Mohon tunggu...
Elisa DeboraYunita
Elisa DeboraYunita Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswi

NIM: 43223110031| Program Studi: Strata Akuntansi Fakultas: Ekonomi dan Bisnis | Universitas: Mercu Buana | Pendidikan Anti Korupsi dan Etik Umb | Dosen Pengampu : Prof.Dr.Apollo, M.Si., AK.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Quiz 11 - Diskursus Sigmund Freud dan Fenomena Kejahatan Korupsi

23 November 2024   20:15 Diperbarui: 23 November 2024   20:15 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Pribadi 
Gambar Pribadi 

Gambar Pribadi
Gambar Pribadi
Gambar Pribadi
Gambar Pribadi

What

Korupsi merupakan suatu perbuatan yang tidak bermoral, di mana individu atau kelompok menyalahgunakan wewenang atau posisi yang dipercayakan untuk meraih keuntungan pribadi. Tindakan ini sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat luas dan merugikan sistem sosial serta ekonomi. Korupsi bisa terjadi pada berbagai level, baik di sektor publik seperti pemerintahan maupun di sektor privat, dengan berbagai bentuk praktik seperti suap, nepotisme, kolusi, hingga manipulasi proses pengambilan keputusan. Dampak dari fenomena ini jauh lebih besar dari sekadar kerugian materi, karena ia merusak tatanan sosial, memperburuk ketimpangan sosial, dan melemahkan institusi yang seharusnya melayani kepentingan rakyat. Selain itu, korupsi juga menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara, yang pada akhirnya merusak integritas dan stabilitas pemerintahan.

Fenomena korupsi ini sangat relevan dalam konteks Indonesia, mengingat dampaknya yang sangat luas terhadap pembangunan nasional dan kualitas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi setiap elemen masyarakat, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat umum, untuk berperan aktif dalam memerangi korupsi demi menciptakan negara yang lebih adil dan transparan.

Korupsi adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dapat muncul dalam berbagai cara dan dapat menyentuh hampir setiap aspek kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk paling umum dari korupsi termasuk suap, penyelewengan dana publik, dan penyalahgunaan kekuasaan. Suap, sebagai salah satu bentuk paling sering terjadi, melibatkan pemberian atau penerimaan uang, barang, atau keuntungan lain dengan tujuan mempengaruhi keputusan seseorang yang berada dalam posisi berkuasa. Suap tidak hanya mengubah arah keputusan yang seharusnya objektif, tetapi juga menurunkan standar moralitas dalam sistem pemerintahan dan bisnis.

Selain itu, penyelewengan dana publik merupakan tindak pidana yang sering terjadi dalam berbagai level pemerintahan dan organisasi. Dalam hal ini, uang atau sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat malah dialihkan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Fenomena ini sangat merugikan negara karena menghambat proyek-proyek pembangunan yang seharusnya bermanfaat bagi rakyat, sekaligus menciptakan ketidakadilan sosial yang semakin parah.

Sementara itu, penyalahgunaan kekuasaan terjadi ketika individu yang memiliki otoritas menggunakan wewenangnya untuk meraih keuntungan yang tidak pantas atau bahkan melanggar hukum. Bentuk ini sering terlihat dalam kasus-kasus di mana pejabat publik atau pengusaha besar menekan atau memanipulasi sistem demi kepentingan pribadi, sering kali tanpa takut akan konsekuensi hukum. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintahan, memperburuk ketimpangan sosial, dan merusak prinsip-prinsip demokrasi.

Dampak dari korupsi sangatlah besar, mencakup kerugian ekonomi yang tak terhitung dan dampak sosial yang merusak. Secara ekonomi, korupsi dapat menghambat pertumbuhan, mengurangi investasi asing, dan mempersulit penciptaan lapangan pekerjaan yang layak. Ketika pejabat dan pengusaha lebih tertarik pada keuntungan pribadi daripada kepentingan publik, proyek-proyek pembangunan menjadi terhambat, dan kualitas pelayanan publik pun menurun. Korupsi juga menciptakan ketidaksetaraan yang lebih tajam, karena kelompok tertentu bisa memperoleh keuntungan dengan cara yang tidak adil, sementara masyarakat yang lebih miskin tetap terpinggirkan.

Secara sosial, korupsi menggerogoti kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ketika masyarakat melihat bahwa tindakan kriminal seperti suap dan penyelewengan dana dapat terjadi tanpa hukuman yang berarti, mereka mulai kehilangan keyakinan bahwa sistem hukum dan pemerintahan bekerja untuk mereka. Kepercayaan yang menurun ini dapat memicu ketidakstabilan sosial, seperti protes massal, kerusuhan, dan bahkan revolusi. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi bukan hanya merupakan kebutuhan moral, tetapi juga kunci untuk menjaga stabilitas sosial dan politik suatu negara. Pemerintahan yang bersih, transparan, dan berkeadilan menjadi prasyarat untuk menciptakan kemakmuran bersama dan mengembalikan rasa percaya publik terhadap lembaga-lembaga negara.

Dalam konteks ini, pemahaman tentang perilaku manusia melalui perspektif psikologi, seperti yang ditawarkan oleh Sigmund Freud, dapat memberikan wawasan penting tentang motivasi di balik tindakan koruptif. Freud, yang dikenal sebagai bapak psikoanalisis, mengemukakan teori mengenai struktur kepribadian manusia yang terdiri dari id, ego, dan superego. Menurut Freud, perilaku manusia, termasuk tindak kriminal seperti korupsi, seringkali dipengaruhi oleh ketegangan antara keinginan bawah sadar (id) dan kontrol moral (superego) yang ada dalam diri individu.

Id, yang merupakan sumber keinginan dan dorongan instingtual, mungkin mendorong seseorang untuk mencari keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Ego, sebagai bagian dari kepribadian yang mencoba menyeimbangkan tuntutan id dengan kenyataan dunia luar, kadang-kadang memilih untuk menutup mata terhadap etika demi memperoleh keuntungan jangka pendek. Sementara itu, superego berfungsi sebagai kontrol moral yang seharusnya menuntun seseorang untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diterima. Namun, dalam banyak kasus korupsi, konflik antara keinginan untuk mendapatkan lebih banyak dan pengaruh dari sistem nilai moral ini dapat mengarah pada keputusan yang salah, seperti menerima suap atau menyalahgunakan kekuasaan.

Freud juga menekankan bahwa banyak tindakan kriminal, termasuk korupsi, dapat dilihat sebagai manifestasi dari kegagalan dalam perkembangan psikologis individu. Ketika individu tidak mampu menyeimbangkan dorongan pribadi dengan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, mereka cenderung mencari jalan pintas untuk memuaskan kebutuhan mereka, meskipun itu berarti merugikan orang lain. Oleh karena itu, untuk memahami lebih dalam mengapa korupsi terjadi, kita perlu melihat bukan hanya faktor eksternal, tetapi juga faktor internal yang melibatkan struktur kepribadian dan konflik psikologis individu.

Dalam skala yang lebih luas, peran pendidikan, pembentukan karakter, dan sistem hukum yang adil sangat penting dalam mengatasi akar penyebab korupsi. Masyarakat yang memiliki pemahaman yang lebih kuat tentang nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan rasa tanggung jawab sosial akan lebih mampu menanggulangi godaan korupsi. Pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perilaku etis, di mana individu merasa bertanggung jawab atas tindakan mereka, baik di dunia pribadi maupun publik.

WHY

Sigmund Freud, tokoh utama dalam teori psikoanalisis, mengembangkan konsep mengenai struktur kepribadian manusia yang terdiri dari tiga komponen utama: id, ego, dan superego. Masing-masing komponen ini memainkan peran vital dalam mempengaruhi perilaku manusia, termasuk dalam konteks perilaku koruptif. Id mewakili bagian dari kepribadian yang berfokus pada kepuasan instan dan dorongan naluri yang tidak terhalang oleh norma sosial. Ia beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan, mencari kepuasan segera tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjang atau dampaknya terhadap orang lain. Dalam hal ini, id sangat terkait dengan keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi yang cepat dan tidak sah, yang sering kali menjadi pendorong utama dalam tindakan korupsi.

Sementara itu, ego berfungsi sebagai penengah yang rasional antara keinginan-keinginan dasar yang berasal dari id dan nilai-nilai moral yang diajarkan oleh superego. Ego berusaha untuk memenuhi dorongan id dengan cara yang realistis dan dapat diterima dalam konteks sosial, dengan mempertimbangkan hukum dan norma yang berlaku. Dalam kasus korupsi, ego memainkan peran penting dalam memproses keputusan individu---apakah ia memilih untuk mengikuti dorongan id yang mengarah pada perilaku koruptif atau menahan diri dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang lebih tinggi.

Adapun superego, yang dibentuk dari norma-norma sosial dan moral yang dipelajari sejak dini, berfungsi sebagai pengontrol yang lebih kuat dalam menentukan apa yang benar dan salah. Superego sering kali menjadi suara hati yang menuntut individu untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral, seperti kejujuran dan integritas. Dalam konteks korupsi, ada perbedaan yang seringkali tajam antara dorongan id untuk meraih keuntungan pribadi dan norma moral yang ditekankan oleh superego yang menuntut kepatuhan terhadap hukum dan etika. Ketegangan antara ketiga elemen ini sering kali menciptakan konflik internal dalam diri individu yang terlibat dalam perilaku koruptif.

Dalam fenomena korupsi, konflik internal ini sangat terlihat. Seorang pejabat publik, misalnya, mungkin tergoda untuk mengambil keuntungan pribadi dari posisi yang dimilikinya---dorongan yang datang dari id. Namun, kesadaran bahwa tindakan tersebut tidak sesuai dengan prinsip moral dan hukum (superego) menciptakan ketegangan batin yang dapat memperburuk keadaan psikologis individu tersebut. Ego, yang seharusnya menilai situasi secara rasional, mungkin akhirnya memilih untuk mengabaikan norma-norma moral demi keuntungan jangka pendek. Dalam banyak kasus, keputusan ini didorong oleh kebutuhan akan kepuasan instan, atau keinginan untuk segera meredakan ketegangan psikologis yang mungkin timbul akibat ketidakpuasan dalam kehidupan pribadi atau profesional. Dalam hal ini, korupsi tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai respons terhadap ketegangan internal yang terjadi dalam diri individu.

Freud juga menyoroti pentingnya ketidakpuasan dan ketegangan batin sebagai faktor pendorong perilaku kriminal. Individu yang merasa tidak puas dengan kehidupannya---entah itu karena masalah ekonomi, status sosial, atau ketidakadilan yang mereka alami---mungkin merasa terdorong untuk mencari pelarian dari perasaan tersebut melalui tindakan yang bisa memberikan kenyamanan sekejap, seperti menerima suap atau melakukan penyelewengan dana publik. Korupsi, dalam pandangan ini, bisa dilihat sebagai manifestasi dari pencarian kepuasan atau pelarian dari tekanan emosional dan psikologis yang tidak terkelola dengan baik.

Melalui lensa perspektif Freudian, kita bisa melihat bahwa korupsi bukan sekadar masalah moral atau hukum, tetapi juga sebuah pertarungan internal yang terjadi dalam diri individu. Ketika individu gagal mengelola konflik antara id dan superego, mereka mungkin memilih untuk mengejar keinginan sesaat yang berpotensi merusak integritas mereka. Tindakan ini bisa dilihat sebagai cara untuk mengatasi ketegangan psikologis, mengurangi stres, atau meraih sesuatu yang dianggap dapat memperbaiki kualitas hidup secara cepat.

Selain faktor internal, Freud juga mengakui peran lingkungan sosial dalam membentuk perilaku individu. Dalam konteks korupsi, faktor-faktor seperti budaya organisasi, struktur kekuasaan, dan tekanan ekonomi dapat mempengaruhi bagaimana seseorang merespons dorongan nalurinya. Misalnya, dalam lingkungan di mana budaya korupsi telah menjadi norma yang diterima, dorongan untuk memperoleh keuntungan pribadi mungkin lebih sulit dihindari karena individu merasa bahwa ini adalah cara yang paling realistis untuk bertahan hidup atau berkembang dalam sistem tersebut. Tekanan sosial yang timbul dari ketidaksetaraan ekonomi atau ketimpangan kekuasaan juga bisa membuat seseorang lebih rentan terhadap godaan untuk melanggar norma-norma etis, bahkan ketika mereka sadar bahwa tindakan tersebut merugikan banyak pihak.

Oleh karena itu, memahami fenomena korupsi dari perspektif Freudian membuka peluang untuk pendekatan yang lebih holistik dalam memerangi kejahatan ini. Pencegahan dan penanggulangan korupsi memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai motivasi individu, konflik batin, serta dinamika sosial yang memengaruhi perilaku mereka. Pendekatan psikologis yang memperhitungkan ketegangan internal dan faktor lingkungan sosial dapat membantu dalam merancang strategi yang lebih efektif untuk mengurangi perilaku koruptif. Ini termasuk upaya untuk mengubah budaya organisasi, memperkuat sistem hukum, serta menyediakan dukungan psikologis dan sosial bagi individu yang mungkin berada dalam situasi yang memicu perilaku korupsi. Dengan demikian, kita bisa melihat korupsi bukan hanya sebagai tindakan kriminal, tetapi juga sebagai sebuah gejala dari ketidakseimbangan internal dan tekanan eksternal yang mempengaruhi individu dalam konteks sosial dan ekonomi yang lebih luas.

Freud menekankan bahwa ketegangan antara ketiga struktur ini---terutama antara dorongan untuk memperoleh kepuasan instan dari id dan nilai moral dari superego---dapat menciptakan konflik internal yang mempengaruhi keputusan individu. Seorang pejabat yang merasa tidak puas dengan gajinya, misalnya, mungkin merasa dorongan kuat untuk mengumpulkan uang dengan cara ilegal, meskipun tahu bahwa itu bertentangan dengan nilai moral dan hukum yang berlaku.

Selain itu, faktor psikologis lainnya, seperti ketidakpuasan, tekanan emosional, dan perasaan tertekan akibat kondisi sosial-ekonomi yang buruk, dapat memicu individu untuk mencari pelarian melalui tindakan korupsi. Ketidakpuasan yang mendalam terhadap status sosial atau ekonomi, misalnya, dapat mendorong seseorang untuk merasa bahwa korupsi adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki keadaan hidupnya secara cepat.

HOW

Mengatasi korupsi adalah tantangan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar memperbaiki sistem hukum atau reformasi struktural ekonomi. Meskipun faktor-faktor ini memang berperan penting dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi korupsi, akar permasalahan korupsi sering kali terletak pada dinamika psikologis dan internal dalam diri individu. Dalam konteks ini, korupsi bukan hanya fenomena sosial atau ekonomi, tetapi juga masalah psikologis yang dalam, yang mempengaruhi keputusan dan perilaku individu. Oleh karena itu, pendekatan untuk mengatasi korupsi harus mencakup berbagai dimensi dari aspek struktural hingga psikologis untuk mengatasi akar penyebabnya secara menyeluruh. Pendekatan yang holistik dan terintegrasi dapat mencakup aspek-aspek berikut :

  • Pencegahan Melalui Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Pendidikan adalah kunci utama dalam mencegah korupsi, terutama dengan cara membentuk nilai-nilai moral yang kuat sejak dini. Pada dasarnya, pendidikan moral berfungsi untuk memperkuat superego bagian dari kepribadian yang berperan dalam internalisasi norma-norma sosial dan moral. Pendidikan yang baik akan membimbing individu untuk memahami pentingnya kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab dalam kehidupan sosial. Melalui pendidikan ini, diharapkan individu dapat mengembangkan kemampuan untuk menahan dorongan dari id bagian yang berfokus pada kepuasan instan sehingga mereka lebih cenderung untuk menangguhkan kepentingan pribadi demi kepentingan umum.

Namun, pendidikan moral harus lebih dari sekadar pengajaran nilai-nilai dasar. Pendidikan yang efektif harus memperkenalkan konsep-konsep seperti integritas, transparansi, dan akuntabilitas, terutama dalam konteks politik dan pemerintahan. Jika ini dilakukan di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, generasi muda akan lebih siap untuk menghadapi godaan korupsi di masa depan.

Selain itu, pendidikan juga harus mencakup pengelolaan stres dan emosi. Banyak tindakan korupsi yang dipicu oleh ketidakpuasan atau tekanan psikologis, seperti kesulitan finansial, ambisi pribadi yang tidak terkendali, atau frustrasi terhadap sistem yang tidak adil. Oleh karena itu, pendidikan tentang inteligensi emosional dan ketahanan psikologis penting untuk mencegah individu mengambil jalan pintas melalui korupsi sebagai cara untuk melarikan diri dari ketegangan internal mereka.

Program pelatihan yang berfokus pada pengelolaan emosi di tempat kerja atau di dalam pemerintahan dapat menjadi langkah penting dalam membentuk mentalitas yang lebih tahan terhadap godaan korupsi. Dengan memberi individu alat untuk mengelola kecemasan, ketidakpuasan, dan tekanan hidup, kita dapat membantu mereka membuat keputusan yang lebih rasional dan etis dalam menghadapi tantangan.

  • Meningkatkan Pengawasan dan Transparansi

Meskipun pendekatan psikologis sangat penting, pencegahan korupsi juga memerlukan reformasi struktural yang signifikan. Salah satu cara paling efektif untuk mencegah korupsi adalah dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya publik. Ketika proses pemerintahan dan penggunaan anggaran terbuka untuk pengawasan publik, risiko penyalahgunaan kekuasaan menjadi lebih kecil. Masyarakat, media, dan lembaga swadaya masyarakat dapat berperan dalam memastikan bahwa dana publik digunakan secara efisien dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Penggunaan teknologi untuk mendukung transparansi, seperti sistem e-government dan e-budgeting, juga sangat membantu. Dengan adanya platform online yang memungkinkan publik untuk memantau aliran dana dan kebijakan pemerintah secara langsung, akan lebih sulit bagi pejabat untuk menyembunyikan praktik koruptif. Hal ini menciptakan rasa ketidakpastian bagi individu yang ingin terlibat dalam korupsi, karena ada kemungkinan besar bahwa tindakan mereka akan terungkap.

Selain itu, peningkatan pengawasan eksternal melalui lembaga independen, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia, memainkan peran penting dalam memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintah tidak disalahgunakan. Meningkatkan kewenangan lembaga-lembaga ini dan memperkuat peraturan hukum yang ada, termasuk penyediaan perlindungan bagi whistleblowers, dapat mengurangi insentif untuk melakukan praktik korupsi.

  • Ketidakpuasan Psikologis dan Frustrasi yang Mendorong Korupsi

Korupsi tidak hanya disebabkan oleh kelemahan sistem hukum atau ekonomi, tetapi juga oleh faktor psikologis individu. Oleh karena itu, upaya pemberantasannya memerlukan pendekatan yang melibatkan faktor-faktor psikologis dan struktural secara bersamaan.

Pendidikan Karakter dan Moral: Pencegahan yang efektif dapat dimulai dengan pendidikan karakter yang mengajarkan nilai-nilai seperti integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sosial sejak dini. Pendidikan ini membantu membentuk superego yang kuat, yang memungkinkan individu untuk membuat keputusan yang lebih etis meskipun ada godaan dari dorongan pribadi.

Pengelolaan Stres dan Kesejahteraan Psikologis: Memberikan dukungan psikologis kepada mereka yang terlibat dalam korupsi atau yang menghadapi tekanan tinggi seperti pejabat atau pegawai negeri penting untuk mengatasi stres dan ketidakpuasan. Terapi dan konseling dapat membantu individu mengelola tekanan dan mencegah mereka dari memilih jalan pintas yang merugikan orang lain.

Reformasi Sistem Ekonomi dan Sosial: Secara struktural, pengurangan ketimpangan sosial dan ekonomi dapat mengurangi dorongan untuk melakukan korupsi. Dengan meningkatkan akses ke layanan publik, memberikan upah yang lebih adil, dan meningkatkan kesejahteraan sosial, frustrasi yang memicu perilaku koruptif dapat diminimalkan.

Meningkatkan Transparansi dan Pengawasan: Aspek struktural juga memerlukan peningkatan transparansi dalam pengelolaan sumber daya publik dan pengawasan ketat terhadap pejabat serta kebijakan pemerintah. Penggunaan teknologi dalam pengawasan anggaran negara dan media sosial untuk melaporkan pelanggaran akan membuat tindakan korupsi lebih sulit disembunyikan.

Reformasi Kultur Organisasi: Di tingkat organisasi, penting untuk menciptakan budaya anti-korupsi dengan pelatihan etika dan penguatan kode etik yang melarang perilaku koruptif. Melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan dan menyediakan sistem penghargaan untuk perilaku etis akan memperkuat ketahanan terhadap godaan korupsi.

Korupsi adalah masalah yang tidak hanya melibatkan kegagalan struktural atau hukum, tetapi juga mencerminkan konflik psikologis internal individu. Ketegangan antara dorongan untuk memperoleh keuntungan pribadi (id) dan norma moral yang mengatur perilaku sosial (superego) sering kali menjadi pemicu perilaku koruptif. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi memerlukan pendekatan yang menyeluruh, yang mencakup upaya psikologis dan struktural. Hanya dengan mengatasi kedua aspek ini secara bersamaan melalui pendidikan karakter, dukungan psikologis, reformasi ekonomi, serta penguatan transparansi dan pengawasan korupsi dapat dikurangi secara signifikan.

Daftar Pustaka 

Korupsi Mengorupsi Indonesia; Sebab, Akibat, Dan Prospek Pemberantasan, Kompas Gramedia, Jakarta.

Hidayat, R. (2009). Psikologi Korupsi: Pendekatan Freudian dan Implikasinya dalam Perilaku Koruptif. Jurnal Psikologi.

Meynell, H. (1981). The Corrupt Individual Consciousness: Freud and Jung
Kadir, S. (2015). Korupsi di Indonesia: Dinamika, Penyebab, dan Dampaknya. Jurnal Ilmu Pemerintahan

Suryadinata, L. (2003). Korupsi dan Budaya Politik di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun