"My little sister, I know that you are growing up and becoming an adult. But for me, you will always be the baby I want to care for." _QueenFoniksÂ
Aira menatap layar laptopnya, matanya lelah setelah seharian penuh tugas kuliah. Di luar jendela, malam sudah hampir gelap, tapi hatinya terasa lebih kosong daripada langit yang gelap itu. Sekarang, di dunia yang penuh kesibukan ini, Aira merindukan satu hal yang selalu membuatnya merasa tenang---adiknya. Zara, yang kini duduk jauh di rumah mereka, jauh dari tempat Aira berkuliah, lebih sering menghabiskan waktu dengan buku dan ruang hening. Seperti biasa, Zara adalah sosok yang lebih memilih untuk sendiri, tidak terlalu banyak bicara, tetapi tetap memiliki cara untuk membuat Aira merasa dekat, meskipun terpisah jarak. Aira mengklik ikon video call, dan dalam hitungan detik, wajah Zara muncul di layar. Senyum kecil di wajah Zara membuat Aira sedikit terhibur.Â
"Hey, Kak!" Zara menyapa, meskipun matanya terlihat sedikit lelah. Aira bisa tahu, adiknya itu pasti sudah seharian belajar di sekolah.
"Hey, how's school? How's everything?" Aira bertanya, mencoba menanggalkan rasa rindu yang mulai menyesakkan dada.
Zara mengerutkan kening, lalu menghembuskan napas. "It's okay... but I still can't decide which major to choose next year. Everyone's talking about what to do after school, but... I don't know." Aira mengangguk, meskipun di dalam hatinya terasa sesak. Dia tahu betul bagaimana adiknya itu merasa---terjebak di antara harapan orang lain dan impian yang masih belum ditemukan.Â
"Zara, it's okay. Take your time. You don't have to rush." Aira berkata dengan lembut. "You have time to figure it out. And no matter what you choose, I'm sure you'll do great."Â
Zara tersenyum tipis. "I hope so, Kak. Sometimes, I just feel... lost."
Â
"You're not lost," jawab Aira, suaranya penuh keyakinan. "You just need to trust yourself. You'll find your way."
Â
Di balik senyuman Zara, Aira bisa merasakan keheningan yang lebih dalam. Adiknya itu memang tidak banyak bicara tentang perasaannya, tapi Aira tahu, ada banyak ketakutan yang tersimpan di dalam diri Zara---ketakutan akan masa depan, dan ketakutan akan melangkah sendiri tanpa seseorang di sampingnya.
Aira menatap wajah Zara dengan rasa haru. "I miss you," Aira mengatakannya pelan, seolah itu adalah kata-kata yang paling penting, meskipun mereka sudah sering berbicara tentang rindu.
Â
Zara terdiam sejenak, lalu matanya berkilau. "I miss you too, Kak."
Â
Saat itu, Aira tahu bahwa perasaan mereka tidak hanya soal kata-kata. Rindu itu lebih daripada sekadar jarak yang memisahkan mereka, tetapi lebih pada keinginan untuk bersama, berbagi waktu dan cerita seperti dulu---waktu ketika mereka tidak merasa terpisah oleh dunia yang penuh tuntutan. Namun, Aira tahu, dia tidak bisa kembali. Setidaknya tidak sekarang. Tangannya menggenggam erat pena yang ada di meja, memikirkan tugas yang belum selesai, dan tanggung jawab yang menuntutnya untuk tetap bertahan di sini, jauh dari rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H