setelah berlari beberapa kilometer, tibalah Anjani di sebuah pasar
tradisional.
“Kau ingin mencobanya?” Tanya penjual itu
“Oh, tidak! Terimakasih.” Asam lambungnya naik ke dada.
“Tak ada yang benar­benar bersih. Aku menjualnya dengan harga yang
pantas. Kau bisa menjualnya kembali dengan harga tinggi. Ini sengaja
kudatangkan dari peternakan kambing hitam yang tersebar di daerah.
Ada yang tak lazim. Para pedagang itu menjual otak, jantung, paru, ginjal,
usus, bibir, telinga, mata, dan kepala. Bukan kepala sapi atau kambing seperti
yang ia duga sebelumnya. Sebuah kepala dengan lidah bercabang menyerupai
lidah ular, bertelinga panjang, bertanduk, dan menyeringai memperlihatkan gigi-
gigi taringnya. Pemandangan ini lebih menyeramkan dari suasana pasar
yang pernah didengarnya. Yang anehnya lagi, tidak hanya satu atau dua lapak saja yang
menjajakan dagangan aneh itu. Bau amis dari darah dan anggota tubuh ­apapun itu namanya­ yang terbakar begitu menyeruak. Anjani butuh udara segar. Jika
tidak segera berlari, lama­lama bisa mati berdiri melihat keanehan ini. 

Anjani mengambil langkah cepat diantara parkiran kendaraan dan gedung
bertingkat. Sebuah cafe, menjadi tumpuan kaki berikutnya. Seorang wanita
berpakaian sederhana penuh curiga memandang keseluruh sudut ruangan. Seorang
pria berpenampilan necis menyapanya.

“Selamat ulang tahun pernikahan, istriku. Maaf, aku tidak bisa pulang
malam ini. Aku harus menyelesaikan pekerjaan malam ini juga dengan rekan
bisnisku.” Pria itu memberikan sebuah kado mungil yang disambut masam wajah
istrinya.

Perang mulut terjadi. Si wanitapun berlalu. Suasana cafe mulai hingar
bingar. Perempuan genit berpakaian minim membawa gelas bertangkai ramping.
Aroma khamar dan asap rokok memenuhi ruangan. Sebuah perjanjian kontrak
kerja ditandatangani. Perempuan itu tak berani menolak ketika diminta menjadi
‘saksi pelengkap’, toh mereka mendapat ‘uang dengar’. Mungkin tak ada pilihan
lain. Seringkali keadaan menyudutkan mereka menjadi perempuan simpanan,
meskipun mereka bisa saja berlari dari pekerjaan itu atau malah mati karena
hedonisme kadung menjadi gaya hidup. Mata penuh hasrat menatap liar
kearahnya. Dia tak ingin menjadi tumbal berikutnya sebagai hewan peliharaan
pria tajir hidung belang.

Jam dua tepat. Tapi matahari masih terasa dekat. Para pekerja sudah
memasuki kantornya masing­masing. Entah ada kekuatan apa, langkah kakinya
mengarah ke tempat­tempat yang asing dan aneh. Sementara mata dan telinganya
dipaksa menangkap apapun yang ada didalamya. Perbedaan yang tipis antara
mimpi dan kenyataan.

Tak tok. Tak tok. Derap sepatu memenuhi ruangan. Suara gamelan dan
gong yang ditabuh mengiringi pupuh yang melantun. Ruangan luas yag ber Ac itu
mengalirkan energi metafisika. Anjani merasa terperangkap dalam tungku yang
panas. Suhu tubuhnya meningkat drastis. Suara gamelan terdengar seperti tong kosong yang ditabuh berulang. Suara tawa memenuhi ruangan yang berdinding
cermin. Cermin besar yang retak seribu, memantulkan sosok­sosok berpakaian
chic style bercutting unik. Sepatu mereka mengkilat karena tak pernah menginjak
jalanan becek dan rusak. Cermin kesatu membingkai wajah­wajah tebal, setebal
telapak tangan pemecah batu yang kapalan agar dapurnya tetap ngebul. Cermin
kedua, membingkai wajah tanpa pembuluh darah. Dirambutnya ada senja nelayan.
Merah berbaur jingga. Dipipinya ada rona kulit anak jalanan. Dialisnya ada garis
tegas pematang sawah petani yang sawahnya tergusur untuk pembangunan jalan
dan pabrik.

Jarum jam berputar terbalik. Tak ada beban dengan waktu yang terbuang
percuma. Toh anak­anakpun sudah mereka titipkan di bar dan diskotik. Tibalah
saatnya jam makan malam. Pesta dimulai. Di meja sudah siap hidangan penggema
keanehan. Bagaimana tidak aneh, mirip seorang kanibal, salah satu diantara
mereka mengerat tangannya terlebih dahulu. Konon, itu adalah tangan yang
pernah dijilat ketika ingin naik jabatan. Selanjutnya di meja tengah, burung
berbulu legam berebut mematuki isi perut, bersaing dengan wanita berliontin
berlian yang menelan jantung bulat­bulat. Konon, jantung itu pernah berhenti
berdetak ketika istrinya memergoki si mpunya jantung tengah berada disebuah
hotel dengan wanita lain untuk membicarakan suatu proyek. Di sisi meja yang
lain, wanita bertas seharga lima rumah di desa, tengah menyeruput otak yang
mengerucut. Katanya kepala itu pernah di tembus peluru anak gadisnya sendiri,
karena membela diri ketika hendak digagahi.
Semua yang ada diruangan menggila dengan burung­burung berparuh
tajam. Melahap sajian tanpa merasa berdosa. Rasa mual memuncak sampai ubun-
ubun. Kepalanya seperti ditusuk ratusan jarum. Beberapa wanita mendekatinya,
menggulirkan pandangan kearahnya, seolah sukarela berbagi santapan tubuh
saudaranya sendiri. Anjani merangsek mundur. Tidak mungkin. Pikirnya. Anjani
harus segera pergi. Berlari atau mati. Namun tubuhnya seperti diikat kawat
berduri. Dengan sekuat tenaga, Anjani merapal mantra. Membaca do’a­do’a
andalannya. Anjani membuka matanya.

 

Disampingnya seorang pria mengenakan baju putih tersenyum padanya.
Beberapa alat medis masih menyangkut di kepalanya. Dua orang berbaju taqwa
dan berkalung sorban menggamit tasbih ditangannya. Semua tampak lega. Tidak
seperti Anjani yang kebingungan.

“Selamat datang kembali, Anjani.” Sambut Dr. Hendra. Kamu mengalami
gejala phobia akut, dan berhalusinasi hebat.

“Benarkah?” Anjani tak yakin. Yang dia ingat, dia dipaksa temannya
untuk mengikuti pengajian dirumah seorang kenalan. Beberapa kali dia
menghindar karena dirasa ada yang ganjil hingga dia mendapat teror melalui
telefon dan pesan singkat ‘Berlari atau mati’. Beberapa orang menculiknya ke
sebuah tempat jauh dari pemukiman. Anjani berontak, dan berhasil meloloskan
diri. Lalu tak sadarkan diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun