Mohon tunggu...
Eli Rusli
Eli Rusli Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Alumni UPI Bandung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sogokan (Bagian 2 dari 4)

17 September 2014   15:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:27 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Assalamualaikum kawanku! Sehat!”

Sambil berjabat tangan aku membalas salamnya.

“Angin apa yang mengundangku kemari, Kawan?”

“Biasa Kang. Sambil bersilaturahmi, Saya ingin bertukar pikiran dengan Akang.”

“Masalah Apa?” Kang Ali langsung bertanya ke inti permasalahan.

Aku pun dengan lancar menceritakan kejadian yang berhubungan dengan pekerjaanku. Di luar dugaan, Kang Ali tertawa terbahak-bahak. Dalam ekpresi wajahnya tidak kutemukan keanehan. Seperti air mengalir di permukaan kolam yang tenang. Apanya yang lucu pikirku. Sambil menahan tawa Kang Ali berkata,”Itulah kenyataan Man. Sering bertolak belakang dengan teori bahkan ajaran-ajaran agama yang kita pelajari. Dulu, waktu saya memulai wirausaha juga seperti itu. Harus membuat ijin ke sana kemari. Ujung-ujungnya duit.” Kang Ali berhenti sejenak.

“Saya pernah mencoba untuk tidak mengikuti permainan yang telah ada. Ujung-ujungnya, usaha saya kurang berhasil. Saya malah dianggap aneh oleh teman-teman wirausaha yang lain.”

“Bukankan itu termasuk kolusi, sogokan, suap atau apapun lah namanya?”

“Betul. Tapi itu telah menjadi suatu hubungan yang saling menguntungkan. Kalau menurut istilah biologi, simbiosis mutualisme, pengusaha aman dan lancar, pemerintah dan aparatpun senang.”

“Bukankah Akang dulu menentang hal-hal seperti ini?”

“Mau bagaimana lagi Man. Kalau tidak seperti ini Akang tidak bisa hidup. Bagaimana Akang mau menghidupi anak istri? Negara tidak pernah menjamin kehidupan warganya.”

Aku diam. Ada segurat kekecewaan dalam hatiku atas pernyatan Kang Ali. Tetapi aku tidak dapat membenarkan ataupun menyalahkan pendapat Kang Ali. Kenyataan hidup telah mengubur idealisme yang dulu sering meluncur dengan lantang dari mulut Kang Ali. Perlahan-lahan kupenuhi tenggorokanku dengan teh manis yang mulai menghangat.***

Tiga bulan sudah aku bekerja di perusahaan. Sesuai dengan janji perusahaan akupun diangkat menjadi karyawan tetap. Lega rasanya. Aku merasa menjadi orang yang paling bahagia dibandingkan karyawan yang lain. Apalagi kalau aku membandingkan dengan orang-orang yang masih belum mempunyai pekerjaan alias menganggur. Aku serasa di atas mereka. Kali ini dunia menjadi milikku. Untuk menggenapkan kebahagianku, pada akhir pekan aku pulang ke kampung halaman.(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun