Mohon tunggu...
Elisa Koraag
Elisa Koraag Mohon Tunggu... Freelancer - Akun Kompasiana ke dua

Perempuan yang suka berkawan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Koteka Trip 4: Gandeng Disbudpar Kota Bogor, Eksplor Destinasi Wisata Kota Bogor

31 Oktober 2022   00:46 Diperbarui: 31 Oktober 2022   01:08 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebon raya, jalan surya kencana, Soto kuning, es pala, aneka asinan, semua lekat dengan Kota bogor.  Tapi kali ini komunitas travel kompasiana Koteka, menggandeng Disbudpar kota Bogor, mengeksplorasi destinasi wisata  yang lain yang nggak kalah menakjubkan.  Kampung Batik Cibuluh-sudah saya tulis, di sini, Pulo Geulis di tengah Sungai ciliwung, Klenteng Phan Ko bio, Kampung Labirin Kebun Jukut, Agro Edukasi Wisata Organik (AEWO) Mulyaharja dan Kampung Perca.

Dokpri: Elisa Koraag
Dokpri: Elisa Koraag

Dengan bus UNCAL kamipun menyusuri Kota Bogor. Sejujurnya tak cukup satu hari tapi memang cuma satu hari waktu yang disediakan. Bisa dibilang, nyaris kejar-kejaran dengan waktu. bahkan jam makan siang sampai bergeser lewat dari jam 15.00. Ya, tapi rasa lelah dan lapar sedikit terhibur dengan mendatang destinasi-destinasi wisata yang sudah di tentukan.

Secara umum, destinasi wisata terbagi dua, destinasi wisata alam dan destinasi buatan. Bogor memiliki keduanya. pada beberapa destinasi yang kami kunjungi, adalah destinasi buatan. Seperti Kampung Batik Cibuluh, Kampung Labirin Kebun Jukut dan Kampung Perca. Pemerintah memang menghimbau agar masyarakat bahu membahu membangun Desa Sadar Wisata. Yang tidak memiliki alam yang menjual, dihimbau untuk membangun kawasan wisata dengan sentuhan nilai lokal. Desa/kampung Sadar Wisata perlu dibangun dan dikembangkan karena berpotensi menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat. 

Kampung Batik Cibuluh, Kampung Labirin dan kampung Perca, keberadaanya belum terlalu lama, tapi aneka kegiatannya disukai masyarakat dan mendatangkan uang. Disbudpar Kota Bogor, menyadari potensi tersebut. Menggandeng Komunitas Traveling Kompasiana-Koteka, menjadi salah satu upaya promosi. Lewat artikel dan postingan di sosial media peserta tour, destinasi-destinasi yang baru ini, kian dikenal.

Dokpri: Elisa Koraag
Dokpri: Elisa Koraag

Memberi kesempatan masyarakat mendapatkan pilihan-pilihan destinasi wisata yang lebih banyak dan nggak perlu jauh-jauh. Karena sebuah perjalanan selalu membutukan biaya. Jika membayangkan indahnya Indonesia, siapa sih yang nggak ingin mengunjungi tiap daerah? tapi luas Indonesia, membutuhkan biaya trabspoirtasi dan akomodasi yang lumayan besar jika ingin mengunjungi berbagai destinasi di seluruh daerah. Lalu apakah masyarakat cuma dari mal ke mal kalau mau jalan-jalan? destinasi lokal seperti yang menjadi tujuan Koteka Trip 4, menjadi alternatif pilihan yang menyenangkan. Jalan-jalan nggak perlu jauh-jauh karena ada kok yang dekat-dekat.

Mengikuti jalan-jalan Lebih seru di Kota Bogor, emang seru dan menyenangkan, walau keterbatasan waktu membuat nggak bisa sepenuhnya menikmati. Pulo Geulis, seluas 3,4 ha di tengah sungai Ciliwung, menghadirkan kehidupan beragama yang menarik. Toleransi sudah puluhan tahun, bahkan kalau melihat sejarah di temukannya kawasan Pulo Geulis, kerukunan sudah tercipta sejak ratusan tahun. Masyarakat keturunan belanda, Tiong hoa dan lokal membaur. Pernikahan canpuran beda agama, nggak jadi masalah. Dan Klenteng Phan ko Bio menjadi simbol toleransi. di mana setiap Selasa ada penganjian rutin dan tersedia tempat salat untuk umat muslim yang singgah. kok bisa? karena Kelenteng bukanlah Vihara. Vihara adalag tempat ibadah umat Budha/umat Hindu. Klenteng adalag rumah doa yang dibangun secara indivual/keluarga. Sehingga pemiliknya bebas mengizinkan orang menggunakan klenteng untuk beribadah sesuai keyakinannya.

Dokpri: Elisa Koraag
Dokpri: Elisa Koraag

Dari Pulo Geulis, dilanjutkan ke Kampung Labirin, Desa Wisata yang sebagian dibiayai CSR dari  Yayasan Astra Honda. Seperti namanya labirin, jalan-jalan di Kebun Jukut, Bogor Tengah ini, kecil dan berliku. Kebanyakan hanya orang asli yang tahu, masuk di mana dan mau ke luar kemana. Di kampung ini dibangun kelompok-kelompok seni angklung, calung dan sanggar tari. anak-anak dilatih ketranpilan berkesenian yang diperagakan/ditampilkan diwaktu-waktu tertentu. Misalnya acara peringatan hari kemerdekaan atau pesta akhir tahun. Kehidupan masyarakat yang erat dengan nilai-nilai lokal, menjadi daya tarik tersendiri buat pengunjung. Sayang saya belum melihat kuliner yang menggoda. Sempat ada dua jajanan, satu cireng dan satu keripik jengkol. Menurut saya harus lebih banyak lagi kulinerannya. 

Dokpri: Elisa Koraag
Dokpri: Elisa Koraag

Destinasi selanjutnya, Agro Edukasi Wisata Organik (AEWO) Mulyaharja. Terbentang sawah sekita 24 h, yang terluas di kota Bogor dengan keunggulan selain permandanganny. Berlatar belakang Gunung Salak dan hijaunya persawahan, emang keren banget.  Tiba saat perut lapar, makanan yang tersaji nyaris bikin kalap. Sesaat niat narsis terhenti karena perut nggak bisa diajak kompromi. Nasi liwet, ayam serundeng, sambel goreng teri kacang, tumis jantung pisang-Makanan khasnya, aneka lalapan dan sambel. mengobati rasa lapar . Walau akhirnya hujan turun tapi hawa tetap terasa panas, mungkin akibat jalan kaki lumayan jauh, membuat ingin minum dingin.  Nggak usah khawatir walau di tengah sawah ada warung kopi kekinian yang menyajikan minuman kopi dingin dan panas.

Dokpri: Elisa Koraag
Dokpri: Elisa Koraag

Lagi-lagi harus berpacu dengan waktu, agar semua destinasi wisata tuntas dikunjungi, perjalanan dilanjutkan ke kampung Perca. kami disambut dengan minuman selamat datang, berupa minuman kesehatan yang mirip bir pletok Betawi. Disajikan dingin, sungguh menawarkan rasa dahaga. Rasa rempah-rempag dalam minuman kesehatan ini, sekaligus mengobati rasa lelah dan pegal. kami mengunjungi satu rumah yang berkegiatan di lantai dua. Sekumpulan perempuan tengah bekerja, ada yang menjait dengan mesin ada yang yang dengan tangan. Mereka menggunakan sisa-sisa potongan kain atau biasa disebut perca, membuat sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. Dituntut ketrampilan menjahit dan memiliki kreatifitas untuk menjadikan perca ini sesuatu yang berharga. Ada baju-baju, tas, lap tangan, ikat kepala, bed cover, penutup kursi, ikat rambut, bunga dan macam-macam. Semua bermula dari keinginan bertahan dan melawan keterbatasan ekomomi untuk kehidupan yang lebih baik.

Perjalanan yang memberi saya wawasan dan pemahaman baru untuk arti berjuang demi hidup. Uluran tangan-tangan orang baik, berkolaborasi dengan kemauan mendapatkan kehidupan lebih baik, semua bergerak, semua berkerja dan berkarya. Semoga apa yang dihasilkan bisa berkualitas baik, dan banyak masyarakat mau membeli. Sehingga menjadi destinasi wisata yang hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun