sekolah, kami harus bersikap sopan kepada senior kami. Dengan itu, aku tidak lupa izin untuk berjalan mendahului mereka.
Terik mentari siang hari ini sangat menyengat, bahkan menusuk kepalaku hingga kurasakan denyutnya. Aku berjalan dengan derap langkah kaki yang sangat cepat, dengan beberapa buku-buku yang bersusun di tanganku, dan sebagian lagi kusimpan di dalam ranselku. Aku bahkan mengalahkan derap langkah kaki seniorku. Sebagai junior"Aku duluan ya ka" ucapku pada mereka
"Iyaa dik, hati-hati!"jawab salah satu dari mereka.
Di tengah perjalanan, aku melihat ramainya orang berjalan dengan seragam yang sama denganku. Kulirik arloji di tanganku.
"Oh tidak, aku hampir terlambat" ucapku dalam hati.
Akupun menarik nafas berat dan melanjutkan langkah kakiku dengan secepat yang aku bisa, saat itu aku terburu-buru dan sangat lelah karena banyaknya buku-buku yang kubawa. Akupun tidak sengaja menabrak tubuh seseorang yang tidak kukenal perawakannya, tetapi aku melihat dia memakai seragam sekolah yang sama denganku.
Brakk!!!
Aku terjatuh tepat di batu-batu kerikil yang membuat lututku sedikit luka, dan buku-buku di tanganku luka terjatuh dengan berserakan. Sakit dari luka itu tidak masalah bagiku, tapi saat itu pipiku merona dan aku hanya bisa duduk dengan kepala tertunduk. Untung saja tidak banyak teman-temanku yang melihatku, hanya ada beberapa senior yang hanya diam saja menatapku terjatuh di jalan yang penuh batu kerikil itu.
"Aww" aku meringis kecil, merasakan sakit di lututku. Aku memegangi lututku yang luka, dan saat itu aku mendongak kepada seseorang yang tegap berdiri di depanku dengan mata yang cokelat, dan memandangku penuh dengan rasa iba. Ternyata dia adalah sosok lelaki yang tidak sengaja tertabrak olehku.
"Maaf ka." Ucapku dengan penuh rasa bersalah sambil memegangi lututku.
"iya, kamu tidak apa-apa kan dik? Tanya dia padaku.
"Tidak apa-apa ka, hanya luka sedikit saja ka" jawabku
Lelaki itu menyibukkan tangannya ke dalam ransel miliknya. "Nah, untung masih ada" ucapnya.
Lelaki itu berjongkok di hadapanku dan memakaikan plester pada luka di lututku.
"eh, tidak usah ka, ini cuman luka kecil kok ka" desahku sambil menjauhkan kakiku dari tangannya.
"justru karena itu luka kecil, maka harus segera diatasi, dik" nasihatnya padaku
" i-iya ka. Terima kasih ka," jawabku dengan canggung.
Akupun tersadar dan melihat sekali lagi arlojiku. Ternyata aku sudah hampir terlambat untuk kelas kursusku. Dengan sigap aku bergegas mengutip buku-bukuku yang berserakan dan segera beranjak dari tempat itu. " Maaf ka aku buru-buru, harus pergi sekarang. Terima kasih ka" ucapku padanya.
"hei, kamu. Namamu siapa? Teriaknya padaku dan aku tidak menghiraukannya lagi.
Setelah 15 menit perjalanan yang kutempuh, akhirnya akupun sampai di depan pintu rumah dengan perut yang kosong. Aku begitu lapar, hingga perutku mengeluarkan bunyi.
"Tok..tok..Shalom!" sapaku sambil mengetuk pintu rumah hingga beberapa kali, tetapi tidak ada juga yang menyahut. Akupun memutuskan untuk masuk ke dalam dan kulihat rumah sedikit berantakan, dan kucari di setiap ruangan tidak ada siapa pun di sana. Aku melirik tudung saji bernuansa biru laut yang berada di meja makan, aku yang dari tadi kelaparan, akhirnya mengambil beberapa sendok makanan yang tersedia untuk mengisi perutku yang kosong.
"Oh no, I'm so late" ucapku. Dengan buru-buru aku menghabiskan makananku, dan akupun bergegas beranjak dari rumah, saat itu aku melirik dari pintu kamar abangku, ternyata abangku sedang beristirahat usai pulang dari tempat kerjanya.
Tok..tok..tok..
kuketuk pintu kamarnya, dan berharap dia tidak marah padaku. Karena biasanya dia tidak ingin diganggu jika sedang beristirahat. Aku tahu dia begitu lelah. Tetapi, aku juga tidak tahu harus minta tolong kepada siapa lagi untuk mengantarku ke tempat kursusku.
"Apa?" ucapnya dingin
" Bang...tolong antarkan aku ke tempat kursus, aku sudah terlambat, tidak sempat lagi jika aku harus menunggu angkot, tolong ya.." bujukku padanya
Hening...
Kulirik jam di pergelangan tanganku, hampir 2 menit dia hanya terdiam begitu saja. Hingga akhirnya, diapun berkata dengan nada tinggi, " kaukan bisa tunggu angkot! Makanya, belajar bawa motor! Jangan bisanya cuman nyusahin orang, sudah tau orang lagi istirahat. Kalau tidak punya kendaraaan, mending tidak usah pergi jauh-jauh hanya untuk bimbingan belajar".
Jujur saja, rasanya aku menyesal untuk meminta bantuannya, jika ujungnya jadi seperti itu. Dengan beberapa kalimat yang diucapkannya, rasanya aku menjadi down , Â yang tadinya aku merasa senang saat di sekolah. Kini aku merasakan sakit yang luar biasa, dadaku begitu sesak. Memang aku tidak merasakan sakit dalam fisikku, tetapi hatiku, mentalku yang retak, bagai piring kaca yang akan diberi warna, tetapi terjatuh hingga pecah berkeping-keping. Mulutku tidak berkutip lagi, aku juga hanya bisa menahan derai air mataku. Akupun memutuskan beranjak dari tempat itu, berlari menuju kamarku dan air mata yang kutahan sejak tadi, akhirnya terjatuh. Aku menangis dengan terisak-isak.
"Hiks... kalau tidak mau membantuku, bilang bang! Bukan jadi mengejekku seperti itu. Sakit, hiks" ucapku dengan suara tangisan terisak-isak sambil kupegangi dadaku yang begitu sesak. Sejenak, akupun melangitkan doa-doaku pada Yang Kuasa.
"Tuhan...kiranya Engkau menatapku, tolong aku Tuhan. Tunjukkanlah jalan-Mu Bapa, berikan aku kesabaran di dalam menjalani semua ini. Terima kasih Bapa. Amin".
Usai melangitkan doaku pada yang Kuasa, akupun merasa sangat lega, dengan kondisi mata yang masih lembab, aku beranjak dari kamar dan aku pergi ke dapur, kuraih gelas dan kutuangkan air minum hingga aku meneguknya.
"Huff..." kutarik nafasku panjang, dan aku berjalan keluar dari rumah menuju ke jalan raya, dengan maksud menunggu angkot, dan berharap angkot segera datang. Hingga beberapa menit aku menunggu, angkot itu belum muncul juga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H