Pada umumnya masyarakat Indonesia pemikat kopi hitam dengan citra rasa, namun berbeda dengan kulit warna kopi yang kombinasi antara merah dan kuning.Â
 Beberapa kali saya menjumpai kopi yang awalnya warna hijau, biasanya setelah menguning akan menjadi warna merah. Tetapi kali ini, saya jumpai warna  kulit kopi menjadi kuning setelah siap dipanennya.
Entah ini faktor tanah atau karena ada dampak penyakit,  tahun sebelumnya saya jumpai kopi berawal berbunga, berbuah, hingga siap menguning, setalah kopi tersebut dipanen, sebulan kemudian saya membersihkan kebun ternyata kopi tersebut sudah kering dan tidak  memberi buah.
Apalah daya tangan tak sampai untuk meraih mimpi dengan beberapa hasil komoditi yang kami miliki, karena tahun ini harus gagal panen, baik kemiri, kopi, pinang, vanili, hasil bumi lainnya. Akibat angin Seroja yang merusak hasilnya bumi.
Tetapi perjuangan saya belum berakhir, selama ada covid-19 justru mengantarkan saya untuk bertani dan memulai hal yang baru, kelak akan ada masa yang lebih berat dari apa yang di hadapi dunia sekarang.
Inilah kopiku, alasan aku memilih-nya, telah memberikan sejuta warna dalam hatiku, tatkala aku bersamamu secangkir kopi.
Menikmati secangkir kopi di senja hari, mengantarkan terbenam matahariku. Ada rasa sayang dikala itu, seperti kopi tanpa gula, sayang tanpa cinta, berkorban tanpa mengasihi, mengasihi tanpa berkorban.
secangkir kopi Torabika memberikan aroma cinta yang tulus, karena pahit kopinya terasa, seperti jari tanpa cin-cin.
Pertanian dan perkebunan memberikan dampak positif bagi petani, dimasa pandemi covid-19. Sangat beruntung menjadi petani unggul. Tetap memiliki target penjualan kedepannya, karena pasar menuntut kita menjadi manusia yang antusias.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H