Melalui lensa perspektif Freudian, kita bisa melihat bahwa korupsi bukan sekadar masalah moral atau hukum, tetapi juga sebuah pertarungan internal yang terjadi dalam diri individu. Ketika individu gagal mengelola konflik antara id dan superego, mereka mungkin memilih untuk mengejar keinginan sesaat yang berpotensi merusak integritas mereka. Tindakan ini bisa dilihat sebagai cara untuk mengatasi ketegangan psikologis, mengurangi stres, atau meraih sesuatu yang dianggap dapat memperbaiki kualitas hidup secara cepat.
Selain faktor internal, Freud juga mengakui peran lingkungan sosial dalam membentuk perilaku individu. Dalam konteks korupsi, faktor-faktor seperti budaya organisasi, struktur kekuasaan, dan tekanan ekonomi dapat mempengaruhi bagaimana seseorang merespons dorongan nalurinya. Misalnya, dalam lingkungan di mana budaya korupsi telah menjadi norma yang diterima, dorongan untuk memperoleh keuntungan pribadi mungkin lebih sulit dihindari karena individu merasa bahwa ini adalah cara yang paling realistis untuk bertahan hidup atau berkembang dalam sistem tersebut. Tekanan sosial yang timbul dari ketidaksetaraan ekonomi atau ketimpangan kekuasaan juga bisa membuat seseorang lebih rentan terhadap godaan untuk melanggar norma-norma etis, bahkan ketika mereka sadar bahwa tindakan tersebut merugikan banyak pihak.
Oleh karena itu, memahami fenomena korupsi dari perspektif Freudian membuka peluang untuk pendekatan yang lebih holistik dalam memerangi kejahatan ini. Pencegahan dan penanggulangan korupsi memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai motivasi individu, konflik batin, serta dinamika sosial yang memengaruhi perilaku mereka. Pendekatan psikologis yang memperhitungkan ketegangan internal dan faktor lingkungan sosial dapat membantu dalam merancang strategi yang lebih efektif untuk mengurangi perilaku koruptif. Ini termasuk upaya untuk mengubah budaya organisasi, memperkuat sistem hukum, serta menyediakan dukungan psikologis dan sosial bagi individu yang mungkin berada dalam situasi yang memicu perilaku korupsi. Dengan demikian, kita bisa melihat korupsi bukan hanya sebagai tindakan kriminal, tetapi juga sebagai sebuah gejala dari ketidakseimbangan internal dan tekanan eksternal yang mempengaruhi individu dalam konteks sosial dan ekonomi yang lebih luas.
Freud menekankan bahwa ketegangan antara ketiga struktur ini---terutama antara dorongan untuk memperoleh kepuasan instan dari id dan nilai moral dari superego---dapat menciptakan konflik internal yang mempengaruhi keputusan individu. Seorang pejabat yang merasa tidak puas dengan gajinya, misalnya, mungkin merasa dorongan kuat untuk mengumpulkan uang dengan cara ilegal, meskipun tahu bahwa itu bertentangan dengan nilai moral dan hukum yang berlaku.
Selain itu, faktor psikologis lainnya, seperti ketidakpuasan, tekanan emosional, dan perasaan tertekan akibat kondisi sosial-ekonomi yang buruk, dapat memicu individu untuk mencari pelarian melalui tindakan korupsi. Ketidakpuasan yang mendalam terhadap status sosial atau ekonomi, misalnya, dapat mendorong seseorang untuk merasa bahwa korupsi adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki keadaan hidupnya secara cepat.
HOW
Mengatasi korupsi adalah tantangan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar memperbaiki sistem hukum atau reformasi struktural ekonomi. Meskipun faktor-faktor ini memang berperan penting dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi korupsi, akar permasalahan korupsi sering kali terletak pada dinamika psikologis dan internal dalam diri individu. Dalam konteks ini, korupsi bukan hanya fenomena sosial atau ekonomi, tetapi juga masalah psikologis yang dalam, yang mempengaruhi keputusan dan perilaku individu. Oleh karena itu, pendekatan untuk mengatasi korupsi harus mencakup berbagai dimensi dari aspek struktural hingga psikologis untuk mengatasi akar penyebabnya secara menyeluruh. Pendekatan yang holistik dan terintegrasi dapat mencakup aspek-aspek berikut :
- Pencegahan Melalui Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Pendidikan adalah kunci utama dalam mencegah korupsi, terutama dengan cara membentuk nilai-nilai moral yang kuat sejak dini. Pada dasarnya, pendidikan moral berfungsi untuk memperkuat superego bagian dari kepribadian yang berperan dalam internalisasi norma-norma sosial dan moral. Pendidikan yang baik akan membimbing individu untuk memahami pentingnya kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab dalam kehidupan sosial. Melalui pendidikan ini, diharapkan individu dapat mengembangkan kemampuan untuk menahan dorongan dari id bagian yang berfokus pada kepuasan instan sehingga mereka lebih cenderung untuk menangguhkan kepentingan pribadi demi kepentingan umum.
Namun, pendidikan moral harus lebih dari sekadar pengajaran nilai-nilai dasar. Pendidikan yang efektif harus memperkenalkan konsep-konsep seperti integritas, transparansi, dan akuntabilitas, terutama dalam konteks politik dan pemerintahan. Jika ini dilakukan di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, generasi muda akan lebih siap untuk menghadapi godaan korupsi di masa depan.
Selain itu, pendidikan juga harus mencakup pengelolaan stres dan emosi. Banyak tindakan korupsi yang dipicu oleh ketidakpuasan atau tekanan psikologis, seperti kesulitan finansial, ambisi pribadi yang tidak terkendali, atau frustrasi terhadap sistem yang tidak adil. Oleh karena itu, pendidikan tentang inteligensi emosional dan ketahanan psikologis penting untuk mencegah individu mengambil jalan pintas melalui korupsi sebagai cara untuk melarikan diri dari ketegangan internal mereka.
Program pelatihan yang berfokus pada pengelolaan emosi di tempat kerja atau di dalam pemerintahan dapat menjadi langkah penting dalam membentuk mentalitas yang lebih tahan terhadap godaan korupsi. Dengan memberi individu alat untuk mengelola kecemasan, ketidakpuasan, dan tekanan hidup, kita dapat membantu mereka membuat keputusan yang lebih rasional dan etis dalam menghadapi tantangan.
- Meningkatkan Pengawasan dan Transparansi