Setiap ruang pasti punya kapasitasnya masing-masing. Sama halnya dengan populasi manusia. Dunia hanya bisa menampung manusia dalam jumlah yang terbatas. Jumlah manusia yang ada harus disesuaikan dengan kemampuan suatu negara dalam mengupayakan sumber daya yang ada. Selain itu, negara juga memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan menjamin hak-hak asasi tiap individu yang berada dalam wewenangnya. Maka dari itu, pengendalian jumlah penduduk layak untuk diperhatikan karena memiliki ekses yang besar pula terhadap lingkungan.
Kebanyakan orang berkeyakinan bahwa peralatan teknis atau teknologi mampu memberikan solusi pada berbagai masalah tanpa menimbulkan masalah baru, termasuk masalah lingkungan. Kita bisa melihat contoh kasus mengenai penggunaan bom, bahan peledak untuk menangkap ikan, lampu LED, kendaraan bermotor, penggunaan listrik, dan lain sebagainya.
Orang berpandangan bahwa perkembangan teknologi merupakan tolok ukur dari kemajuan suatu negara dan diyakini dapat mempermudah segala aktivitas kita, sehingga mereka lupa pada dampak negatif yang mungkin menyertainya. Orang berlomba-lomba memunculkan inovasi baru dan mengagung-agungkan kecanggihan yang ditawarkannya. Padahal di balik penggunaannya, tanpa disadari kita perlahan-lahan mencekik alam.
Solusi teknis di sini dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang membutuhkan perubahan hanya dalam teknik ilmu alam (ekologi), dan hanya menuntut sedikit atau bahkan tidak sama sekali pada perubahan dalam nilai-nilai atau ide moralitas manusia (Hardin, 1968, hal. 1244). Betham memiliki cita-cita “the greatest goods for the greatest number” atau jika dibahasakan lebih santai, jumlah sumber daya yang tepat untuk jumlah manusia yang tepat.
Setelah mengalami perdebatan serius mengenai apa yang harus dimaksimalkan−populasi atau barang-barang, ternyata solusi dari kebingungan itu tidak ditemukan dalam ilmu alam. Solusi teknis yang digadang-gadang mampu mengcover semua masalah, nyatanya ditentang oleh Neumann dan Morgenstern.
Mereka berdua memberikan dua argumen yang menjelaskan ketidakyakinan mereka bahwa cita-cita Betham dapat terwujud. Pertama, alasan teoritis bahwa secara matematis tidak mungkin memaksimalkan dua atau lebih variabel dalam waktu yang sama. Kedua, melihat fakta biologis bahwa untuk hidup, organisme apapun membutuhkan sumber energi, seperti makanan (Hardin, 1968, hal. 1244). Jika jumlah individu banyak, maka pemerintah harus menambah jumlah energi. Itu dirasa akan berakibat pada pemborosan juga.
Menurut Malthus, populasi secara natural memiliki kecenderungan untuk tumbuh secara geometris, atau yang sekarang kita sebut eksponensial (berlipat ganda). Dalam dunia yang terbatas ini berarti tanggungan per kepala dari barang-barang dunia harus dikurangi (Hardin, 1968, hal. 1244). Barang-barang duniawi di sini termasuk Sumber Daya Alam, seperti tanah, air, hutan, udara, flora dan fauna, dan lain lain.
Masalah kependudukan merupakan permasalahan yang menjadi momok di banyak negara. Kita sulit menemukan pemecahan masalah dari jumlah populasi yang membludak dengan tanpa mengurangi hak setiap individu akan keadilan. Setiap manusia pasti memiliki kecenderungan untuk merebut hak orang lain karena rasa tidak terima akibat pengurangan hak tiap individu. Contoh nyata dapat kita lihat pada pemberlakuan jatah BBM bersubsidi untuk masyarakat kelas bawah pada beberapa waktu lalu.
Masyarakat kelas menengah ke atas yang secara finansial terbilang mampu untuk membeli pertamax nyatanya masih diam-diam masuk ke antrean BBM jenis premium. Masalah kependudukan memang tidak dapat diselesaikan hanya dengan memperluas lapangan kerja untuk dapat menyerap banyak tenaga kerja karena sejatinya masalah kependudukan adalah masalah yang kompleks.
Meskipun diberikan sumber energi yang tidak akan habis, pertumbuhan populasi tetap menghasilkan berbagai macam masalah yang tak terlelakkan. Indonesia sendiri berada di peringkat ke-4 dengan jumlah penduduk sebanyak 253.609.643 atau mencapai 253,60 juta jiwa, setelah China, India, dan Amerika Serikat (Purnomo, 2014, 6 Maret). Bila melihat realitas di sekitar kita, Indonesia masih dikelilingi oleh banyak masalah, seperti kesenjangan sosial dan ekonomi, kemiskinan, angka kriminalitas yang tinggi, kecemburuan sosial, kemacetan, tidak meratanya akses kesehatan dan pendidikan, dan lain sebagainya.
Hal tersebut seringkali dikaitkan dengan permasalahan jumlah penduduk yang terlalu banyak. Bahkan negara tetangga kita Singapura, Korea Selatan, dan Jepang yang notabene memiliki jumlah penduduk, luas wilayah, dan Sumber Daya Alam yang tidak sebanyak Indonesia justru jauh lebih maju. Dari situ timbul pertanyaan, benarkah populasi yang berlebih justru menghambat kemajuan suatu negara? Dunia yang terbatas hanya dapat mendukung populasi yang terbatas, sehingga pertumbuhan populasi nantinya harus setara dengan 0 (nol).