Pandemi COVID-19 di Indonesia merupakan bagian dari pandemi global coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang sedang berlangsung. Penyakit ini disebabkan oleh sindrom pernafasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Indonesia mendeteksi kasus positif COVID-19 pertamanya pada 2 Maret 2020, ketika dua orang dipastikan tertular dari seorang warga negara Jepang. Pada 9 April, pandemi telah menyebar ke 34 provinsi, dengan DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah menjadi yang terparah terkena dampak virus corona di Indonesia. COVID-19 bukan pertama kalinya Indonesia menghadapi penyakit global. Kembali pada tahun 2003, pemerintah Indonesia juga menghadapi sindrom pernafasan akut yang parah (SARS), flu burung dan flu H1N1.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan tim respon cepat. Pada 13 Maret 2020, Presiden menandatangani Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Pemrosesan Penyakit virus corona. Gugus tugas tersebut dipimpin oleh Kepala BNPB, dan pemerintah juga segera mengambil langkah-langkah strategis, khususnya di bidang kesehatan. Penambahan rumah sakit rujukan COVID-19. Awalnya, 100 rumah sakit pemerintah akan bertambah menjadi 132 rumah sakit pemerintah, 109 rumah sakit TNI, 53 rumah sakit Polri, dan 65 rumah sakit BUMN.
Pada 10 Maret 2020, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengirim surat kepada Presiden Jokowi. Sebagian dari surat itu adalah agar pemerintah Indonesia meningkatkan mekanisme responsnya terhadap COVID-19 melalui deklarasi darurat nasional. Pada 15 Maret 2020, Presiden meminta pemerintah daerah mengembangkan kebijakan belajar di rumah bagi siswa. Kasus positif COVID-19 di Indonesia terus meningkat hingga akhir Maret 2020. Pada 27 Maret 2020, Gugus Tugas Percepatan COVID-19 melaporkan jumlah pasien positif COVID-19 mencapai 1.406. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, Presiden Jokowi telah menyusun peraturan pembatasan Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penerapan Pembatasan Sosial Massal (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Selain itu, Presiden juga mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19. Untuk melindungi warga dari risiko penularan, Presiden menetapkan Peraturan Pembatasan Sosial Massal melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Massal (PSBB), yang mulai berlaku pada 1 April 2020. Pemerintah daerah yang ingin menerapkan PSBB di daerahnya harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Mekanisme dan indikator pelaksanaan PSBB di tingkat daerah tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Provinsi pertama yang menerapkan PSBB adalah DKI Jakarta, wilayah yang paling terdampak virus corona. Dalam rangka percepatan penanganan COVID-19 yang ditandatangani pada 7 April 2020, Menteri Kesehatan Agus Terawan menyetujui penerapan PSBB DKI Jakarta dan SK Menteri Kesehatan tentang PSBB Provinsi DKI Jakarta.
Memasuki bulan Mei, penanganan COVID-19 menghadapi tantangan yang sangat besar. Pasalnya, 24-25 Mei 2020 adalah Hari Raya Idul Fitri. Sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang untuk pulang pada waktu itu. Padahal, pemberlakuan PSBB di berbagai daerah tidak bisa dibatalkan karena kasus positif COVID-19 belum berkurang. Selain himbauan pelarangan rumah, beberapa kabupaten yang belum menerapkan kebijakan PSBB pun mulai melakukan hal tersebut. Hingga akhir Mei, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 melaporkan 29 kabupaten/kota telah menerapkan PSBB, termasuk 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota. Tidak dapat disangkal bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia terhenti karena aktivitas masyarakat dibatasi. awal Juni 2020 Bank Dunia memperkirakan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% pada tahun 2020. Bahkan, dalam skenario terburuk, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan bisa mencapai -3,5%. Untuk mencegah situasi ekonomi di Indonesia semakin tidak kondusif, pemerintah mulai melihat kemungkinan pelonggaran pembatasan sosial, sosialisasi kepada masyarakat tentang kesepakatan tatanan normal baru pada 27 Mei 2020. Untuk mempertegas pedoman bagaimana masyarakat dalam kenormalan baru, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian COVID -19. Mengingat COVID-19 belum sepenuhnya hilang.
kebijakan pemerintah dalam menerapkan new normal ini diharapkan seiring dengan kesadaran masyarakat untuk menjaga ketat protokol kebersihan. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan acuan sebagai indikator penguatan system kesehatan pada masa pandemic, antara lain:
Kapasitas Perawatan Kesehatan Dasar: Sistem Kesehatan yang kuat mempertahankan tingkat dasar perawatan kesehatan masyarakat. Hambatan perawatan kesehatan rutin selama keadaan darurat kesehatan masyarakat.
Hambatan Perawatan Kesehatan: Sistem kesehatan yang kuat menghilangkan hambatan terhadap perawatan kesehatan sehingga masyarakat dapat mengakses perawatan kesehatan dalam keadaan darurat.
Memelihara infrastruktur dan transportasi penting: Sistem kesehatan yang tangguh mengembangkan rencana untuk mengatasi infrastruktur kritis dan gangguan transportasi.
Akses tepat waktu dan fleksibel ke pendanaan darurat/krisis: Sistem kesehatan yang tangguh memiliki akses ke pendanaan yang tepat waktu dan fleksibel untuk mempersiapkan dan merespons keadaan darurat kesehatan masyarakat dengan lebih baik.
Struktur Kepemimpinan dan Komando: Sistem kesehatan yang tangguh memiliki struktur komando yang jelas dan fleksibel yang telah ditentukan sebelumnya sebelum suatu peristiwa dan sering ditegakkan.
Kolaborasi, koordinasi dan kemitraan: sistem kesehatan Kolaborasi dan koordinasi yang tangguh dengan mitra di dalam dan di luar sistem kesehatan.
Komunikasi: Sistem perawatan kesehatan yang tangguh memiliki jalur komunikasi yang jelas antara pelaku sistem kesehatan dan protokol komunikasi risiko sektoral lainnya dan kontak dekat dengan kelompok pasien.
Perencanaan dan struktur manajemen yang fleksibel: Sistem perawatan kesehatan yang tangguh memiliki rencana dan struktur manajemen yang fleksibel untuk merespons keadaan yang berubah.
Hukum: Sistem kesehatan yang tangguh secara hukum disiapkan untuk tantangan yang mungkin muncul selama krisis.
Kapasitas: Sistem kesehatan yang tangguh mampu memobilisasi sumber daya manusia dan modal untuk meningkatkan tingkat layanan selama keadaan darurat kesehatan masyarakat.
Perubahan dalam standar perawatan: Sistem kesehatan yang tangguh memiliki rencana respons yang dapat disesuaikan untuk memandu mereka dalam mengalokasikan sumber daya dan layanan perawatan kesehatan yang langka.
Tenaga kesehatan: Sistem kesehatan yang kuat memiliki tenaga kerja yang memadai, terlatih dan bersedia.
Pasokan dan peralatan medis: Selama krisis, sistem perawatan kesehatan yang tangguh memiliki akses ke suplai dan peralatan medis, termasuk peralatan pelindung diri, obat antivirus, dan ventilator.
Pencegahan dan pengendalian infeksi: Sistem kesehatan yang kuat memiliki tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang kuat, termasuk pelatihan staf, protokol standar, fokus khusus, dan unit perawatan khusus.
Komitmen terhadap Peningkatan Kualitas: Sistem perawatan kesehatan yang tangguh memerlukan komitmen terhadap peningkatan kualitas yang berkelanjutan untuk mempromosikan keunggulan dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Rencana pemulihan post-mortem: Sistem kesehatan yang tangguh memiliki rencana pemulihan post-mortem yang menangani berbagai masalah.
Tetaplah waspada, Jaga imun agar tidak terpapar virus COVID-19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H