Mohon tunggu...
Eliyani
Eliyani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

\r\nhttp://elysta-simplewish.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buah Tangan dari Rhein

31 Januari 2016   12:35 Diperbarui: 31 Januari 2016   14:31 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata orang aku terlalu baik, sehingga sering dimanfaatkan. Sebenarnya aku bukanlah seorang pengecut . buktinya beberapa kali ada perlombaan kampus aku dengan percaya diri berani menampilkan karya terbaik. Aku juga bukan pecundang, terbukti beberapa kali orang menantang aku berani bersaing. Dan aku juga bukan pengemis asmara, yaa.. setidaknya aku tidak pernah ditolak cinta, karena memang aku tak pernah jatuh cinta. Kamupun mengenalku demikian bukan? Seseorang yang anti pacaran, yang tidak pernah tertarik pada teman sekampus atau bahkan belum pernah kelihatan jalan bareng dengan siapapun. Kata Tri aku ini orangnya tulus, makanya harus bergaul dengan orang yang tulus juga. Kamupun pernah bilang kalau orang tulus sering dikibulin orang.

“Mana mungkin menipu orang yang mempercayai kita? Itu jahat namanya”

Lalu Tri bilang, “Yang tidak mungkin itu.., menipu orang yang tidak mempercayai kita. Terlepas dari tega atau tidak tega..”
Tri mengajarkanku sedikit trik agar tidak gampang dimanfaatkan orang. Atau setidaknya bisa membedakan mana orang yang tulus atau pura-pura tulus.

“Ah sudahlah. Kemampuanku di bidang itu memang minim. Kamu memang jago bersosialisasi. Aku tak bisa belajar banyak. Inilah aku. Biarkan saja aku menjadi ikan tawar dilautan kalau aku mampu.” Waktu itu Ken sedikit berfilsafat.

“Kamu akan mudah terpengaruh kalau begitu, Ken. Kamu harus sedikit kejam menjaga diri kamu sendiri agar mereka kapok jika sengaja memanfaatkanmu.” Tri banyak memberi masukan.

Tri dan Ken menjalin persahabatan. Seringkali Ken yang terlalu lugu dan polos merasa terhibur oleh Tri. Tri yang termasuk populer di kampusnya, dikenal sebagai seorang yang tajir, modis, dan ramah. Tri juga lahir dari keluarga berada. Berbeda dengan Ken, anak lugu yang kurang pergaulan, teman wanita hanya segelintir saja. Itupun karena dikenalkan oleh Tri.

Banyak yang membedakan diantara keduanya. Ken berasal dari keluarga sederhana, ayahnya seorang guru Sekolah Dasar. Ken berhasil masuk kampus tersebut karena beasiswa. Tak jarang teman-teman kampusnya yang banyak meminta pendapat atau masukan dari Ken tentang mata kuliah. namun saking baiknya sehingga Ken tidak berani menolak ketika temannya meminta mengerjakan tugas kuliah dengan Cuma-Cuma.

“Aku tidak enak menolaknya.” Sanggah Ken ketika Tri menegur.

”Memang beda tipis sih antara baik dan bodoh.” Tri geleng-geleng.

“Biarlah Tuhan saja yang menilai, Tri. Aku hanya berusaha berniat membantu. Kalaupun mereka memanfaatkan karena niat baikku, itu urusan mereka.”

Tri yang populer dan Ken yang lugu menjalin persahabatan, semua orang sudah tahu. Banyak yang berpikir kalau Ken hanya menumpang tenar saja. Ada juga yang beranggapan kalau Tri hanya ingin memanfaatkan Ken untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya atau menemaninya ke Mall. Padahal lebih dari itu. Tri dan Ken pandai menyembunyikan kisah yang sebenarnya terjadi.

Kisah ini berawal dari pertemanan mereka, hubungan mutualisme mungkin tepatnya. Seringkali Ken merasa terbantu oleh Tri yang mepunyai kartu debet dan kartu kredit lebih dari satu di dompetnya. Tak jarang Ken sebagai anak kost sering terlambat menerima kiriman uang dari ayahnya di kampung. Keperluan yang kian mendesak untuk biaya semester, uang kost atau uang makan kerap membuat Ken kebingungan. Disaat itulah Tri datang sebagai pahlawan yang membantu keuangannya. Apakah ini sama saja justru Kenlah yang memanfaatkan Tri? Tidak. Ini karena inisiatif Tri sendiri untuk membantu karena melihat kegigihan Ken untuk menyelesaikan studynya.

“Aku sih tidak muluk-muluk, Tri. Aku bisa lulus kuliah saja aku sudah seneng.” Kata Ken datar.
Keinginan yang sederhana pikir Tri. Maka sesederhana itupun sangat disayangkan jika akhirnya tidak bisa terlaksana.

“Kamu masih beruntung Ken, memiliki keluarga yang mendukungmu. Orang tuaku sering bepergian, ken. Mereka mungkin tidak ingat anaknya ini sudah semester berapa sekarang. Kalaupun mereka ada dirumah, mereka terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Pernah kuminta mamah untuk menjadi ibu rumah tangga saja, menyambutku ketika aku pulang kuliah dan mendengar keluh kesahku. Namun mamah menolak, dia selalu ingat dengan kematian kakak perempuanku yang mengidap kanker payudara. Ketika itu keluarga kami sedang menghadapi kesulitan keuangan sehingga tidak bisa mengobati kakak ke luar negeri. Sejak saat itu, mamah merasa sangat kehilangan dan bertekad membangun usaha lagi demi membantu keuangan keluarga kami. Mamah bahkan sering salah memanggil namakudengan sebutan Eka, kakak perempuanku yang terkena kanker itu.” Papar Tri panjang lebar.

“Lalu dimana Dwi, kakak keduamu?” Ken bertanya.

“Dwi sudah meninggal, over dosis.” Tri menjelaskan singkat. Ada pilu dimatanya.

Ken memegang pundak Tri. Rumahnya yang megah, mobil keluaran terbaru, uang yang banyak ternyata tidak bisa membeli kasih sayang yang dirindukan Tri. Ken menjadi iba. Ken akhirnya menerima ajakan Tri ketika memintanya tinggal dirumahnya untuk mengurangi pengeluaran biaya kost. Dan tak jarang Tri lah yang mentraktir Ken makan siang atau membeli keperluan bulanan, bahkan memilihkan baju-baju modis untuk dikenakan oleh Ken. Ken merasa terbantu dan berhutang budi.

Mereka jadi sangat dekat. Ken bisa mengisi hari-hari Tri yang kesepian. Tri adalah seorang anak semata wayang dari pengusaha sibuk. Tak jarang Tri berbulan-bulan ditinggal oleh orang tuanya. Tri haus perhatian. Ken berhasil mengisi kekosongan itu. Ken seorang yang tulus, apa adanya, perhatian dan sabar. Hingga suatu hari benih-benih suka itu tumbuh dihati Tri dan Ken.

Malam itu bulan membulatkan dirinya menjadi purnama. Angin cukup tenang menyapa Ken dan Tri yang sedang bercengkrama di kursi taman belakang rumah. Asisten rumah Tri sudah sedari tadi tertidur. Bulan bulat, sebulat tekad Tri menghalau malunya. Namun angin tak senada dengan degup jantung Tri. Jantungnya berdegup lebih kencang akhir-akhir ini.

“Ken, ..a..a..ku suka kamu.” Bibir Tri terbata. Yang disambut dengan derai tawa Ken. Tri menatapnya serius. Berharap cemas.

“Hahaha..Kamu bercanda..Tri.” Ken mengibaskan tangannya. Sahabatnya itu memang suka bercanda. Entah berapa kali temannya pun dibuat keGRan dengan kalimat itu. Untunglah mereka tidak dendam pada Tri.

“Aku serius..” Tandas Tri.

Kemudian keduanya hening.

Ada kesunyian yang teramat dalam dibalik kelakarnya Tri. Ken dapat menangkapnya. Lagi-lagi Ken kasihan melihat Tri menanggung kesunyian itu sendirian. Ditariknya nafas dalam-dalam. Tri terlalu baik untuk disakiti. Lagipula sebentar lagi dia akan pergi ke luar negeri melanjutkan pasca sarjana di Jerman, lagi-lagi karena beasiswa. Ken tidak mau meninggalkan kesan yang buruk dimata Tri.

“Tapi aku akan pergi jauh, Tri. Mungkin mulai lusa aku tidak bisa menemanimu. Kamu harus bisa lebih kuat dari sekarang. “

“Tak masalah, Ken. Jarak bukan halangan untukku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi yang ku percaya. Orangtuaku mungkin sudah lupa bahwa aku masih ada.”

“Tapi..” Ken ragu melanjutkan kalimatnya. Tri memeluknya erat. Seperti pelukan perpisahan.

“O iya, aku ada seorang teman di Hannover. Namanya Clara. Dia teman SD ku dulu. Orang tuanya di pindah tugaskan kesana, dikota kelahiran ayahnya. jadi dia melanjutkan study disana. Nanti kuhubungi dia agar bisa menampungmu untuk sementara. Tenang saja aku sudah mengenal baik keluarganya. Mereka sangat baik.”

“Bagaimana dengan kamu disini?” Tanya Ken.

“Aku akan menjalankan bisnis mamah, sesuai keinginannya. Mengelola butik dan salon yang dia miliki. Aku sudah mengutarakan keinginanku yang lain, Ken. Tapi..” Tri mengangkat bahunya.

“Aku sangat menyayangi mamah. Aku tak mau dianggap membangkang. Hanya aku sekarang yang menjadi tumpuan harapannya.” Tri menatap gemintang. Terdapat jarak ribuan kilometer retinanya menembus langit malam. Ada yang mulai menggenang di matanya.

“Aku akan meneleponmu sesampainya di Hanover.” Ken menenangkan

“Ku doakan kamu bisa mencapai impianmu, Ken. Doa adalah caraku memelukmu dari jauh..haha.” Tri mengangkat tangannya sebagaimana seorang penyair membacakan karyanya.

*

Di Bandara Hannover, Ken meratakan pandangannya. Diamatinya satu persatu gadis bule yang ada disana. Dibayangkannya seorang gadis berkulit putih blesteran Indonesia Jerman dengan perawakan badan tinggi berambut curly dan berpakaian modis khas eropa. Ketika ken sedang celingak-celinguk, seorang gadis dengan kertas bertuliskan KEN dikalungkan didadanya, tertangkap matanya.

“Hai, i’m Ken from Indonesia.” Ken menyodorkan tangannya meminta bersalaman.

“Oh, hai. Assalamualaikum. I’m Clara.” Gadis berkerudung itu merapatkan tangan didanya tanpa menyentuh tangan Ken.

Anggukan dan senyuman manis menghiasi wajahnya yang bersinar.

“Oh! I’m sorry.” Ken kikuk. Yang dibayangkannya jauh 90 derajat dari perkiraannya. Clara cantik, berperawakan tinggi, berkulit kuning langsat dan memakai kerudung.

Sepanjang jalan, mereka tampak asyik berbincang. Clara, sapaan gadis itu ternyata fasih berbahasa Indonesia. Setiap hari Sabtu, dikeluarganya diwajibkan berdialog menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, dan pada hari minggu diwajibkan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pelengkap dikeluarga mereka.

“Oh, Clara teh mojang Priyangan?” ken berseloroh

“Ya..begitulah. ibuku orang Bandung.” Clara tersipu. Pipinya yang bersih tanpa riasan nampak merona kemerahan.

Ken gemas setengah mati. Ada yang bersemi didadanya. Seindah musim semi tahun ini.

*

Hari berganti minggu, bulan berganti tahun. Clara dan seorang supir keluarga banyak menemani Ken berpetualang ke tempat wisata dan bersejarah di Jerman, seperti Jasmund National Park dengan Victoria Sicht dan konigsstuhlnya, Rugia Island dengan pasir putihnya yang cantik, Holstentor gate yang berdesign gothic, Bradenburg Gate, Herrenhauser garten, kota Ruedesheim dengan perkebunan anggurnya dan Sungai Rhein.

Moment-moment tersebut tak lupa di postingnya di akun instagramnya. Sedikitnya dua minggu sekali Ken memberi kabar pada Tri lewat seluler atau messenger. Suara Ken memberi semangat yang besar untuk kehidupan Tri. Butik dan usaha yang dimiliki Tri kian maju pesat. Tri mulai mengembangkan sayap bisnisnya ke bidang yang lain. Kesibukannya mampu mengalihkan kesunyian hatinya.

Kecuali tiga bulan terakhir, Ken jarang menelefonnya. Akun media sosial Ken pun tidak bercerita banyak. Tri mulai khawatir. Dihubunginya Ken. Tak ada respon balik. Tapi menurut keluarga Baldwind, Ken baik-baik saja. Pernah suatu kali ketika Tri menghubunginya, ken membalas dengan mengirimkan sebuah foto perempuan bule, cantik dan berkerudung, tapi bukan Clara.

Sementara itu, di middle Rhein, mengalir keindahan lain menyaingi hamparan bukit hijau tanaman anggur dan kastil-kastil kuno yang cantik. Keindahan yang mengalir dari bibir Clara meriwayatkan kisahnya menjadi mualaf setelah mempelajari sastra dan kebudayaan Islam. Perjuangannya berada di tengah-tengah keluarga non muslim serta lingkungan minoritas muslim tidak menyurutkan tekadnya memeluk agama Islam. Ken memperhatikan dengan seksama. Clara bertutur dengan santai sambil menikmati ice cream Vanilla kesukaannya. Sedangkan Ken menyeruput secangkir caffucino hangat. Di atas meja terhidang dua sajian schnitzel dan bratwurst.

“Khumairaku.., terimakasih atas semuanya. Nanti kalau kita ke Indonesia, kita kunjungi Tri. Siap atau tidak siap, aku harus menyelesaikannya. Mudah-mudahan semuanya menjadi awal yang baik untuk semuanya. Ah, aku sudah kangen sekali dengan kedua orangtuaku.” Ken menggamit tangan Clara.

*

Siang itu tak nampak sama sekali mendung. Cuaca Kota Kembang memang selalu ramah pada setiap pengunjung. Begitupun penghuninya. Tri menyambut kedatangan dua sahabatnya dengan pelukan hangat. Banyak hal yang diungkapkan selama perjalanan Ken di Jerman hingga menyelesaikan study disana. Hijrahnya Clara yang mendapat pertentangan dari lingkungan, sampai jatuh bangunnya Tri dalam mengelola bisnisnya.

“I miss you..” Lirih Tri pada ken. Ketiganya berpandangan.

“Maafkan aku, Tri.” Ken tak tega melanjutkan kalimatnya. Dia merasa sangat bersalah. Clara meyakinkan dengan senyuman.

“Aku minta maaf, Tri. Waktu mengubah semua hal. Alhamdulillah aku sudah menikah dengan Clara.”

Hati Tri memang sehampa angkasa. Tapi tidak sekuat petir menghantam ulu hatinya. Mendung di kelopak matanya. Tri tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya barusan.

“Ada yang tak mudah diterima oleh pandangan manusia, sekalipun kita sudah merasa paling benar. Bisa saja perasaan dan logika kita merasa paling sehat, paling benar, padahal ada pemilik hati dan logika yang membolak-balikkan hati, memang Maha Benar, Tri.”

“Maksudmu?” Tri merasa dikhianati. Kesetiaannya selama ini dibalas dengan luka.

“Kamu pernah bilang, aku harus sedikit kejam dalam menjaga diri. Clara banyak mengajariku mengenal Tuhan. Apa yang dianjurkanNya, apa yang dilarangNya, apa yang disukaiNya dan apa yang tidak disukaiNya..”

“Tapi aku sangat mencintaimu, Ken. Kita tidak merugikan orang lain ‘kan?”

“Aku ragu, Tri. Perasaanmu bisa saja hanya akumulasi dari pikiran bawah sadarmu yang kamu kira cinta. Pelarian dari kesepian-kesepian dan pencarian perlindungan menemukan orang yang benar-benar mengerti dengan kondisimu. Dan ternyata aku salah dalam memberimu perhatian. Aku ingin kamu sembuh, Tri. Nanti kamu akan kita kenalkan kepada gadis yang cantik dan solehah, namanya Nayla. Akupun ingin mencintai seseorang karena Allah, bukan karena perasaan atau pemikiranku yang bisa saja keliru. Kamu masih ingat kisah kaum sodom di zaman nabi Luth ‘kan? Allah sudah menunjukkan ke-Benaran-Nya.”

“Tapi aku merasa terjebak, ken. Dalam tubuhku sendiri. “

“Semua memang butuh waktu. Sesakit apapun itu. Aku ingin suatu saat kamupun mencintai dan menikahi seorang wanita. Maafkan kita, Tri. Sengaja aku tidak memberimu kabar. Aku butuh waktu untuk menjelaskan semuanya.”

Tri terisak. Pedih. Merasa terasing.

“Ayolah..Tria Lesmana Mahardika, kamu laki-laki, Masbro!! Jangan menangis. Kita peduli sama kamu. Gunakanlah akal sehatmu untuk memikirkan hal yang lebih diridhoi Allah. Kita sama-sama berjuang.” Ken menepuk pundak sahabatnya itu.

Tri bangkit dari duduknya. Dihampirinya meja kerja yang penuh dengan design baju setengah jadi. Diambilnya sebuah gunting. Dengan mata berkaca-kaca, Tri menghampiri keduanya..

Biar Tuhan yang menentukan segalanya.

**

#Eliyani, 31 Januari 2016

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun