Mohon tunggu...
Elisabet Olimphia Selsyi
Elisabet Olimphia Selsyi Mohon Tunggu... Administrasi - well organized and visioner.

Beri aku sebuah media citizen jounalism, niscaya akan kuguncangkan jagat media. S.I.Kom UAJY.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Masalah Kependudukan Menjadi Momok (Ekologi Politik yang Membawa Keberlangsungan Lingkungan)

29 Februari 2016   12:02 Diperbarui: 29 Februari 2016   12:14 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

           Setiap ruang pasti punya kapasitasnya masing-masing. Sama halnya dengan populasi manusia. Dunia hanya bisa menampung manusia dalam jumlah yang terbatas. Jumlah manusia yang ada harus disesuaikan dengan kemampuan suatu negara dalam mengupayakan sumber daya yang ada. Selain itu, negara juga memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan menjamin hak-hak asasi tiap individu yang berada dalam wewenangnya. Maka dari itu, pengendalian jumlah penduduk layak untuk diperhatikan karena memiliki ekses yang besar pula terhadap lingkungan.

            Kebanyakan orang berkeyakinan bahwa peralatan teknis atau teknologi mampu memberikan solusi pada berbagai masalah tanpa menimbulkan masalah baru, termasuk masalah lingkungan. Kita bisa melihat contoh kasus mengenai penggunaan bom, bahan peledak untuk menangkap ikan, lampu LED, kendaraan bermotor, penggunaan listrik, dan lain sebagainya.

Orang berpandangan bahwa perkembangan teknologi merupakan tolok ukur dari kemajuan suatu negara dan diyakini dapat mempermudah segala aktivitas kita, sehingga mereka lupa pada dampak negatif yang mungkin menyertainya. Orang berlomba-lomba memunculkan inovasi baru dan mengagung-agungkan kecanggihan yang ditawarkannya. Padahal di balik penggunaannya, tanpa disadari kita perlahan-lahan mencekik alam.

            Solusi teknis di sini dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang membutuhkan perubahan hanya dalam teknik ilmu alam (ekologi), dan hanya menuntut sedikit atau bahkan tidak sama sekali pada perubahan dalam nilai-nilai atau ide moralitas manusia (Hardin, 1968, hal. 1244). Betham memiliki cita-cita “the greatest goods for the greatest number” atau jika dibahasakan lebih santai, jumlah sumber daya yang tepat untuk jumlah manusia yang tepat.

Setelah mengalami perdebatan serius mengenai apa yang harus dimaksimalkan−populasi atau barang-barang, ternyata solusi dari kebingungan itu tidak ditemukan dalam ilmu alam. Solusi teknis yang digadang-gadang mampu mengcover semua masalah, nyatanya ditentang oleh Neumann dan Morgenstern.

            Mereka berdua memberikan dua argumen yang menjelaskan ketidakyakinan mereka bahwa cita-cita Betham dapat terwujud. Pertama, alasan teoritis bahwa secara matematis tidak mungkin memaksimalkan dua atau lebih variabel dalam waktu yang sama. Kedua, melihat fakta biologis bahwa untuk hidup, organisme apapun membutuhkan sumber energi, seperti makanan (Hardin, 1968, hal. 1244). Jika jumlah individu banyak, maka pemerintah harus menambah jumlah energi. Itu dirasa akan berakibat pada pemborosan juga.

            Menurut Malthus, populasi secara natural memiliki kecenderungan untuk tumbuh secara geometris, atau yang sekarang kita sebut eksponensial (berlipat ganda). Dalam dunia yang terbatas ini berarti tanggungan per kepala dari barang-barang dunia harus dikurangi (Hardin, 1968, hal. 1244). Barang-barang duniawi di sini termasuk Sumber Daya Alam, seperti tanah, air, hutan, udara, flora dan fauna, dan lain lain.

            Masalah kependudukan merupakan permasalahan yang menjadi momok di banyak negara. Kita sulit menemukan pemecahan masalah dari jumlah populasi yang membludak dengan tanpa mengurangi hak setiap individu akan keadilan. Setiap manusia pasti memiliki kecenderungan untuk merebut hak orang lain karena rasa tidak terima akibat pengurangan hak tiap individu. Contoh nyata dapat kita lihat pada pemberlakuan jatah BBM bersubsidi untuk masyarakat kelas bawah pada beberapa waktu lalu.

Masyarakat kelas menengah ke atas yang secara finansial terbilang mampu untuk membeli pertamax nyatanya masih diam-diam masuk ke antrean BBM jenis premium. Masalah kependudukan memang tidak dapat diselesaikan hanya dengan memperluas lapangan kerja untuk dapat menyerap banyak tenaga kerja karena sejatinya masalah kependudukan adalah masalah yang kompleks.

            Meskipun diberikan sumber energi yang tidak akan habis, pertumbuhan populasi tetap menghasilkan berbagai macam masalah yang tak terlelakkan. Indonesia sendiri berada di peringkat ke-4 dengan jumlah penduduk sebanyak 253.609.643 atau mencapai 253,60 juta jiwa, setelah China, India, dan Amerika Serikat (Purnomo, 2014, 6 Maret). Bila melihat realitas di sekitar kita, Indonesia masih dikelilingi oleh banyak masalah, seperti kesenjangan sosial dan ekonomi, kemiskinan, angka kriminalitas yang tinggi, kecemburuan sosial, kemacetan, tidak meratanya akses kesehatan dan pendidikan, dan lain sebagainya.

            Hal tersebut seringkali dikaitkan dengan permasalahan jumlah penduduk yang terlalu banyak. Bahkan negara tetangga kita Singapura, Korea Selatan, dan Jepang yang notabene memiliki jumlah penduduk, luas wilayah, dan Sumber Daya Alam yang tidak sebanyak Indonesia justru jauh lebih maju. Dari situ timbul pertanyaan, benarkah populasi yang berlebih justru menghambat kemajuan suatu negara? Dunia yang terbatas hanya dapat mendukung populasi yang terbatas, sehingga pertumbuhan populasi nantinya harus setara dengan 0 (nol).

Jika dianalogikan semut dengan gajah, kita tidak bisa mengadili bahwa gajah lebih kuat daripada semut sehingga otomatis menang dalam proses seleksi alam. Begitu pula halnya dengan suatu negara dengan jumlah ‘pasukan’ yang sedikit belum tentu akan mengalami kemunduran, juga dengan negara yang berpopulasi banyak belum tentu akan maju.

Menyinggung Mengenai Ideologi Lingkungan (Environmentalism)

             Eder (1996), seorang akademis menyebutkan tiga fase transformasi dari ideologi lingkungan. Pertama adalah fase di mana terdapat ketidakcocokan antara ekologi dan ekonomi yang ditandai dengan masalah lingkungan. Kedua, pendekatan peraturan mendominasi aksi dan wacana lingkungan. Ketiga, muncul pada pertengahan tahun 1990, bahwa normalisasi budaya dari fokus mereka akan lingkungan dan integrasi mereka dengan pola dimunculkan oleh pemikiran ideologis (Buhr, n.d., hal. 3).

            Fase pertama menunjukkan bagaimana kepentingan ekonomi membuat para pengusaha mengeksploitasi alam di luar batas kewajaran. Fase kedua menunjukkan adanya protes masyarakat yang mulai mengkritisi bisnis-bisnis yang sewenang-wenang dan mengajukan bahwa mereka harus diatur agar dapat bersaing secara sehat dan tidak menurunkan kualitas alam. Sedangkan fase terakhir menjelaskan bahwa pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan niat perubahan pada korporasi bisnis, dibantu peran pemerintah, dan masyarakat.

Kepedulian tersebut harus terlihat dalam pemikiran dan tingkah laku mereka. Bagaimana sebuah perusahaan kayu mengambil SDA secukupnya dan dengan teknik yang benar, misalnya dengan cara tebang pilih. Contoh lain misalnya pada perusahaan peleburan besi dan baja yang memberikan dampak pada polusi udara juga perlu diupayakan untuk menekan pencemaran udara.

            Eder mendefinisikan ideologi lingkungan sebagai titik balik dari evolusi budaya akan modernitas sejauh itu membuktikan sebuah orientasi budaya baru dengan menggantikan ekologi untuk industrialisme sebagai dasar dari model budaya modernisasi. Selain itu, ekologi mengubah sifat politik dengan menciptakan politik alam (the politics of nature) (Buhr, n.d., hal. 3). Di sini lingkungan dianggap perlu diperlakukan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam kegiatan industrialisme. Alam dijaga dan diatur pemanfaatannya dengan bantuan kebijakan atau regulasi politik yang dibuat pemerintah.

            Sejak lingkungan menjadi fokus dari wacana protes, berbagai kelompok kepentingan muncul dengan berbagai sudut pandang dalam komunikasi lingkungan. Komunikasi mengenai ilmu alam menjadi sebuah perantara antara konflik politik dan debat politik yang mengubah budaya politik masyarakat modern. Organisasi bisnis mendapatkan perhatian dari publik. Publik mengawasi gerak-gerik organisasi sehingga mereka harus terus berusaha menanamkan image yang positif, atau yang disebut identitas hijau (green identity). Ideologi lingkungan membentuk sebuah masyarakat modern yang menginginkan korporasi dan bisnis harus memiliki sumbang sih yang positif terhadap alam dan turut membantu pembangunan yang berkelanjutan.

Daftar Pustaka:

Buhr, N. & Reiter, S. (n.d). Ideology, the environment and one worldview: a discourse analysis of Noranda’s environmental and sustainable development reports.

Hardin, G. (1996). The tragedy of the commons. Science, 162, 1243-1248.

Purnomo, H. (2014, 6 Maret). Negara dengan penduduk terbanyak di dunia, RI masuk 4 besar. Detik.com. Diakses dari http://finance.detik.com/read/2014/03/06/134053/2517461/4/negara-dengan-penduduk-terbanyak-di-dunia-ri-masuk-4-besar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun